Kedelapan

210 19 13
                                    


(maaf banget ada kesalahan teknis padahal belum di tulis lengkap tapi udah ke up wkwkwk ceroboh banget 😭🙏)

Setelah pernikahan, setelah pertengkaran dan kursi bergoyang.

Para Ibu Persit hari ini lumayan banyak kegiatan. Mulai dari senam rutin, lanjut dengan acara sertijab Danyon yang baru dan akan dilanjut lagi dengan permainan voli untuk mengakhiri hari. Sementara kepalanya sejak tadi malam cenat-cenut sekali dan perutnya terasa melilit yang sakitnya bukan main. Kebiasaan ketika menjelang menstruasi. Janu menyuruhnya untuk izin saja agar tidak perlu berkegiatan hari ini, tapi Arumi merasa tak enak dengan Ibu Ketua karena minggu lalu juga dia sudah mengambil absen. Dia tidak mau dicap makin buruk dan Janu ikut kena tulahnya, bagaimana istri seorang Kapten malah malas-malasan dan jarang berkegiatan.

"Bu Janu, kenapa pucet banget? sakit atau apa?" Nira, istri Pratu Bangkit yang bertanya di sebelahnya. Arumi menggeleng dan memberinya senyuman kecil, untung saja cuaca agak mendung setidaknya pusingnya tidak dibuat makin parah dengan matahari yang terik.

"Kebiasaan mau mens, Nir." Nira ber-o ria dengan jawabannya. Anaknya yang baru berumur tiga bulan tiba-tiba menangis di dalam stroller, iringan musik senam juga sudah berhenti dan mereka mulai menepi mencari duduk di samping lapangan.

"Makin gembul aja si dedek," Bayi tiga bulan itu memang terlihat gembul sekali, menggemaskan. Matanya sipit berkulit putih mirip dengan ibunya, Nira yang berwajah oriental tapi turunan Manado asli.

"Iya bu, bahkan stroller yang dikasih Kapten Janu udah mulai gak muat, kan sayang kalau gak dipake lagi, barang mahal."

Arumi tertawa ketika mendengarnya. "Nanti aku mintain lagi, yang lebih besar."

Wanita muda di depannya itu lekas mengibaskan tangan dengan serius untuk menolak niat baik Arumi. "Gausah bu!"

Hanya Nira saja yang bertingkah baik dan tidak ketus padanya. Arumi awalnya sudah tidak menghiraukan istri anggota lain yang mengacuhkannya, dia sudah tidak mau peduli lagi dengan perlakuan orang lain terhadapnya. Sebab ada untungnya juga hidup di lingkungan yang tidak bermuka dua, dia jadi ikut-ikutan tidak mau berpura-pura baik hanya untuk mencari muka. Tapi kedatangan Nira yang baru beberapa bulan disini itu cukup membuat Arumi terkesan dengan kepolosan dan kebaikan hati istri ajudan suaminya itu.

"Gapapa, buat THR nanti."

Percakapan dengan Nira terhenti ketika ia melihat Janu di sudut lapangan dan melambaikan tangan padanya. Arumi segera berpamitan pada Nira dan menghampiri sang suami. Janu terlihat berkeringat, bagian punggung seragamnya juga basah mungkin habis melakukan latihan fisik.

"Masih pusing?" Tangan besar suaminya langsung diarahkan ke pelipisnya dan mengurut dengan pelan-pelan. Rasanya enak tapi entah kenapa perutnya malah makin sakit dan sekarang bertambah jadi mual. Arumi reflek menutup mulut menahan muntah yang terasa akan keluar.

"Kenapa?!" Janu bertanya dengan panik.

"Ayo pulang," Dia segera menarik tangan suaminya karena takut akan muntah di muka umum.

Bahkan Arumi tak sempat lagi untuk berlari ke kamar mandi, ia sudah tak tahan menahan perut yang bergejolak hingga akhirnya dimuntahkan semua sarapannya di halaman rumah. Janu memijat belakang lehernya dengan perhatian dan membiarkan istrinya menuntaskan rasa mualnya. Baru setelah Arumi mengangkat wajah dia segera membersihkan muntahan istrinya tanpa rasa jijik.

Arumi duduk di teras rumah. herannya setelah muntah, badannya terasa lebih bugar dan ringan. Pusing yang tadi menggelayut juga tiba-tiba hilang. Entahlah apa dia tadi keracunan makanan atau bagaimana.

"Nggak usah ikut acara sertijab deh? istirahat aja ya?" Janu menggiringnya masuk setelah lelaki itu meletakan sapu dan lain-lain yang digunakannya untuk membersihkan halaman.

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang