Malam yang cerah, bulan yang bersinar terang dan angin yang sejuk, tapi Zee sama sekali tak merasa tenang. Malam ini, Sasa terus rewel, menangis tanpa henti, membuat Zee dan Ferrel hampir tak tidur sama sekali. Sasa tampak tidak nyaman, sesekali menggeliat kesakitan di pangkuan Zee. Zee cukup bingung dan mulai kehabisan ide. Semua sudah ia coba, menenangkan dengan susu, menggendong, bahkan memijat perutnya sedikit. Namun, tak ada yang membuat bayi mereka berhenti menangis.
"Kenapa ini anak Ibu? Kok tumben rewelnya lama sih?" bisik Zee sambil mengusap punggung Sasa. Ia bisa merasakan hangat tubuh putrinya yang lebih panas dari biasanya.
Ferrel, yang duduk di lantai dengan mata sayu, mendekat. "Kita bawa ke dokter aja yuk sayang," ujarnya pelan, matanya masih setengah tertutup karena kelelahan. "Kita sama-sama gatau apa yang dia rasain."
Zee mengangguk. Meski lelah, kekhawatiran tentang Sasa mengalahkan segalanya. "Iya, mending sekarang aja mas. Aku juga nggak tega lihat dia gini terus."
Mereka segera bersiap-siap. Zee memasukkan beberapa perlengkapan bayi ke dalam tas kecil, sementara Ferrel berusaha menenangkan Mika, anak sulung mereka, yang dari tadi terlihat kebingungan dengan tangisan adiknya. "Kakak, kamu ikut, ya. Kita ke dokter dulu, biar adik Sasa sembuh, nanti tidurnya dilanjut di rumah sakit ya." kata Ferrel sambil menggendong Mika yang mulai terlihat bosan. Mereka gonceng 4 di motor itu. Satu-satunya kendaraan yang mereka punya dengan posisi Ferrel di depan, Mika ditengan, dan Zee yang dibelakang sambil menggendong Sasa di depannya. Ferrel harus duduk diujung, begitu pula Zee.
Sampai di klinik, ruang tunggu dipenuhi orang tua dengan anak-anak mereka yang juga sakit. Zee dan Ferrel duduk di sudut ruangan, menunggu dengan gelisah. Sasa masih merengek di pelukan Zee, sementara Mika duduk diam di pangkuan ayahnya, sesekali memainkan kakinya dengan bosan.
Akhirnya, nama Sasa dipanggil. Mereka masuk ke ruang periksa, dan dokter, seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut, menyambut mereka.
"Ada keluhan apa Ibu?" tanya dokter sambil memeriksa suhu tubuh Sasa dengan termometer.
Zee mendesah, lalu menjelaskan. "Dari tadi malem dia nggak berhenti nangis dok, kayak nggak nyaman. Biasanya sih nggak pernah sampe kaya gini."
Dokter mengangguk-angguk, lalu mulai memeriksa Sasa lebih mendetail. Setelah beberapa menit, dokter tampak sedikit mengernyit. "Kayaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, Bu. Pertama, dari gejala yang saya lihat, Adek Sasa mungkin alergi sama susu yang dia minum sekarang. Kulitnya juga mulai ruam, tanda-tanda alergi makanan seperti ini sering terjadi pada bayi. Saya akan rekomendasikan susu formula khusus yang lebih aman untuk bayi dengan alergi."
Zee menelan ludah. Pikiran soal biaya langsung terlintas di kepalanya, tapi ia hanya bisa mengangguk, mencoba untuk tetap tenang.
"Tapi, bukan cuma itu," lanjut dokter, sambil menunjuk area selangkangan Sasa yang mulai memerah. "Sepertinya Sasa juga mengalami iritasi di bagian ini karena popoknya. Kulit bayi memang sensitif, dan kadang popok yang terlalu murah atau bahannya tidak cocok bisa menyebabkan ruam seperti ini. Saya sarankan mengganti popoknya dengan merk yang lebih baik, meskipun mungkin sedikit lebih mahal."
Zee hanya bisa tersenyum tipis, mencoba menutupi kekhawatiran yang kian menggunung. Ferrel, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Zee erat, seolah-olah memberi isyarat bahwa mereka akan melewati ini bersama.
Setelah keluar dari ruang periksa, mereka berjalan pulang dengan perasaan yang campur aduk. Ferrel membawa Mika di gendongannya, sementara Zee tetap menggendong Sasa yang kini sudah agak tenang setelah diberi obat penurun demam. Dalam perjalanan pulang, tak ada banyak percakapan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sesampainya di rumah, Ferrel segera meletakkan Mika di lantai, dan anak itu langsung berlari ke mainannya. Zee duduk di sofa, mengelus kepala Sasa yang mulai tertidur dalam pelukannya. Ferrel mendekat dan duduk di samping Zee.
"Kita harus beli susu sama popok baru ya?" ujar Ferrel, meski suara itu terdengar lebih seperti gumaman pada dirinya sendiri. "Tapi... uang kita sekarang bahkan belum cukup buat nutupin tagihan bulan ini."
Zee menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa cemas yang makin mendesak di dadanya. "Aku nggak tahu gimana caranya. Susu yang biasa kita beli aja udah mahal, gimana yang formula khusus gitu, belum popok yang bagus juga nggak murah."
Ferrel menarik napas dalam-dalam, memijit pelipisnya yang mulai terasa sakit. "Mungkin aku bisa ambil lemburan lebih banyak. Tapi itu pun kayaknya nggak bakal cukup cepet."
Zee diam. Ia tahu suaminya sudah bekerja sekeras mungkin. Setiap hari, Ferrel keluar rumah sejak pagi buta, dan pulang larut malam dengan tubuh yang penuh keringat. Ia tak pernah mengeluh, tapi Zee tahu betapa berat beban yang sedang Ferrel pikul.
"Kayaknya," ujar Zee pelan, hampir seperti berbisik, "kita harus pinjem lagi."
Ferrel menatap Zee dengan pandangan yang sulit ditebak. Mereka sudah berhutang pada beberapa orang sebelumnya, dan belum juga mampu membayarnya. Pikiran untuk berhutang lagi membuat Ferrel merasa tak berdaya, tapi di sisi lain, mereka tak punya pilihan lain. Sasa butuh susu dan popok baru.
"Kalau memang nggak ada pilihan lain, ya......mau ga mau," jawab Ferrel akhirnya. Suaranya terdengar lelah, tapi ada ketegasan di dalamnya. Dia tak akan membiarkan anak-anaknya kekurangan, meskipun harus terus menambah beban hutang.
Hari-hari berikutnya terasa semakin berat. Zee mulai pergi ke toko untuk mencari susu dan popok yang direkomendasikan dokter, dan seperti yang ia khawatirkan, harga-harga barang itu jauh di luar jangkauan anggaran mereka. Zee sempat berdiri lama di lorong toko, memandangi rak-rak yang dipenuhi barang-barang yang tak bisa ia beli tanpa merasakan perih di dadanya. Mata Zee mulai panas, tapi ia masih berhasil menahan air matanya. Ini bukan waktunya untuk menangis.
Di rumah, Ferrel tetap bekerja keras. Ia sering kali pulang saat malam sudah larut, wajahnya dipenuhi keringat, tapi ia masih tersenyum ketika melihat Zee dan anak-anak. Mereka adalah alasan ia terus bertahan meski lelah menggerogoti tubuhnya. Setiap kali melihat Mika tertidur pulas dan Sasa mulai sembuh, Ferrel merasa semua pengorbanannya tak sia-sia.
Namun, di balik senyumnya, Zee tahu suaminya juga merasa tertekan. Ada malam-malam di mana Ferrel duduk di ruang tamu sendirian setelah anak-anak tidur, memandangi layar ponselnya yang kosong. Tak ada pesan masuk, tak ada kabar baik soal tambahan penghasilan. Zee sering menemukannya dalam posisi itu, dan tanpa bicara, ia akan duduk di samping suaminya, menggenggam tangannya erat.
"Kita bakal lewatin ini semua mas." bisik Zee tak bosan-bosannya mengucapkan kalimat itu, ketika mereka duduk berdampingan dalam kegelapan. "Kita selalu bisa lewatin semua masalah sebelum-sebelumnya, kan?"
Ferrel menoleh, dan dalam cahaya remang-remang, Zee bisa melihat mata suaminya yang lelah, tapi penuh keyakinan. "kita pasti bisa sayang" jawabnya, meskipun Zee tahu Ferrel mungkin tak sepenuhnya yakin.
Hari itu, mereka duduk berdua dalam keheningan, hanya ditemani suara napas anak-anak yang tertidur lelap di kamar. Di tengah segala kekhawatiran dan ketidakpastian, ada satu hal yang Zee tahu pasti, cinta dan dukungan mereka satu sama lain adalah kekuatan yang membuat mereka mampu bertahan.
Namun, sampai kapan mereka bisa bertahan dalam tekanan ini? Zee tak tahu jawabannya. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa melanjutkan hidup hari demi hari, dengan harapan bahwa esok akan lebih baik. Mungkin akan ada kejutan nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
FanfictionImpian yang akan jadi kenyataan atau berkahir menjadi sebuah khaylan?