Bab Pertama : Pertemuan dan rencana kecil.

380 20 2
                                    


Demi apapun, hari ini akan menjadi hari paling sial bagi mahasiswa baru Universitas NEO.

Tidak ada angin tidak ada hujan, panitia ospek yang juga mahasiswa semester 3 yang sudah terkenal galak seantero kampus itu mendadak mengamuk. Pagi pagi sekali, seseorang dengan iseng menyebarkan foto masa kecilnya di grup Maba. Sepele, namun memalukan baginya. Mata sipitnya sibuk mencari cari diantara ribuan mahasiswa baru, menebak nebak siapa kah yang mengenalnya dari masa lalu. Namun nihil, ribuan manusia itu asing baginya. Mungkin ada satu mahasiswa yang ia kenal sejak kecil tapi itu tidak mungkin. Mereka berteman dengan baik.

"Ngaku gak lo pada!"

Hening.

Tentu saja tidak akan ada yang mengaku. Mengaku atas kejahatannya pada Riyan Akbarrauf sama saja dengan menyerahkan kehidupan kuliahnya yang menyenangkan untuk ditukar dengan neraka dunia. Riyan akan mengingatnya sampai nanti ia keluar dari kampus. Kemudian ia akan mengungkitnya dengan mulut cabenya hingga mereka mulai menyerah dan memilih menghilang dari jarak pandang Riyan.

"Oke, kalo nggak ada yang ngaku, gak usah lo pulang semuanya" Laki laki yang lebih senang dipanggil Iyan itu turun dari panggung kecil tempatnya berdiri, berbalik, berjalan cepat menuju koridor. Menghilang dibalik tiang tiang tinggi, meninggalkan semua orang yang masih terdiam, merenung dan mengumpat dalam hati masing masing, merutuki siapapun yang terlalu usil.

"Duh, gimana nih, kalo gak selesai hari ini apa gak marah Pak Husain, Ri?"

Amri — Laki laki yang menjabat sebagai ketua BEM sekaligus sahabat masa kecil Iyan itu mendesah pelan. Ia mendekati mic, mengetuknya pelan. Ia harus menyelesaikan ospek setidaknya dalam 3 jam ke depan. Ia lelah, semua anggotanya juga lelah. Semakin lama selesai, maka lelahnya juga tidak usai usai.

"Gue enggak tahu, kalian emang sengaja bikin Riyan marah atau gimana, tapi menurut gue tindakan kalian itu nggak bertanggung jawab" Iyan memang dikenal sebagai kating galak, tapi laki laki yang sedang menatap mahasiswa baru dengan tatapan tegasnya cukup menciutkan nyali lawannya.

"Kalian itu udah bukan siswa lagi ya teman teman, kalian sudah Mahasiswa. Anak SMA aja udah dihitung dewasa, apalagi Kalau udah Mahasiswa. Udah nggak jamannya jail jail yang merugikan orang lain lagi, apalagi ini jatuhnya cyber bullying" Amri menghembuskan nafasnya lelah, selalu ada saja yang membuatnya kesal.

"Kalau gak ada yang mau ngaku gue juga gak apa apa, gue bisa cari sendiri. Tapi jangan harap kalian bisa hidup lama dan tenang di kampus ini"

Amri sudah meninggalkan lapangan. Memerintahkan teman temannya untuk membubarkan barisan, akan lebih baik kalau dia mencarinya sendiri. Atau mungkin, akan ada bantuan yang tiba dengan sendirinya.

                                                                                   ***

Ruang kesekretariatan yang sibuk bukan hal baru lagi bagi anggota BEM. Orang orang berlalu lalang, tidak ada yang tidak sibuk. Sekarang disini, 5 menit lagi mungkin sudah di tempat yang jaraknya berkilo kilo dari ruangan. Mencari sponsor, mencari tanda tangan persetujuan, mencari bahan, mencari ide baru. Tidak ada yang berleha leha, bahkan yang terlihat santai di dalam ruangan pun sebetulnya dipusingkan dengan laptop di hadapannya.

Namun, yang seperti itu jelas hal baru bagi Mahasiswa baru. Termasuk Christovel, adik sepupu Amri yang sibuk memandangi orang berlalu lalang dari pintu. Laki laki ras Tionghoa itu jarang berorganisasi, kalaupun ada ia lebih senang bertemu orang orang yang paham seni. Mengobrolkan mengenai capeknya mengulik melodi atau memperdebatkan aliran lukisan di museum. Membahas betapa mengagumkan dan mengagungkan Vincent Van Gogh.

Amitie RestaurantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang