Kedua

127 15 3
                                    


Sekolah menengah pertama sudah berjalan satu bulan yang lalu. Tak banyak perubahan karena isi kelas kebanyakan orang-orang yang dia kenal pindahan dari sekolah dasar yang sama dan tempat tinggal yang sama. Arumi juga masih menikmati hidup dengan cara yang sama, bersama dengan Janu yang sama. Tiba-tiba dia ingat ucapan Kirang tempo hari tentang ketidak bosanannya berkawan dengan Janu melulu. Arumi menyadari Janu sekarang lebih pendiam sejak kehadiran wanita baru di rumahnya yang mengharuskan Janu untuk memanggilnya ibu.

"Aku nanti ke rumahmu, tunggu aku pulang sekolah."

"Aku tau kemarin ayahmu marah, lebih baik hari ini kamu tidak membuatnya marah lagi, Janu." Arumi tak mau dirinya atau orang rumahnya jadi sasaran kemarahan komandan batalyon itu.

"Peduli apa aku dengannya." Jawabnya singkat lalu kembali berkutat dengan pelajaran bahasa inggris yang sedang guru mereka terangkan. Arumi tak bisa berkata-kata lagi, Janu dan kepalanya yang sekeras batu itu tidak bisa dibantah oleh siapapun. Arumi menyerah akan hal itu.

Ia sungguhan menunggu Janu yang sedang mengikuti latihan taekwondo. Di bawah pohon kersen, sendirian sambil memetiki beberapa buah kecil-kecil merah di atas pohon yang tak seberapa tinggi itu. Janu akhirnya datang setelah ia menunggu kurang lebih satu jam.

Dengan baju dobok yang berwarna putih Janu mendekat ke arah Arumi menyebrangi halaman sekolah yang tak beratap. Baju putih dan sinar terik siang membuat Janu begitu silau berkilauan hari itu, keringatnya mengucur di pelipis, rambutnya setengah basah dan alisnya merengut. Di satu sekolah ini, Janu lah yang paling tampan. Yang kedua adalah musuh bebuyutannya, Kirang. Mereka berbalapan meraih nomer tertinggi soal ketampanan dan kepintaran.

Arumi memberinya botol air mineral sisa setengah yang tadi dibelinya di kantin sekolah, Janu meneguknya seperti unta kehausan di gurun pasir lalu anak itu keselek karena ketidak hati-hatiannya. Arumi tertawa sambil menepuki punggungnya yang terlihat makin terbentuk. "Makanya pelan-pelan."

"Haus," Jawabnya setelah batuknya reda.

"Woy bungul!" Arumi memejamkan mata menghela nafas panjang mendengar panggilan khusus itu, sebentar lagi pasti akan ada agresi fisik di antara kedua manusia ini. Arumi segera menarik lengan Janu untuk beranjak dari situ sebelum emosinya tersulut lebih banyak.

Arumi sangat muak dengan perseteruan yang tak sudah-sudah. Rasanya baru minggu kemarin mereka juga berseteru di depan kantin sekolah nyaris saling cekik jika tak ada guru bk yang menghentikan keduanya. Gencatan senjata tak kunjung terlihat hilalnya, sepertinya mereka berdua memang di takdirkan untuk menjadi musuh abadi.

"Udah, ayok pulang." Arumi menarik paksa lengan Janu.

"Gimana rasanya punya mama baru, Janu?"

Janu tak menjawab. Arumi terus menariknya.

"Bentar lagi punya adik deh kayanya?"

Janu tetap tak menjawab.

"Namanya Februari nanti?"

Arumi menggelengkan kepalanya ketika melihat Janu yang sudah setengah mencondongkan badannya untuk berbalik.

"Punya mama dua enak gak? oh iya, satunya udah jadi mak lampir jadi gak perlu dihitung, ya kan?"

Entah apa pemicu Kirang yang selalu mencari masalah terhadap Janu, Arumi tak tahu lagi atas dasar apa perseteruan mereka yang tak habis-habis ini. Janu sudah tidak bisa lagi ditahannya, bahkan tadi tubuhnya hampir ikut terseret karena kenekatannya untuk tetap menahan lengan Janu.

Langkahnya lebar-lebar dengan dua tangan terkepal di sisi tubuh. Kirang tak diberi melawan sama sekali, Janu langsung menjatuhkannya dengan sekali tendang dan menduduki perut Kirang dengan bobot tubuhnya.

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang