Kesepuluh

221 21 14
                                    


Arumi benar-benar menghukumnya dengan setimpal. Wanitanya tak mau lagi memberinya tatapan penuh cinta. Yang ada di rumah kini hanya sepi yang suram. Tidak ada sambutan depan pintu ketika ia pulang, tidak ada bantuan memasangkan kancing seragam ketika ia berangkat. Istrinya memang tak kemana-mana ia tak pergi dan selalu ada di sampingnya, tapi jiwanya melayang, Janu merasa seperti tengah hidup bersama manusia yang hidup segan mati tak mau.

Ia kebingungan dengan situasi aneh yang nyata. Padahal ia juga terguncang akan kepergian si calon buah hati, ia sama terkejutnya, ia sama hancurnya, tapi Arumi memperlakukannya bak manusia tak punya hati dan kosong perasaan. Bermalam-malam ia lalui dengan dipunggungi, Arumi sepertinya benar-benar tak sudi lagi menyinggahkan sedikit perhatian untuknya. Semua pekerjaan rumah masih dilakukannya, memasak, mengurusi pakaiannya tapi Janu terus merasa kekurangan. Ia merasa dingin sekali, suasana rumahnya kosong melompong cenderung mencekam. Hawa rumah tiba-tiba angker dan dia mulai ketakutan, bukan karena hantu pocong bergentayangan, tapi dalam mimpi-mimpinya yang hadir adalah Arumi yang berantakan, berwatak bengis seperti Harris Aiman dan hilang akal seperti Ibuknya.

Janu nyaris hilang kesabaran kalau saja Nira tidak memberinya nasehat bahwa wanita kadang kala memang butuh waktu sendirian setelah kehilangan. Nira bilang biarkan saja Arumi menenangkan dirinya sendiri, jangan makin ditekan tapi jangan dihiraukan. Semuanya rumit, seminggu yang sudah ia lalui ini terasa seperti sedang berjalan meraba-raba di terowongan gelap, dingin, dia ketakutan akan bagaimana yang ada di depan. Dia sungguh tak mau Arumi-nya pergi, tapi ia tak mau juga Istrinya seperti ini.

Malam ini ada suatu dokumen penting yang mengharuskannya untuk begadang karena esok lusa dia akan diberangkatkan ke Jakarta. Entah dalam rentang waktu berapa lama ia akan dipulangkan lagi. Rasanya tugas yang diembannya kali ini akan sangat berat, cukup membuat waktu tidur yang sudah berantakan kini makin berantakan dan kurang.

Dalam fokusnya yang sedikit terpecah ia melihat gaun malam Arumi yang melintas samar di antara ruang tengah yang temaram. Wangi wanita itu menguar masuk tanpa permisi ke dalam kamar belajarnya yang memang sengaja dibiarkan terbuka lebar.

"Rumi?"

Tak ada jawaban tapi Janu yakin dirinya tak salah lihat.

"Sayang?"

Janu berdiri dari duduk yang tenang tapi hatinya rusuh. Pantat terasa panas karena berkutat lama dengan tulisan berisi rahasia negara. Kepalanya juga ikut-ikutan panas bahkan beberapa hari ini sepertinya sudah mengepulkan asap karena isi otaknya yang kobong, gosong, bolong, semuanya.

Dia melihat Arumi yang duduk di kursi makan dan sebuah panci di atas kompor menyala dengan air setengah mendidih. Arumi tak memandangnya tak juga meliriknya tapi Janu masih nekat mendekat.

"Mau bikin susu? biar aku yang bikinkan ya?" Ia tau kebiasaan istrinya jika sedang susah tidur pasti akan menyeduh segelas susu untuk menghangatkan perutnya.

"Gak usah sok peduli."

Janu tak peduli dengan jawaban ketus yang didapatnya. Lelaki itu meraih gelas kaca dan toples susu di rak atas. Ia melirik istrinya dari balik bahu. Terlihat seperti mayat hidup, namun dirinya sendiri pasti lebih parah daripada mayit yang sengaja dihidupkan.

"Kapan hukumanku akan selesai?" tanya Janu di antara bunyi denting sendok yang beradu dengan gelas kaca.

"Sampai kamu pergi."

"Aku tak akan pergi, Rumi, jangan keras kepala."

"Kalau begitu aku yang pergi."

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang