NADIR: PROLOG

1.1K 163 32
                                    

Dalam hituk-pikuknya Ibu Kota, ada sebuah rumah kecil. Dinding-dindingnya terlihat mulai kusam, dengan cat yang mengelupas. Di dalamnya, ada sepasang suami istri bersama dua anak mereka yang masih belum beranjak remaja. Kehidupan di rumah itu tak pernah benar-benar sunyi. Ada suara tawa kecil, tangisan bayi, percakapan akan penuh impian, dan tangisan karna kebingungan.

Ferrel, sebagai kepala keluarga, setiap pagi sudah bersiap dengan motor, jaket, dan helmnya. Ia bekerja sebagai ojek online, berkeliling kota dari subuh sampai malam, berharap mendapatkan orderan untuk bisa menghidupi keluarga kecilnya. Kota ini bukan tempat yang mudah. Lalu lintasnya padat, cuaca kadang tak bersahabat, tapi Ferrel selalu berusaha tegar. Setiap kali pulang, ada senyum yang selalu dia bawa, meskipun tubuhnya hampir remuk di jalanan. Senyum itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarganya yang menunggunya di rumah.

Di rumah, Zee mengurus kedua anak mereka. Anak pertama mereka sudah hampir memasuki usia sekolah. Setiap kali Zee melihat kalender di dinding, perasaannya bercampur aduk antara bangga dan cemas. Bangga karena anaknya sudah bertumbuh, tapi cemas memikirkan biaya yang harus mereka keluarkan untuk sekolah dikemudian hari. Buku, seragam, uang pendaftaran, semua itu butuh nominal yang tak sedikit, dan saat ini mereka sedang berjuang keras hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan primer sehari-hari.

Anak kedua mereka masih bayi, masih harus dipakaikan popok setiap hari dan disusui. Zee tahu benar, popok dan susu bukan barang murah, tapi apa boleh buat? Bayinya butuh, dan sebagai ibu, Zee akan selalu mengutamakan kebutuhan anak-anaknya meskipun itu berarti mengorbankan keinginan-keinginannya sendiri. Ia tak lagi ingat kapan terakhir kali membeli sesuatu untuk dirinya sendiri, tapi itu tak pernah jadi masalah bagi Zee. Yang terpenting, anak-anaknya sehat dan tak kekurangan sedikitpun.

Malam-malam mereka sering kali berakhir dengan duduk di ruang utama keluarga, ya, ruangan yang merangkap menjadi ruang tamu dan juga ruang keluarga. Mereka tak banyak bicara, hanya saling melempar pandangan dengan tatapan yang penuh makna. Kadang-kadang, mereka berbincang tentang mimpi-mimpi lama yang dulu pernah mereka susun bersama, sebelum hidup menjadi seberat ini. Mimpi punya rumah yang lebih besar, perhiaasan, dan kehidupan yang layak.

Tapi mimpi itu sekarang hanya terasa seperti angan-angan yang jauh. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana caranya mereka bisa bertahan sampai akhir bulan. Gaji Ferrel dari ojek online sering tidak cukup, bahkan di bulan-bulan ketika ia sering mendapatkan order sekalipun. Setiap hari ada saja kebutuhan yang harus dipenuhi. Bayar listrik, beli bahan makanan, keperluan anak-anak, semua seperti tidak pernah ada habisnya. Zee sering kali harus memutar otak untuk bisa menyulap uang yang tak cukup menjadi cukup. Kadang, mereka harus meminjam uang dari tetangga sekitar, meskipun hati kecil Zee tak enak. Hutang-hutang kecil itu mulai menumpuk, dan semakin lama semakin sulit untuk dilunasi.

Namun, di balik semua itu, Zee dan Ferrel tetap saling mendukung. Mereka jarang sekali mengeluh di depan anak-anak. Ketika anak-anak tertidur lelap di malam hari, mereka baru mengeluarkan kekhawatiran mereka satu sama lain. Ferrel, meski letih, selalu berusaha untuk menghibur Zee. "Sabar sayang, rencana Tuhan ga pernah gagal" katanya, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. Zee hanya bisa tersenyum tipis, tahu bahwa Ferrel hanya ingin menenangkan hatinya.

Ada satu hal yang tak pernah hilang di antara mereka berdua, cinta dan rasa saling percaya. Di tengah kerasnya hidup dan beratnya beban yang harus mereka tanggung, cinta mereka adalah satu-satunya hal yang tetap membuat mereka kuat. Ferrel bukanlah orang yang banyak bicara soal perasaan, tapi tindakannya selalu menunjukkan betapa dia peduli pada keluarganya. Ia sering pulang membawa buah atau makanan kecil yang ia beli di jalan, hanya karena Zee pernah menyebutkan bahwa dia ingin makan sesuatu yang segar. Begitu juga Zee, yang meski lelah mengurus anak-anak sepanjang hari, selalu berusaha menyambut Ferrel dengan senyuman dan pelukan hangat saat dia pulang. Itulah cara mereka menunjukkan bahwa di tengah semua kesulitan, mereka masih punya satu sama lain.

Namun, meski cinta mereka kuat, hidup terus menawarkan tantangan yang lebih besar. Setiap hari terasa seperti berjalan di atas tali tipis, di mana satu langkah yang salah bisa membawa mereka jatuh lebih dalam ke dalam jurang kesulitan. Zee mulai merasakan tekanan yang semakin berat. Anak pertama mereka terus bertanya kapan bisa mulai sekolah, sementara Zee dan Ferrel hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan kekhawatiran di balik senyuman palsu. Ferrel semakin sering pulang dengan wajah lelah, lebih lelah dari biasanya, tapi ia tetap berusaha menyembunyikannya dari Zee.

Dalam hati, Zee tahu bahwa mereka sudah mendekati batas. Mimpi-mimpi yang dulu terasa indah kini berubah menjadi beban yang terasa sulit dicapai. Di tengah kebahagiaan sederhana mereka, Zee mulai merasakan adanya kekosongan yang sulit dijelaskan. Apakah cinta saja cukup untuk membuat mereka bertahan? Apakah mereka bisa terus hidup seperti ini, bertahan dengan cinta di tengah tekanan hidup yang semakin berat?

Zee terkadang memikirkan tentang pekerjaan. Dirinya sangat ingin membantu, ingin meringankan beban Ferrel, tapi setiap kali dia mencoba mencari pekerjaan, selalu saja ada hambatan. Lapangan pekerjaan terasa semakin sempit, dan Zee mulai meragukan apakah ada tempat untuk dirinya yang hanya tamatan SMA untuk bekerja di dunia luar sana. Namun, dalam hatinya, Zee tahu bahwa jika dia bisa mendapatkan pekerjaan, mungkin itu bisa sedikit meringankan beban mereka. Dia hanya belum tahu bagaimana caranya, atau kapan kesempatan itu akan datang.

Setiap hari, Zee dan Ferrel terus berjuang. Mereka tak tahu apa yang menanti di depan. Terkadang, hidup seperti memberikan mereka sedikit ruang untuk bernapas, hanya untuk kemudian melemparkan mereka kembali ke dalam badai terjal. Namun, mereka masih bertahan, karena itulah yang selalu mereka lakukan, bertahan dan saling menguatkan satu sama lain. Bertahan untuk anak-anak, untuk cinta yang mereka miliki, dan untuk harapan, sekecil apapun itu, bahwa besok mungkin akan lebih baik dari hari ini.

Namun, seperti kata pepatah, hidup selalu penuh dengan kejutan. Ketika mereka berpikir bahwa mereka sudah mencapai titik terendah, sesuatu yang lain datang menghampiri. Sesuatu yang akan menguji kekuatan cinta mereka, dan apakah mereka benar-benar bisa bertahan di tengah badai yang lebih besar lagi, lebih besar lagi, dan lagi.








Gimana nih menurut kalian? Apakah terlihat seru? Atau udah pernah baca cerita serupa?

BTW, aku tulis ini berdasarkan pengalaman orang terdekat ku ya guys, jadi no plagiat plagiat



Maaf aku baru bisa up sekarang karna bener-bener hectic banget. Kampus ku baru mau ngadain Event dan aku ditunjuk jadi salah satu panitianya. So, aku bakal usahain Triple up di weekend nanti ya guys! See you! Terima Kasih atas pengertiannya Semua!

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang