Chapter 4

125 20 1
                                    

LAMUNAN tentang pria berkemeja putih—yang punggungnya baru saja menghilang ditelan cahaya—berakhir saat si pemilik toko kembali memanggil namanya. Dengan penuh kekepoan, Cindra pun cepat-cepat membaca pesan dalam secarik kertas dari pria tak dikenal itu.

Gesekan pertama dari biola yang dimainkan, akan membimbing hati seorang pemain biola sejati untuk memainkan lagunya hingga akhir. Tanpa sadar Cindra terus mengulang kalimat itu dengan suara yang hanya bisa didengar oleh rungunya. Satu demi satu anak tangga menuju kamar asrama ia lewati. Sejalan dengan itu, sebuah keyakinan dalam hatinya terbit, bahwa suatu saat Nadira akan bermain biola lagi.

Rasa optimis menyegarkan pikiran. Dengan bersemangat, Cindra menyimpan biola yang dibelinya ke dalam lemari.

Hening merayapi dinding-dinding, sampai suara pintu berderit datang tiba-tiba, diikuti lengkingan seorang gadis. Ketenangan Cindra pun buyar seketika.

"Ciin!"

"Latoyaa!" Cindra terbelalak melihat seorang gadis bertubuh bongsor bergegas masuk dan langsung menyambarnya. Kini dua teriakan menggema nyaring mengisi lorong-lorong kamar.

Latoya adalah mahasiswi di Jurusan Desain Komunikasi Visual. Suaranya tebal dan rendah seperti suara bariton pria. Berkat "keseksian" suaranya itu, Latoya dipercaya sebagai pembawa acara siaran merangkap jurnalis di Kampus Verona.

Setelah berbincang seru tentang liburan masing-masing, Cindra dan Latoya sibuk menata barang-barang, sementara Ola yang baru datang dari studio desain produk, langsung bermain dengan kucing barunya yang berjenis scotish fold.

"Iciiii!!" Tak jelas mana majikan dan peliharaan, keduanya sama-sama goleran di atas karpet.

Selesai menata barang-barangnya, Cindra mengamati laptop Latoya yang sedang menyala.

"Ini bahan berita buat besok?" Cindra penasaran saat tak sengaja membaca artikel online di dalamnya.

"Berita yang mana?" teriak Latoya yang baru masuk ke kamar mandi.

"Tentang pertunangan anak dan keponakan pemilik kampus," jawab Cindra. "Judul beritanya ... Peridot Vow."

"Oh, Peridot vow itu nama perhiasan punya Renata Mardian Nasution, pendiri kampus ini. Dibikinnya udah lama, sekitar tahun sembilan belas delapan delapan. Menariknya, perhiasan itu baru diekspos tahun ini bersamaan dengan berita pertunangan anaknya," jawab Latoya dari dalam kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian, Latoya keluar dan melanjutkan ceritanya. "Yang jadi berita utama gue adalah Peridot Vow, sepaket perhiasan terdiri dari cincin, kalung, dan gelang yang jadi simbol pertunangan Arthur, Christ, dan Gio."

"Namanya unik. Mereka siapa?" tanya Ola.

"Christ anak Renata sama suaminya yang berkebangsaan Inggris. Sedangkan Arthur dan Gio itu keponakannya," jawab Latoya.

"Oh, i see." Ola akhirnya tahu asal-usul Arthur, pria yang waktu itu memberi Nadira pancake lewat dirinya.

"Liset Kinara. Seorang ballerina pemilik kalung peridot, tunangan Christopher," ujar Cindra membaca artikel tentang Liset tunangan Christ.

"Cleopatra Li, atlet renang nasional berdarah China-Indonesia. Pemilik gelang peridot ini aktif sebagai atlet yang berkeliling dunia untuk mengikuti berbagai kejuaraan," giliran Ola membaca artikel tentang Cleo tunangan Gio.

"And the last one is Nicole Tamara. Kemarin Nadira bantu gue cari tahu soal si Nicole yang makek cincin peridot, tunangannya Arthur. Dia seorang pianis dan sekarang lagi kuliah S2 di Inggris."

Ola manggut-manggut. "Lucu juga ya, pertunangan pakek ada simbol sepaket perhiasan gitu."

"Katanya sih, perhiasan itu sengaja nggak diekspos karena udah jadi pusaka keluarga. Tapi karena kelalaian salah satu kerabatnya, perhiasan itu terjual. Akhirnya Bu Renata menelusuri siapa aja yang sudah membeli kalung, cincin, dan gelang peridot. Katanya kalau tiga perhiasan itu terpisah, akan ada malapetaka di dalam keluarganya gitu. Jadi supaya perhiasan itu bersatu, diadakanlah perjodohan," cerita panjang Latoya.

Peridot VowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang