Ketujuh

187 13 13
                                    


Sebelum pernikahan.

Dua belas tahun yang hilang antara mereka berdua bukanlah hal sepele yang bisa dianggap tidak penting dan tidak perlu diceritakan. Ada banyak sekali rahasia yang tidak terkuak, ada banyak sekali kisah yang tersimpan rapi, ada banyak sekali kejadian yang menusuk hati. Entah kapan ia siap membuka semua ceritanya pada Janu, dia takut menghadapi kenyataan kalau Janu tak akan mau menerimanya lagi, Arumi takut Janu akan pergi menjauh lagi ketika pria itu tau bagaimana masa lalunya. Bagaimana kaki dan tangannya yang begitu kotor karena berjalan merangkak di atas jalan hidup yang berlumpur.

Dia sungguh takut akan kehilangan Janu lagi, baginya sekarang Janu adalah dunianya, lelakinya, tempatnya berlindung dan mendapatkan rasa aman. Karena hanya Janu yang tak pernah mengingkari janjinya, ia takut kalau Janu pergi dia tidak bisa lagi berdiri di kakinya sendiri.

"Kamu mikirin apa?"

Sejak tadi tayangan komedi di televisi itu sudah tak diperhatikannya lagi, pikirannya beterbangan membawanya berkelana bersama cerita yang pernah datang. Hingga ketika kepala Janu muncul di ambang pintu kosnya membuatnya sedikit terperanjat karena kaget. Kepalanya seperti melayang, tubuhnya tak ditampakkan, Janu terlihat seperti hantu kuyang, yang tampan.

"Ketuk pintu, Janu! kebiasaan!"

"Sudah ku ketuk berkali-kali, kamu tidak menyahut, ku pikir tidur ternyata melamun! kunci pintu! kebiasaan!" Janu tak suka dimarahi, pria itu akan balik memarahi siapapun yang berani memarahinya. Bahkan Arumi.

Setelah melepas sepatunya, menaruhnya di rak sepatu, Janu melesak masuk ke dalam untuk ikut duduk bergumul dengannya di atas sofa. Pria itu mengungkungnya kuat-kuat dengan pelukan.

"Kangen.."

Nafas hangat Janu yang berhembus di cerukan lehernya membuat Arumi menggeliat karena geli. Janu dengannya menjelma seperti anak kucing yang kehilangan induk, suka mendusel-dusel, mengendus-ngendus, kalau usilnya sedang kumat Arumi juga akan digigitinya.

"Perasaan tadi sore baru kesini,"

"Aku tidur sini boleh?"

"Emangnya kalo aku larang kamu bakalan nurut?"

"Nggak, hehehehe.."

Arumi mendengus lalu menggigit ujung hidung mancung Janu karena terlalu gemas.

"Sana ambilin minum," Selain suka marah, dia juga suka memerintah, mungkin kebiasaannya di lapangan yang bisa memerintah seenaknya jadi terbawa ke kehidupan sehari-hari dimana semua orang dia anggap sebagai bawahannya. Dan Arumi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya wanita itu bangkit dengan suka rela lengkap dengan tangan dan kaki yang dihentak bersamaan menirukan hormat militer, Siaapp!

Ia kembali lagi dengan segelas air dingin dan setoples kacang kulit kesukaan Janu yang ditaruhnya di meja. Janu menghabiskan air minumnya dalam sekali teguk, Arumi tak bertanya apakah di markas sedang krisis air bersih atau bagaimana kenapa kekasihnya sampai terlihat seperti orang yang berpuasa tiga hari tanpa berbuka?

"Apa yang kamu pake itu?" Janu bertanya setelah gelasnya kosong tak bersisa.

"Apa?"

"Bajumu."

Arumi menatap dirinya sendiri, tak ada yang salah, baju tidur memang didesign untuk tidur senyaman mungkin dan seapa adanya mungkin. Gaun malam satin berwarna biru laut itu tidak menerawang, tidak juga berbentuk menggoda meskipun memang terlalu pendek dan potongan dadanya terlalu terbuka tapi ia rasa ini bukan sesuatu yang sengaja ia lakukan untuk mengundang berahi pria dewasa di depannya itu.

"Aku tak suka biru laut."

"Apa aku peduli?"

"Mengingatkanku pada Angkatan Laut Kirang si KIkir dan berotak kuRANG itu."

ArumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang