Kelima

133 16 15
                                    



"Maaf, Rang, aku gak bisa."

Pulang sekolah, Kirang mencegatnya di depan pintu kelas dengan wajah babak belur hasil pertengkarannya dengan Janu tadi siang. Membawanya ke belakang sekolah yang sepi ketika murid-murid sudah berhamburan untuk pulang. Kirang mengutarakan perasaannya dengan sungguh-sungguh disana.

Pemuda itu menggigit bibir bawahnya yang sedikit sobek, tampak tidak legowo dengan jawaban yang Arumi beri.

"Kamu pacaran sama Janu?"

"Nggak,"

"Terus?"

"Kamu temanku, Rang, selamanya akan begitu."

Kirang meninju tembok di sampingnya keras-keras. Arumi sampai tidak berkedip melihat kemarahan Kirang di depannya.

"Lagipula kita masih kecil kan? kamu juga harus fokus mempersiapkan diri buat tes masuk tentaramu, jangan sia-siakan waktu buat hal gak perlu."

"Dari dulu kamu selalu bilang begitu, Rumi, tanpa mau memberikan aku kesempatan buat lebih dekat dan lebih berusaha,"

Arumi menghela nafas berat, ketidak ikhlasan Kirang membuat bebannya yang sudah berat terasa makin berat. Dia tidak punya waktu untuk hal remeh temeh apalagi soal cinta-cintaan di antara hidupnya yang berantakan. Arumi merasa tidak pantas melakukan hal sia-sia di atas penderitaan yang sedang ibu dan dirinya alami.

"Aku minta maaf, Rang."

Arumi memilih tak melanjutkan percakapan ini daripada membuatnya makin frustasi karena disuguhi wajah kecewa Kirang di siang yang terik. Ia menepuk pundak Kirang dan berpamitan pergi.

Kirang menatap punggung Arumi yang makin menjauh. Memang selalu berakhir begitu antara kisahnya dan Arumi. Gadis itu akan selalu meninggalkannya sebagai akhir cerita, membuatnya sendiri lagi sambil bertanya-tanya apakah kekurangannya?

Mengapa Janu begitu sulit dikalahkan? apa hal yang istimewa dari anak itu?

Kirang mendengus marah saat menyadari dirinya yang hampir menangis hanya karena seorang wanita. Dia segera mengelap matanya dengan kasar, merasa malu dengan bayangannya sendiri yang tengah balik menatapnya dari kaca jendela kelas.

Pria tak boleh menangis. Apalagi alasannya hanya seorang wanita.

***

"Kamu habis ini mau kemana?"

Mengapa semua orang selalu bertanya dia akan kemana setelah lulus? Arumi tidak punya jawabannya karena dia tidak punya pilihan. Dia terlalu takut untuk memilih cita-cita. Takut akan menaruh harapan besar disana dan berakhir dengan kecewa berkepanjangan jika harapannya tidak tercapai.

"Aku nggak tau,"

"Daftar Kowad aja!" Dengan tubuh pendek yang kurus kering ini? mustahil akan diterima. Lagipula dia sudah muak berurusan dengan loreng-loreng yang hanya akan mengingatkannya pada pria brengsek tak bertanggung jawab yang sialnya harus dipanggilnya Ayah.

Arumi menggeleng.

"Yaudah jadi artis aja?"

Apa? Janu mungkin setengah tidur saat mengatakannya.

"Kamu kan cantik tuh?" tapi pipinya bersemu merah saat mengatakan bahwa dirinya cantik. Matanya menghilang ditelan senyumnya sendiri. Arumi paling suka pemandangan ini. Janu dan mata bulan sabitnya adalah hal yang paling meneduhkan, membuatnya serasa ingin bergelendotan disana untuk mencari rasa aman.

Memang jadi artis hanya membutuhkan cantik saja? dia tidak punya bakat apa-apa selain menulis cerita abal-abal klise yang tidak pernah dia bagi untuk dibaca oleh siapapun dan lebih memilih menyimpan semua tulisan-tulisannya sendirian.

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang