Kesembilan

180 19 4
                                    


Jumat pagi adalah hari yang paling disukai oleh Janu, apel pagi yang sebentar, tidak ada senam atau latihan fisik lainnya jadi dia bisa rehat sejenak sambil bermanja-manja dengan sang istri yang punya kegiatan rutin tiap hari jumat yaitu memotongkan kuku-kuku jarinya. Janu bisa melakukannya sendiri selama ini, tapi Arumi bilang kalau memotongkan kuku suami itu ada ganjaran tersendiri bagi seorang istri. Jadi ya sudah, Janu menurutinya meski sekarang ia terlihat seperti bocah lima tahun yang tidak becus memotong kuku dengan rapi.

"Esa sudah lama tidak menelepon, aku kangen sekali," Keluh istrinya di tengah-tengah bunyi gunting kuku yang tajam.

Mereka berdua memang sangat dekat, Esa bahkan terlihat lebih menyayangi Arumi daripada kakaknya sendiri.

"Memang kapan terakhir kali dia menelepon?"

"Tiga hari yang lalu."

Tiga hari yang lalu? dan itu sudah dianggap lama sekali oleh Arumi? Janu menatap heran istrinya karena memang lama-lama terdengar aneh juga kalau mereka berdua harus berteleponan setiap hari. Janu tak mengerti kenapa Arumi harus sesering itu menelepon adiknya bahkan kadang setiap malam Janu menangkap istrinya yang tengah bercengkrama dengan mamanya lewat corong telepon. Mereka bercerita tentang apa saja, resep masakan, gosip artis terkini bahkan topik tentang pelantikan presiden yang baru pun tak luput dijadikan pembahasan oleh mereka berdua. Dan Janu kena imbasnya, karena kalau sudah begitu ia akan dicueki oleh Arumi meski sudah berkali-kali memberi kode bahwa dirinya sedang kepingin. Kepingin makan malam atau kepingin makan istrinya.

Hari ini Janu bertanya tentang alasannya kenapa ia selalu membutuhkan teman untuk menelepon?

"Karena aku kesepian, dan cuma mama sama Esa yang bisa aku ajak ngomong kalau kamu lagi kerja, nggak mungkin dong aku menelepon ayahmu?" Arumi memandang suaminya dengan tatapan menusuk karena pertanyaannya terdengar tidak masuk akal. Semua manusia perlu mengobrol, apalagi perempuan yang punya stok sebanyak 20.000 kata perhari untuk dikeluarkan.

"Nggak, maksudku kenapa kamu harus punya temen ngobrol setiap hari?"

"Karena aku kesepian, Januuuu... kan udah dibilang tadi?!?!?"
Arumi jengkel, otak lemot suaminya sepertinya sedang kambuh karena Janu di depannya masih memasang ekspresi tidak puas dengan jawaban yang ia berikan.

Kuku tangan sudah terpotong rapi semua, kini ia meraih kaki suaminya dibawa ke atas pangkuan dan mulai menggunting dari kuku jempol yang belum seberapa panjang.

"Entahlah, mungkin karena aku tumbuh sendirian dari kecil dan sudah lama sebatang kara, jadi ketika aku nemu yang dinamakan keluarga, aku jadi tidak bisa mengontrol diriku sendiri." akhirnya ia berani jujur dengan memberi Janu jawaban yang lebih jelas.

"Apa aku keterlaluan, Janu? apa aku berlebihan menurutmu? apa mama sama Esa terganggu? atau kamu yang terganggu?" posisi Arumi tengah membelakangi suaminya, jadi ia tak tahu ekspresi Janu seperti apa saat ia melontarkan pertanyaan beruntun itu.

"Tidak, aku sama sekali tidak terganggu, aku senang kamu dekat dengan keluargaku. Tapi, Rumi, kau juga punya keluarga."

"Ya, tapi sudah tiada semua kan?"

Sejujurnya Janu tak yakin ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu Arumi kenyataan yang disembunyikan olehnya. Ia masih belum siap menghadapi akan bagaimana reaksi yang ia terima dari sang istri. Tapi pernikahan sudah berjalan hampir setahun, mau sampai kapan ia akan menyembunyikan ini semua dari istrinya? karena bagaimanapun tupai yang pandai meloncat pasti akan jatuh dan dia tidak punya sayap untuk terbang menghindari kejatuhan atau menghindari kemarahan Arumi. Ia lebih memilih untuk menghadapi semuanya sekarang, sebelum terlambat. Janu tidak mau Arumi akan lebih kecewa karena kenyataan ini ia ketahui dari orang lain, bukan suaminya sendiri.

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang