Setelah makan siang usai dan keheningan mulai mengambil alih, Sakura duduk di ruang tamu bersama Hongjoong dan orang tua Sakura.
Percakapan yang semula ringan perlahan menggulirkan topik besar yang telah lama tertunda—rencana pernikahan.
Ayah Sakura, yang biasanya berbicara sedikit dan lebih banyak mendengarkan, membuka diskusi dengan batuk kecil, membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara. “Kalau kalian benar-benar ingin menikah, maka harus ada dua upacara,” katanya dengan nada tegas, namun tidak keras. “Satu di sini, di Jepang, dengan adat kami. Dan satu lagi di Korea, untuk menghormati asal-usul Hongjoong.”
Hongjoong mengangguk setuju. Ia menoleh pada Sakura, mencari persetujuan dari mata lembutnya. Sakura tersenyum tipis, hatinya dipenuhi dengan kehangatan dan sedikit kegugupan yang manis.
"Apa yang harus kami persiapkan untuk upacara di sini?" tanya Hongjoong. Nada bicaranya penuh dengan rasa hormat, meski tak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketidaktahuannya tentang adat Jepang.
Ibu Sakura, yang sedari tadi diam mendengarkan, akhirnya berbicara. “Pernikahan tradisional Jepang tidak rumit, tapi penuh simbol dan makna. Kalian akan mengenakan pakaian pengantin tradisional. Sakura, kau akan mengenakan shiromuku—kimono putih yang melambangkan kemurnian, sementara Hongjoong akan mengenakan montsuki hitam dengan hakama. Kalian akan menikah di kuil Shinto.”
Sakura membayangkan dirinya berdiri di kuil, dibalut kimono putih yang anggun, dengan rambutnya tersanggul rapi di bawah tudung tsunokakushi yang menutupi sebagian wajahnya. Hatinya berdebar membayangkan momen itu. Ada sesuatu yang sakral dalam kesederhanaan adat itu, dalam keheningan yang penuh makna.
"Di kuil, kalian akan menjalani upacara san-san-kudo," lanjut ayahnya. "Upacara minum sake yang menandakan penyatuan dua jiwa. Kalian harus menyesap sake dari tiga cangkir berbeda, masing-masing tiga kali. Sembilan kali total, angka yang melambangkan keabadian."
Hongjoong mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba membayangkan dirinya dalam balutan montsuki, berdiri di hadapan pendeta Shinto yang mengalunkan doa-doa dalam bahasa asing yang baru kini terasa dekat.
“Sederhana, namun penuh makna,” gumam Hongjoong, seolah merenung dalam-dalam. Lalu, ia menoleh pada Sakura. “Di Korea, kita akan melakukan upacara pyebaek. Setelah upacara utama, kita memberi penghormatan pada orang tua kita dengan membungkuk dalam-dalam. Mereka akan memberikan kita nasihat dan berkat.”
Sakura mengangguk, membayangkan bagaimana kedua adat yang berbeda itu akan saling melengkapi. Di Jepang, upacaranya tenang, penuh ritual, sementara di Korea, upacara itu lebih bersifat kekeluargaan, dengan kehangatan dan keriangan yang membuncah.
“Aku tidak sabar,” bisik Sakura, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Hongjoong tersenyum, meraih tangan Sakura di bawah meja. "Aku juga. Setelah menikah, kau akan ikut denganku ke desa, membantu mengelola perkebunan. Kau tahu, bukan? Perkebunan itu butuh tangan yang kuat dan pikiran yang cerdas."
Sakura mengangguk. “Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan, aku punya banyak tabungan. Cukup untuk kita berinvestasi. Lagipula, hidup di desa sepertinya akan jauh lebih tenang.”
Orang tua Sakura saling memandang. Dalam hati, mereka merasa lega mendengar rencana anak perempuan mereka. Ayahnya terbatuk lagi, kali ini untuk menghilangkan kegugupan yang tak biasa tampak di wajahnya.
"Itu... rencana yang bagus," katanya singkat, namun penuh arti.
---
Beberapa minggu kemudian, semua persiapan telah selesai.
Hari pernikahan pun tiba, dan Sakura serta Hongjoong menemukan diri mereka di tengah-tengah upacara tradisional yang sakral, dikelilingi keluarga dan sahabat terdekat. Kuil tempat pernikahan diadakan berdiri megah, dengan atap yang menjulang ke langit biru. Pohon-pohon pinus tua berderak pelan di bawah embusan angin, seolah ikut merestui penyatuan dua jiwa itu.
Sakura, dalam balutan shiromuku yang putih bersih, tampak seperti bayangan lembut yang menyelinap di antara batang-batang pohon tua. Rambutnya tersanggul rapi di bawah tudung tsunokakushi, sementara matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan keyakinan dan harapan. Hongjoong, dalam balutan montsuki hitam dan hakama yang megah, berdiri di sampingnya, dengan tatapan yang tak lepas dari wajah calon istrinya.
Mereka berjalan perlahan menuju altar kuil, diiringi oleh pendeta yang melantunkan doa-doa kuno dalam bahasa yang begitu asing, namun terasa begitu khidmat. Di depan altar, tiga cangkir sake disiapkan, menanti giliran untuk disesap dalam upacara san-san-kudo. Pendeta itu menjelaskan makna di balik setiap cangkir, namun kata-katanya seakan menguap di udara. Yang tersisa hanya degup jantung mereka berdua.
Sakura meraih cangkir pertama dengan tangan gemetar, namun Hongjoong di sampingnya memberikan ketenangan. Mereka menyesap sake dengan pelan, merasakan kehangatan cairan itu mengalir ke dalam tubuh mereka, seolah menyatukan jiwa mereka dalam ritual yang tak terlihat. Setiap sesapan adalah janji; janji akan kebersamaan yang takkan lekang oleh waktu.
Ketika upacara san-san-kudo selesai, mereka saling berpandangan, mata mereka berkilau dalam diam. Di sekeliling mereka, suara angin dan dedaunan yang berbisik seakan menjadi saksi bisu dari perjanjian mereka. Di bawah langit yang cerah, dua jiwa itu telah resmi menjadi satu.
Pernikahan tradisional Jepang itu penuh dengan ketenangan yang indah, seolah-olah alam sendiri ikut menyaksikan dan merestui. Sakura, kini sebagai seorang istri, merasa seolah seluruh dunia baru saja membuka pintu lebar-lebar untuknya. Dan di sampingnya, Hongjoong, dengan senyum yang tenang namun penuh arti, siap memulai babak baru dalam hidup mereka.
Mereka telah menikah.
Satu langkah besar telah mereka tempuh, namun kehidupan mereka baru saja dimulai.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla • Hongjoong × Sakura ✔
FanficSakura, seorang wanita kota yang stres karena pekerjaannya di kantor memutuskan untuk berlibur ke pedesaan dan tinggal di perkebunan vanila. Di sana, dia bertemu dengan Hongjoong, pemilik kebun yang hidup sederhana, namun penuh kebijaksanaan. Perlah...