MENYIBUKKAN diri dengan berbagai aktivitas menjadi salah satu cara jitu untuk membuang sesuatu yang tak ingin dipikirkan. Hal itu yang sekarang dilakukan Nadira paska peristiwa tidak menyenangkannya dengan Arthur di kelas piano.
Berkutat dengan Autocad dan 3DMAX yang cukup menyita konsentrasi, kenyataannya masih belum cukup, hingga Nadira nekat menerima tawaran Anggra untuk ikut terlibat dalam proyek Festival Musik yang diadakan Bandung Symphony di Kampus Verona. Bertempat di restoran semi outdoor kota Lembang, Nadira menghadiri lokakarya pertamanya bersama sang dosen.
Keterlibatannya dalam proyek ini tentu saja tidak asal comot. Penampilan Nadira dalam acara penyambutan Asosiasi Musik Indonesia dan duetnya bersama Christ sudah menjadi buah bibir. Anggra yakin pengetahuan Nadira pada musik klasik akan banyak membantu proses desain panggung nantinya.
"Proyek ini akan jadi pengalaman terbaik kamu Nadira. Tidak menutup kemungkinan, kamu bisa menggunakan tema ini untuk tugas akhir kamu."
"Saya juga berpikir begitu, Bu," tanggap Nadira bersemangat.
Menunggu semua tamu melengkapi kursi yang disediakan, Nadira berdiskusi dengan Anggra. Kemudian suara bariton dari arah pintu ruang rapat, datang seperti listrik bertegangan tinggi yang merambat dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun Nadira.
Kepalanya tenggelam saat suara bariton itu makin keras menusuk rungu. Tubuh mungilnya beringsut sebagai reaksi alami untuk menyembunyikan diri. Sayang, semua itu tak cukup membuatnya terlihat oleh mata Leo.
"Nadira?" Si Kobra Jantan akhirnya menyapa. Binar matanya meledak tak percaya.
Mimpi buruk Nadira bangkit dari kubur. Dagunya begitu sulit ditegakkan. Nadira kehilangan kendali diri, bahkan suaranya pun tak bisa keluar.
"Anda mengenal mahasiswi saya?" sapa Anggra pada Leo.
"Tentu saja. Saya tidak akan lupa dengan murid terbaik saya, Amethyst Nadira ... Brahmantya." Suara yang tenang nan menghanyutkan keluar dari mulut berbisa Leo.
Wajah Nadira makin memucat. Kedatangan ketua penyelenggara beberapa saat kemudian menyelamatkannya dari situasi kikuk yang mencekik.
Presentasi pun dimulai. Nadira menyimak slide demi slide. Sementara Leo masih terpaut pada sosok Nadira dengan segala imajinasi liarnya.
"Maaf, sepertinya ada yang salah dengan komposer Toy Symphony." Nadira menginterupsi takut-takut. "Menurut saya ... yang benar adalah Leopold Mozart, bukan Haydn."
"Anda sangat jeli. Terima kasih koreksinya, Miss Nadira," sahut Leo yang mau tak mau membuat Nadira menatapnya.
Letupan kesenangan terukir dari seringai seduktif Leo setelah berhasil menangkap ketakutan maksimal dari sang mantan murid. Sejalan dengan itu, sesuatu yang primitif dan lama terpendam mulai menyeruak dalam diri Leo.
Keluar dari ruang rapat, Nadira mengajak Anggra untuk segera kembali ke kampus. Namun Leo bergerak cepat menahan kepergian mahasiswi dan dosennya itu.
"Terima kasih untuk masukannya tadi, Pak Leo," sapa ramah Anggra.
Melihat Leo terus menatap Nadira, Anggra pun mengambil inisiatif. "Sepertinya Pak Leo ingin bernostalgia dengan muridnya. Kalau begitu, saya tidak akan mengganggu. Nadira, Ibu balik dulu ke kampus ya."
***
Para pembaca yang budiman, terima kasih sudah mampir ke cerita ini ya. Karena Peridot Vow sudah pernah dibukukan (versi lama 2018), maka untuk yang versi terbaru tidak free ya teman-teman. Jadi mohon dukung karyaku ini di Karyakarsa.com search Peridot Vow Chapter 14
KAMU SEDANG MEMBACA
Peridot Vow
RomanceNadira takut pada pria. Cindra trauma akan pernikahan dan perselingkuhan. Ola gadis ceroboh dan ceria yang memiliki trauma di masa kecil. Kehidupan ketiga mahasiswi Kampus Seni Verona itu berubah sejak mereka mendapat perhiasan peridot dari seorang...