Pantai di Kota Kelamura

8 1 0
                                    


...

"Rakaa, cepetan turun sini!!"

"Tunggu!"

Remaja itu berteriak sembari menuruni tangga di samping kelasnya dengan tergesa-gesa untuk bergabung bersama teman-temannya menuju parkiran sekolah.

Raka Wiranata, siswa kelas dua belas semester dua itu terkenal diantara teman-temannya dengan sifatnya yang penyabar dan selalu tenang. Namun, dibalik ketenangan itu, ia menyimpan luka dari masa lalunya --perceraian orang tuanya karena ayahnya selalu bersikap tidak peduli pada keluarganya. 

Setelah perceraian itu, Raka mengikuti ibunya ke Ciptamarga, meninggalkan ayahnya yang tinggal di kota Kelamura. Namun, kini sang ibu pergi ke luar negeri untuk bekerja, meninggalkan Raka seorang diri.

...

"Besok libur nih, atur jadwal ga sih?" Putra membuka obrolan sembari menuju parkiran.

Karena jadwal sekolah mereka hanya lima hari, sehingga sabtu dan minggu mereka libur.

"Pantai gas?" sahut Rian.

"Pantai di kota sebelah katanya gratis ngga ada tiket masuk terus boleh ngecamp ju--"

"Gas!, masih jam 3 ini, sempet lah" Raka menyela dengan cepat.

Raka dan teman-temannya pun berangkat menuju rumah Putra untuk mengambil tenda, sore itu pun mereka berangkat menuju kota Kelamura yang berjarak 40 km dari kota tempat mereka tinggal, Kota Ciptamarga.

....

Motor mereka melaju cepat di jalan raya, saling mendahului satu sama lain. angin sore menerpa mereka, membuatnya menurunkan kecepatan untuk menikmati hembusan angin dan matahari terbenam.

Beberapa menit kemudian mereka sampai, angin kencang terasa sampai pintu masuk pantai. Seperti kata Pasha, di sini tidak ada tiket masuk namun, ada pemeriksaan barang bawaan sebelum masuk.

"AKHIRNYAAAA......" teriak Rian sambil melakukan peregangan.

Sementara yang lain menyiapkan peralatan camping, Raka berdiri sejenak memandangi luasnya lautan yang mulai redup karena hari semakin malam. Hembusan angin menyentuh wajahnya, pergi bersama teman-temannya sudah cukup baginya untuk sedikit mengistirahatkan pikirannya dari semua masalah yang menimpanya.

"Hayo, ngelamun lagi, wanita mana yang menyakitimu kawan~" ucap Rian yang tiba tiba muncul di depannya.

"Matamu" balas Raka terkejut.

"Ayo makan, daripada ngelamun di sini, nanti kesurupan, tenda juga udah berdiri tuh" sambung Rian sambil merangkul Raka menuju tenda.

...

Setelah selesai makan, mereka menyalakan api unggun di tepi pantai. Suara ombak yang lembut dan angin malam yang sejuk menciptakan suasana tenang, mereka duduk melingkar menikmati keheningan malam untuk beberapa saat, hingga akhirnya Rian membuka pembicaraan.

"Akhirnya kita bisa mengistirahatkan pikiran kita, walaupun sementara" ucap Rian sambil merebahkan badannya di atas pasir yang beralasan daun kelapa.

"Yaaah, bersyukur sih bisa berangkat padahal dadakan banget" sahut Pasha sambil menghela napas. "Ngga kaya tahun lalu, bikin rencana dua minggu sebelumnya, eh pas hari H pada ngga bisa"

"Si Rian tuh yang paling semangat tapi pas tinggal berangkat malah ngga bisa" Putra menunjuk ke arah Rian dan terkejut karena dia sudah tertidur. "Yaah malah tidur dia"

Setelahnya mereka semua menyeret Rian bersama daun kelapa yang ditidurinya menuju tenda dan mereka semua pun tidur.

Keesokan harinya mereka masih menikmati waktu liburnya di pantai, hingga pada malam harinya Raka mendapat kabar dari keluarga ayahnya, entah bagaimana keluarga ayahnya bisa mendapatkan kontak Raka. Namun mereka memberitahunya bahwa ayahnya sedang dalam kondisi kritis akibat ulah geng motor yang melakukan penyerangan terhadap warga di sekitar tempat ayahnya bekerja.

Rian yang mendengar percakapan Raka dengan keluarga ayahnya segera menyuruh semua temannya untuk membongkar tenda dan membereskan barang-barangnya. "Semuanya!, beresin barang-barang sekarang juga"

Tanpa banyak bertanya mereka langsung membongkar tenda dan langsung bergegas menuju rumah sakit yang berjarak 30 menit dari tempat mereka sekarang.

...

Perjalanan menuju rumah sakit terasa berat bagi Raka. Jalanan malam begitu dingin dan gelap, pikirannya bercampur aduk antara khawatir, marah dan takut. Semakin ia memikirkannya, semakin besar rasa hampa yang menyelimuti hatinya. Apakah ini akan menjadi pertemuan terakhir antara ayah dan anak itu? Jika iya, apa yang harus ia lakukan? mengingat sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.

Setelah 30 menit yang terasa sangat berat, mereka akhirnya tiba di rumah sakit, Tanpa membuang waktu, Raka segera turun dan bergegas masuk ke dalam rumah sakit diikuti oleh teman-temannya.

Di ruang tunggu, terlihat beberapa orang berkumpul. Bibinya menghampiri Raka dan memeluknya, wajahnya menunjukkan ekspresi putus asa. "Raka, ayahmu... dia masih di ruang operasi" ucapnya dengan suara serak, menahan tangisnya.

Raka berdiri terpaku, tenggorokannya terasa kering. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Ia hanya bisa duduk diam merasakan kesunyian dan dinginnya udara rumah sakit yang menusuk hingga ke tulang.

Teman-temannya duduk di sebelahnya. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang paling berat bagi Raka dan mereka hanya bisa menemaninya dalam keheningan.

Waktu berjalan begitu lambat, setiap detik terasa sangat menyesakkan. Akhirnya, setelah beberapa jam menunggu, seorang dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah serius, seketika Raka berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

"Apa hubungan Anda dengan pasien?" tanya dokter kepada Raka.

"Saya anaknya" jawab Raka, hatinya berdebar kencang. Ini adalah saat yang ia tunggu-tunggu, meski ia takut mendengar apa yang akan dikatakan oleh dokter.

Apakah yang Kulakukan Ini Benar?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang