Pagi hari ini masih sama seperti pagi-pagi pada umumnya, cahaya matahari yang memberikan sedikit kehangatan pada rumah mereka yang sederhana. Di dapur, Zee sudah mulai sibuk menyiapkan sarapan. Tangannya kembali memasak menu andalan mereka, telur goreng, sementara dari kamar terdengar suara riuh anak-anak yang mulai bangun. Ferrel duduk di meja, mengencangkan tali sepatunya, bersiap untuk melaksakan kewajiabannya sebagai seorang suami, bekerja. Ia duduk tenang sembari menunggu istrinya memasak.
Zee melirik suaminya, dengan wajahnya tampak lelah, namun tetap tersenyum bak baik-baik saja. "Hari ini kayanya bakal rame mas, soalnya sekolah udah mulai masuk." Ucap Zee, menyodorkan piring berisi telur dadar dan nasi dengan baluran kecap manis.
Ferrel tersenyum, mengambil piring itu dengan tangan kanan sambil mengusap-usap matanya yang masih sedikit lelah akibat kurang tidur. "Iya, semoga lancar hari ini. Kalau ramai, mungkin bisa sampe sore ini, sekalian nunggu jam pulang sekolah, jadi bisa nutupin tagihan bulan ini."
Zee duduk di depan Ferrel, meletakkan dagunya di atas tangannya sambil memperhatikan suaminya makan. Ada rasa kagum di matanya, bukan hanya karena Ferrel selalu bekerja keras, tapi karena meskipun lelah, suaminya itu tak pernah mengeluh. Ferrel selalu punya senyum yang bisa menenangkan hatinya.
"Kamu tuh, ya" kata Zee sambil tersenyum kecil, "kalo aku jadi kamu pasti udah nyerah deh, cape banget rasanya harus panas-panasan, macet, kena debu, asep kendaraan, sampe muka suamiku ini jadi tambah gosong" Ucap Zee sembari merapikan rambut Ferrel.
Ferrel terkekeh pelan. "Udah kewajiban aku sebagai suamimu, kalo capek, ya capek sih, tapi ya mau gimana lagi? Lagian, kamu di rumah sama anak-anak pasti lebih capek."
Zee mendesah pelan, merasa terharu mendengar kata-kata suaminya. Ferrel tak pernah meminta apa-apa, dan dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Tangan Zee terulur, mengusap lembut punggung tangan Ferrel. "Aku selalu bangga punya suami kaya kamu mas."
Ferrel tersenyum, menatap Zee dengan mata yang menunjukkan betapa dia menghargai kata-kata itu. "Aku tahu. Dan aku juga bangga punya kamu. Kita udah ngelewatin banyak hal, tapi kita masih berhasil bertahan."
Sebelum percakapan mereka bisa berlanjut lebih jauh, suara tangisan dari kamar mengalihkan perhatian Zee. Bayi mereka yang masih kecil, Sasa, sudah bangun dan merengek minta diperhatikan. Zee berdiri dari kursinya dan berjalan ke kamar, meninggalkan Ferrel yang menghabiskan sarapannya.
Sementara Zee sibuk menggendong Sasa, Ferrel menyelesaikan makanannya dan bersiap pergi. Helm sudah di tangan, dan dia berjalan ke arah kamar. "Sayang, aku berangkat dulu ya. Kamu baik-baik di rumah sama anak-anak."
Zee keluar dari kamar, menggendong Lila yang sudah tenang, dan menghampiri Ferrel di depan pintu. "Hati-hati di jalan ya mas. Jangan terlalu capek, kalo udah capek banget pulang aja, ok?"
Ferrel mengangguk dan membungkuk untuk mencium kening Zee, lalu pipi Sasa. "Aku pulang nggak terlalu malam kalau bisa. Love you." Dengan cepat, Ferrel berbalik dan keluar rumah, siap menghadapi hari yang terasa monoton. Zee menatapnya sampai hilang di balik pagar, merasa hatinya hangat meskipun beban hidup terus menghantui.
Setelah Ferrel pergi, kehidupan seorang Ibu, baru saja dimulai. Anak pertama mereka, Michael, yang sudah hampir memasuki usia sekolah, tak kalah meminta banyak perhatian. Zee berusaha menyulap peran sebagai ibu dan 'guru' di rumah. Michael atau Mika, duduk di lantai ruang tamu, sibuk bermain dengan buku mewarnai, sementara Sasa di pangkuan Zee, merengek sesekali ketika bosan.
"Kakak udah siap sekolah?" tanya Zee sambil tersenyum melihat anak sulungnya yang begitu bersemangat dengan buku-bukunya.
Mika mengangguk dengan semangat. "Pasti Ibu! Aku mau jadi pinter biar bisa bantu Ayah."
Kata-kata sederhana dari anaknya membuat hati Zee terasa hangat. Anak-anak selalu melihat dunia dengan cara yang polos, tapi mendengar Mika berbicara seperti itu, Zee merasa semakin ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Namun, ada kekhawatiran yang selalu muncul di benaknya setiap kali membicarakan soal sekolah. Biaya yang mereka butuhkan cukup besar, dan dengan kondisi keuangan mereka sekarang, Zee tak yakin kapan mereka bisa mencukupinya.
Malam itu, setelah anak-anak tertidur, Zee duduk di sofa sendirian. Dia menatap layar ponsel, memeriksa saldo rekening yang semakin tipis. Pikiran soal biaya sekolah, popok, dan susu terus mengganggunya. Di sudut hatinya, ia merasa bersalah karena belum bisa membantu Ferrel lebih banyak. Ia ingin mencari pekerjaan, tapi entah kenapa, selalu ada halangan, padahal suaminya juga memperbolehkan. Pernah suatu saat, Zee diterima menjadi salah satu seles di toko elektronik. Namun, tak lama, ia hamil anak keduanya, Sasa. Jadilah Zee hanya bekerja 3 bulan awal.
Ferrel pulang lebih malam. Suara motor berhenti di depan rumah, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Zee menyambutnya dengan senyum lelah, namun tetap ada kehangatan di dalam senyum itu. "Alhamdulillah, aku mau telfon tadi, kok tumben jam 10 baru pulang." tanya Zee sambil mengambil jaket Ferrel yang basah oleh keringat.
"Maaf, Alhamdulillah tadi orderan juga numpuk, jadi aku putusin buat lanjut sedikit lagi. Ada beberapa penumpang tambahan juga, terus kaya nganter belanjaan juga." Ferrel duduk di kursi dan mengusap wajahnya. Matanya terlihat sayu, tapi seperti biasa, senyum masih mengisi wajahnya. "Gimana jagoan-jagoan ku?"
Zee tersenyum, mengangguk. "Mereka baik. Mika tadi semangat cerita soal sekolah, katanya mau jadi anak pintar biar bisa bantu kamu nanti."
Ferrel tertawa kecil, rasa bangga terlihat jelas di matanya. "Anak itu memang pinter, ya. Mudah-mudahan dia beneran jadi anak yang sukses. Kalo bisa, aku korbanin hidupku buat dia bisa jadi orang sukses."
Mereka duduk berdua, menikmati momen hening sejenak. Zee menatap Ferrel yang duduk dengan mata tertutup, jelas sekali, kelelahan setelah seharian di jalan. "Kamu nggak mau mandi dulu? Nanti malah tambah capek kalau nggak langsung bersih-bersih."
Ferrel membuka mata, menatap Zee dengan senyum yang hangat. "Iya, abis ini mau mandi. Kamu istirahat aja sana, keliatan capek banget kamu."
Zee mengangguk, meskipun sejujurnya, rasa lelahnya tak kalah dari Ferrel. "Aku nggak apa-apa. Yang penting kamu udah pulang dengan selamat. Anak-anak juga udah tidur."
Ferrel berdiri, berjalan menuju kamar mandi sambil melepas jaket dan kaosnya yang sudah basah oleh keringat. Zee memperhatikannya dengan penuh rasa kagum. Setiap hari, Ferrel berjuang tanpa mengenal lelah. Ia tak pernah mengeluh tentang sulitnya hidup atau beratnya tanggung jawab yang ia emban sebagai pencari nafkah. Ferrel adalah sosok yang kuat, sosok yang selalu membuat Zee merasa aman, meskipun kenyataannya mereka hidup dalam keterbatasan.
Setelah mandi, Ferrel kembali duduk di samping Zee, kali ini dengan tubuh yang lebih segar. Dia meraih tangan Zee dan menggenggamnya erat. "Sabar sayang, we'll be fine." katanya dengan nada pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri juga.
Zee menatap suaminya, mata mereka bertemu dalam keheningan. "Sok inggris kamu mas. I know we'll be fine. Selama kita masih bersama, kita bisa ngelewatin ini semua."
Hari-hari mungkin terasa berat, uang selalu terasa kurang, tapi di antara kelelahan dan kekhawatiran, ada cinta yang tak pernah pudar di antara mereka. Cinta yang membuat Zee dan Ferrel terus bertahan, menghadapi hari-hari yang penuh tantangan. Di tengah rutinitas yang tak pernah berhenti, mereka selalu menemukan momen-momen kecil yang membuat semuanya terasa layak untuk diperjuangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
FanfictionImpian yang akan jadi kenyataan atau berkahir menjadi sebuah khaylan?