NADIR - 7

369 110 24
                                    

Keesokan harinya, matahari sudah menampakan dirinya, dan Ferrel sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan sederhana yang ia buat denga penuh cinta, nasi goreng, telur dadar, dan sedikit sayur sisa yang ada di kulkas kecil mereka. Mika dan Sasa masih tertidur, dan Zee belum bangun. Ferrel berharap sarapan ini bisa menjadi langkah kecil untuk mencairkan suasana antara dirinya dan Zee.

Ketika Zee akhirnya bangun, Ferrel mendekatinya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuat suasana semakin tegang.

"Pagi, Sayang. Aku udah masak nasi goreng nih buat kamu sama Mika, terus susunya Sasa juga udah aku siapin." ucap Ferrel dengan senyuman lembut, meski dalam hatinya dia merasa takut.

Zee hanya mengangguk singkat, lalu menuju dapur tanpa sepatah kata. Ferrel bisa merasakan Zee yang masih enggan melihatnya.

Saat Zee duduk di meja makan, Ferrel mendekat dan duduk di hadapannya. Dia menatap wajah istrinya, yang kini tampak lelah dan dingin.

"Zee...," Ferrel mulai, suaranya pelan, "Aku tahu aku salah. Dan aku ngerasa bersalah juga atas apa yang udah aku lakuin ke kamu. Aku sangat tidak bermaksud buat kamu ngerasa tersisih kaya gini."

Zee tetap diam, tidak mengangkat wajahnya untuk menatap Ferrel. Dia hanya menyuap nasi goreng yang disiapkan suaminya tanpa ekspresi.

"Zee, please......." kata Ferrel lagi, lebih putus asa. "Aku tahu aku seharusnya udah terbuka dari awal."

Ferrel merasa terjebak dalam perasaan bersalah. "Aku cuman pingin nyiapin masa depan kelaurga kita, Zee."

Zee menggeleng, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Kamu masih gak ngerti, Mas. Ini bukan soal uang. Ini soal kepercayaan. Kamu masih ga bisa nganggep aku sebagai orang yang kamu percaya. Kamu masih susah buat terbuka sama aku. Itu hal yang bikin aku sakit hati sampe sekarang."

Ferrel terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Dia sudah mencoba membujuk Zee dengan segala cara, tapi rasa kecewa dan terluka di hati istrinya sepertinya terlalu dalam.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun Ferrel terus mencoba memperbaiki hubungannya dengan Zee dengan berbagai cara, seperti, membantu Zee dalam pekerjaan rumah, meluangkan waktu lebih banyak dengan anak-anak, dan bbercerita tentang setiap harinya dengan penuh semangat, namun Zee tetap menjaga jarak. Senyumnya yang hangat dan perhatian yang dulu sering Ferrel dapatkan, kini terasa jauh.

Ferrel mencoba sekali lagi pada suatu malam. Setelah anak-anak tertidur, dia mendekati Zee yang duduk di ruang tamu, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong.

"Zee, kamu marahnya masih sampe sekarang?"

Zee menutup ponselnya dan menatap Ferrel sejenak. Kali ini matanya tampak lebih tenang, tapi masih ada bayang-bayang kekecewaan di sana.

"Ya kamu pikir aja sendiri. Kita udah bareng dari pacaran, nikah, sampe sekarang punya 2 anak," ujar Zee pelan. "Dan aku masih kebayang gimana caranya kamu nyembunyiin semua luka kamu dari aku, seolah kamu ga percaya sama aku."

Ferrel mengangguk, meski hatinya terasa berat. "Hmmm, ok Zee, aku udah kehabisan ide gimana caranya biar kamu mau maafin aku. Jujur, aku udah gatau lagi gimana caranya supaya kamu bisa percaya lagi sama aku."

Zee tidak menjawab. Dia hanya berdiri dan menuju kamar, meninggalkan Ferrel yang duduk sendiri di ruang tamu. Ferrel tau istrinya mungkin masih butuh waktu untuk itu semua. Ia menyadari rasa sakit hati yang ada pada istrinya itu.

Malam itu, setelah Zee selesai menidurkan Sasa, ia menikmati keheningan malam itu dengan duduk sendirian di kamar. Pikiran-pikiran yang tak kunjung pergi mulai memenuhi kepalanya lagi, kecewa, amarah, perasaan tak dihargai yang terus ia rasakan terhadap Ferrel. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Saat ia menatap keluar jendela, melihat Ferrel yang baru saja pulang dengan langkah berat, mukanya terlihat pucat, dan keringat yang membasahi dahi dan rambutnya.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang