Akan selalu ada

12 4 0
                                    

Hari-hari berlalu seperti helai-helai vanila yang melilit waktu, lambat namun pasti, dengan setiap langkah terasa ringan, meski ada sesuatu yang tumbuh di dada Sakura—sesuatu yang sulit dia definisikan, tapi tidak bisa dia sangkal. 

Cinta, jika memang itu yang sedang berkembang, terasa sederhana. Tidak ada pertanyaan besar, tidak ada janji-janji muluk, hanya hadir begitu saja di antara mereka, seperti senyum yang mengiringi pandangan setiap kali mata mereka bertemu.

Sakura mulai terlibat lebih dalam dengan kehidupan kebun. Dia membantu Hongjoong memanen vanila, mengikat tanaman yang merambat, atau hanya duduk di bawah pohon saat istirahat, mendengar cerita-cerita sederhana dari masa lalu pria itu. Dalam setiap percakapan, Hongjoong tidak pernah berusaha mengesankan. Dia hanya ada, menjadi bagian dari alam yang dia rawat—membiarkan angin dan tanah bicara lewat tindakannya yang diam namun penuh makna.

Suatu sore, di tengah-tengah kebun yang sepi, mereka berjalan berdampingan, diam namun tidak canggung. Langit memerah, menggantung di atas kepala mereka seolah memberi pertanda bahwa sesuatu akan segera berubah.

"Sakura," kata Hongjoong perlahan, suaranya mengambang di antara hembusan angin. "Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"

Sakura berhenti berjalan, menatap langit sebelum mengalihkan pandangannya kepada Hongjoong. Pertanyaan itu bukan hanya soal liburannya yang hampir selesai. Itu adalah pertanyaan tentang arah hidupnya, tentang semua beban yang selama ini ia bawa dari kota—dari kehidupan yang dipenuhi oleh ekspektasi orang lain, bukan dirinya sendiri.

"Aku... tidak tahu," jawabnya akhirnya. "Aku datang ke sini untuk melarikan diri. Tapi sekarang, aku merasa seperti telah menemukan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar pelarian."

Hongjoong mengangguk pelan, memahami tanpa memaksa. "Kebanyakan orang datang ke sini dengan beban yang sama. Tapi yang penting bukan apa yang mereka temukan di sini. Yang penting adalah apa yang mereka bawa pulang."

Sakura menatapnya, dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar mengerti apa yang Hongjoong maksud. Ini bukan tentang meninggalkan kebun vanila dan kembali ke kota. Ini tentang apakah dia mampu membawa perubahan yang dia temukan di sini—kedamaian, penerimaan diri, dan mungkin, cinta yang tumbuh perlahan—ke dalam kehidupannya yang nyata.

"Apa yang kau temukan di sini, Hongjoong?" tanya Sakura, suaranya lembut, hampir seperti bisikan.

Hongjoong memandangnya sejenak sebelum menjawab. "Aku menemukan tempat di mana aku tidak perlu menjadi siapa pun kecuali diriku sendiri. Tempat di mana waktu bergerak dengan kecepatan yang seharusnya, dan di mana setiap hal kecil memiliki maknanya sendiri."

Sakura merasa dadanya hangat mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa tempat yang dimaksud Hongjoong bukanlah kebun vanila itu sendiri, melainkan perasaan yang datang dari dalam. Tempat itu bisa ada di mana saja—bahkan di kota, di antara gedung-gedung pencakar langit, atau di tengah kesibukan yang tak berujung—selama dia bisa menerima dirinya apa adanya, tanpa harus mengejar bayang-bayang.

Saat matahari semakin tenggelam, mereka berdua duduk di tepi ladang, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka.

"Aku mungkin harus kembali ke kota," kata Sakura perlahan. "Tapi aku tidak ingin kembali ke kehidupan lamaku. Aku ingin hidup dengan cara yang berbeda, lebih seperti... seperti di sini."

Hongjoong tersenyum, senyum yang sederhana namun penuh arti. "Kau bisa menemukan cara itu, Sakura. Tidak semua orang harus hidup dengan kecepatan kota. Kau hanya perlu mendengarkan dirimu sendiri."

Sakura mengangguk, merasa tenang untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ketika dia kembali, tapi dia tahu bahwa dia tidak akan lagi membiarkan dunia luar mendikte hidupnya. Dan di antara semua itu, ada Hongjoong—pria yang dengan ketenangan dan kesederhanaannya telah mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan yang sebenarnya.

Malam itu, sebelum mereka berpisah untuk tidur, Hongjoong menatapnya dengan pandangan yang lebih dalam daripada biasanya. "Sakura," katanya perlahan, "aku tidak pernah berpikir untuk mengubah hidup siapa pun. Aku hanya menjalani hidupku sendiri. Tapi jika kehadiranku berarti sesuatu bagimu, maka itu lebih dari cukup."

Sakura tersenyum lembut. "Kehadiranmu tidak hanya berarti, Hongjoong. Kehidupanmu menginspirasi."

Keesokan paginya, sebelum matahari terbit, Sakura berdiri di depan rumah kayu itu dengan kopernya. Hari terakhir di kebun vanila telah tiba, dan meskipun hatinya terasa berat, ada kelegaan yang menyelusup di antara kesedihan perpisahan. Dia sudah tahu bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar liburan. Ini adalah awal dari perjalanan yang lebih besar—perjalanan menuju dirinya sendiri.

Hongjoong berdiri di sampingnya, tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan, seolah menyampaikan bahwa dia mengerti perasaan itu tanpa harus diucapkan.

"Aku akan kembali," kata Sakura akhirnya, menatap pria itu. "Bukan karena aku ingin melarikan diri lagi, tapi karena aku ingin melihatmu."

Hongjoong tersenyum tipis. "Kapan pun kau siap, kebun ini akan selalu ada. Dan begitu juga aku."

Dan saat mobil yang menjemputnya bergerak menjauh, meninggalkan kebun vanila di belakang, Sakura merasa bahwa dia tidak benar-benar meninggalkan tempat itu.

Sebagian dari dirinya akan selalu berada di sana—di antara ladang vanila yang sunyi, di bawah langit yang damai, bersama pria yang telah mengajarinya tentang arti hidup dan cinta yang sebenarnya.

.

Bersambung

Vanilla • Hongjoong × Sakura ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang