Ingatan tentang awal pernikahan mereka perlahan kembali ke permukaan. Mereka memang bukan berasal dari keluarga berada. Dari awal, baik Zee maupun Ferrel sudah tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah mudah. Zee tumbuh besar di keluarga yang sederhana, ayahnya seorang buruh, ibunya hanya mengurus rumah tangga. Begitu pula dengan Ferrel, Ayahnya petani dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Keduanya tidak pernah merasakan kemewahan, dan mungkin itu yang membuat mereka bisa saling memahami sejak awal.
Mereka bertemu di sebuah acara tahunan di kampung, di mana Ferrel menjadi salah satu bagian untuk mengurus logistik acara. Zee, yang waktu itu masih bekerja serabutan sebagai sales, sering melihat Ferrel dengan kagum. Pria itu tak pernah mengeluh meskipun kerjanya sering tak dihargai, dan Zee bisa melihat kegigihan yang terpancar dari sikap sederhana Ferrel. Mereka mulai berkenalan, ngobrol singkat, dan dari situ hubungan mereka perlahan tumbuh menjadi lebih dari sekadar teman.
"Kenapa kita pacaran ya?" Ferrel pernah bertanya dengan penuh tawa ketika mereka sudah beberapa bulan menjalin hubungan. "Kita udah sama-sama tau, nggak usah pacaran lama-lama kan? Kamu mau nikah sama aku Zee?"
Zee ingat bagaimana kata-kata itu membuatnya terdiam, bukan karena terkejut, tapi karena itu yang juga ada di pikirannya. Mereka memang tak punya banyak, tapi apa yang mereka punya adalah rasa saling percaya dan keyakinan bahwa cinta itu lebih dari sekadar hiasan.
Tanpa pesta yang megah, tanpa gaun putih yang mahal, mereka menikah di sebuah aula kecil fasilitas milik Desa itu. Pernikahan mereka hanya dihadiri keluarga dekat, beberapa teman, dan warga Desa lainnya. Ferrel hanya mengenakan kemeja lama, dan Zee memakai kebaya sederhana yang ia pinjam dari kakaknya. Namun, di balik kesederhanaan itu, mereka yakin bahwa pernikahan mereka akan bertahan karena pondasinya adalah cinta sejati. Bahkan keluarga Zee tidak memberitahu sang kakek, Yudha. Bukan tanpa alasan mereka menyembunyikan pernikahan itu. Keluarga besar Zee, terutama Yudha, menganggap Ferrel bukanlah pasangan yang pantas untuk cucu kesayangannya.
"Zee, gimana kalau," Ferrel berkata dengan nada serius saat itu, menatap mata istrinya dengan penuh keyakinan. "Kita nggak akan punya anak dulu sampai kita bener-bener siap. Kita bakal nabung sampai cukup, dan aku bakal cari kerjaan yang lebih proper."
Zee tersenyum, menyetujui rencana itu. Mereka ingin memastikan bahwa sebelum anak datang, mereka sudah punya tabungan yang cukup untuk menghadapi segala kemungkinan. Termasuk kontrakan yang baru mereka sewa sebagai tempat tinggal mereka. Hingga akhirnya tabungan mereka sudah cukup dan Zee juga sedang mengandung anak pertama mereka, Mika.
Kehidupan mereka bersama Mika sungguh menyenangkan. Tabungan yang sudah dipersiapkan untuk biaya persalinan, susu, popok, dan makanan untuk Mika semuanya sudah siap. Saat itu, mereka belum memiliki hutang apapun. Yang selanjutnya mereka pikirkan adalah, tabungan untuk biaya sekolah Mika. Sehingga, mereka berencana untuk menunda kehamilan berikutnya karna akan terasa berat apabila Zee harus mengandung lagi.
Namun, kenyataan sering kali tidak sesuai dengan rencana. Tiga tahun setelah Mika lahir ke dunia, mereka mulai merasa nyaman dengan kehidupan yang mereka jalani. Walaupun sederhana, mereka tetap bisa makan dengan layak, dan Ferrel perlahan-lahan membangun penghasilan dari pekerjaan ojek onlinenya. Namun, di suatu malam yang penuh kejutan, rencana harus segera diubah.
Zee duduk di kamar mandi dengan napas yang tertahan, memandang dua garis merah yang tampak di alat tes kehamilan di tangannya. Jantungnya berdebar keras, dan pikirannya melayang ke berbagai arah. Kehamilan ini....bukan sesuatu yang mereka rencanakan. Rencana untuk menabung, untuk menyiapkan segalanya untuk Mika, seakan runtuh dalam sekejap.
Ketika Zee memberitahu Ferrel tentang kabar itu, pria itu terdiam sesaat, kemudian tersenyum kecil, meskipun Zee bisa melihat kekhawatiran yang tersirat di balik senyumnya. "Ini, hadiah dari Tuhan," katanya pelan. "Mungkin kita belum siap sekarang, tapi aku yakin kita bisa. Aku janji."
Namun, kata-kata janji itu terdengar lebih berat kali ini. Mereka tahu bahwa dengan kehadiran Sasa, segalanya akan berubah. Dan benar saja, hidup mereka mulai semakin sulit sejak saat itu. Tabungan yang mereka kumpulkan selama ini harus habis untuk persiapan kelahiran, biaya rumah sakit, dan kebutuhan bayi. Semua terasa serba mendesak, dan mereka harus memutar otak untuk bisa bertahan. Mereka sudah meminjam beberapa uang dari keluarga mereka, namun apakah itu bisa menutup semuanya? mengingat latar belakang keluarga mereka, ini terasa tidak mungkin.
Saat Sasa lahir, kebahagiaan bercampur dengan kecemasan yang tiada henti. Zee tahu bahwa Ferrel akan semakin lelah bekerja, menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan untuk mencari tambahan penghasilan. Mereka berdua sadar bahwa sekarang bukan hanya soal memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tetapi juga tentang bagaimana membesarkan dua anak di tengah semua keterbatasan ini.
Meskipun begitu, kehadiran Sasa juga membawa kebahagiaan tersendiri. Senyum mungilnya, tawanya yang ceria, membuat semua kesulitan yang mereka hadapi terasa sedikit lebih ringan. Tapi kenyataan tak pernah berhenti menekan keluarga kecil mereka. Dengan Mika yang semakin besar dan Sasa yang memerlukan perhatian penuh, Zee dan Ferrel merasa semakin sulit mengimbangi semua tanggung jawab yang datang.
Kembali ke masa sekarang, Zee menatap Ferrel yang sedang bersandar di kursi, menutup matanya sejenak, mungkin berharap bisa mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya yang kelelahan.
"Mas," panggil Zee pelan.
Ferrel membuka matanya perlahan, menatap istrinya dengan pandangan penuh kasih sayang meski lelah.
"Kamu ingat nggak, waktu kita masih belum ngerencanain punya anak lagi?" Zee bertanya, setengah tersenyum.
Ferrel mengangguk, lalu tersenyum kecil. "ah, rencana itu.....Tapi aku nggak nyesel sama sekali. Sasa itu anugerah, sama kayak Mika. Meskipun...ya, nggak gampang buat memenuhi kebutuhan mereka, tapi bagaimanapun juga, selain kamu, mereka itu anugrah terindah yang aku punya sekarang."
Zee menghela napas panjang. "Iya, aku juga nggak nyesel. Cuma kadang aku mikir...apa kita bisa ngasih mereka kehidupan yang lebih baik? Aku takut kalau kita nggak bisa kasih yang terbaik buat mereka."
Ferrel duduk tegak dan meraih tangan Zee, menggenggamnya erat. "Zee, kita nggak bisa ngasih mereka segalanya. Kita bisa ajarin mereka gimana caranya kuat di tengah keadaan yang susah. Kita bakal kasih mereka apa yang kita bisa. Untuk sekarang dan selamanya, aku yakin bahwa ada maksud lain dari Tuhan kenapa ada Sasa dan Mika di hidup kita sekarang."
Zee terdiam, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, meskipun hidup mereka penuh dengan keterbatasan, cinta yang mereka bagi untuk anak-anak mereka tidak pernah berkurang. Malam itu, di tengah derasnya hujan, Zee dan Ferrel duduk bersama, mengingat perjalanan hidup mereka yang penuh dengan lika-liku. Mereka tahu jalan di depan masih panjang dan penuh tantangan, tapi mereka juga tahu bahwa selama mereka tetap bersama, mereka akan selalu punya alasan untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
FanfictionImpian yang akan jadi kenyataan atau berkahir menjadi sebuah khaylan?