Sakura memutuskan segalanya secepat badai yang menghantam dirinya.
Sebuah keputusan yang tak ia bayangkan akan ia ambil beberapa minggu sebelumnya—saat hanya duduk di meja kantornya, tenggelam dalam rutinitas harian. Kini, ia menatap tiket pesawat ke desa Hongjoong di tangannya. Sebuah perjalanan yang tak hanya tentang pelarian dari kehidupan kota, tetapi tentang pertempuran untuk sesuatu yang lebih berharga.
Di sisi lain, Hongjoong menjalani harinya seperti biasa, meski pikirannya tak pernah lepas dari masalah besar yang mengancam perkebunan vanilanya. Ada sebuah tekanan yang tak terucap setiap kali ia menginjak tanah itu—tanah yang diwariskan oleh ayahnya, oleh kakeknya. Kini, mereka semua yang tersisa di desa harus berhadapan dengan para pemodal yang tak mengenal belas kasihan.
Hari itu, Hongjoong bangun lebih pagi dari biasanya, mempersiapkan kedatangan beberapa wisatawan yang masih tertarik meski kebun sudah ditutup sebagian. Ia membimbing mereka melalui jalur-jalur yang dulu biasa dilalui Sakura saat berlibur. Jalur itu kini terasa asing, dingin. Seolah tak lagi menyimpan kehangatan yang pernah ada.
Sesekali, matanya tertumbuk pada tempat-tempat tertentu. Ia bisa melihat bayangan Sakura yang dulu berdiri di sana, tersenyum, menatap indahnya hamparan vanila. Betapa damainya saat itu. Namun sekarang, setiap jengkal tanah ini dipertaruhkan. Angin yang bertiup membawa aroma ketidakpastian.
Setelah menyelesaikan tur kecil untuk para tamu, Hongjoong kembali ke kebun, memeriksa tanaman vanila yang masih kokoh meski ancaman sudah menggantung di langit. Ia berdiri di sana, mengamati barisan tanaman yang menjalar dengan subur. Di balik kecantikan alam ini, ada perjuangan yang tak kasat mata, sebuah ketegangan yang terus menebal.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk.
"Hongjoong, aku akan berangkat besok pagi. Aku sudah menghubungi pengacaraku. Kita akan mencari solusi. Percayalah padaku."
Hongjoong menatap pesan itu lama. Ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata Sakura, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia usir. Apa benar ini akan berhasil? Apa benar Sakura bisa menolong?
Dengan tangan gemetar, Hongjoong mengetik balasan. "Terima kasih, Sakura. Tapi jangan terlalu berharap. Masalah ini bukan hanya soal hukum, mereka memiliki pengaruh lebih besar daripada yang kau kira."
Hongjoong melanjutkan hari-harinya seperti biasa. Tapi entah bagaimana, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setiap kali ia melangkah di kebunnya sendiri. Setiap sudut tempat ini seperti mengingatkannya pada Sakura. Tempat dia dan Sakura pertama kali bertukar cerita, tempat Sakura berdiri terpesona memandangi alam desa yang masih perawan. Namun, semua itu kini terasa terancam oleh dunia yang begitu tamak, begitu kejam.
Di tengah ketidakpastian itu, ada keyakinan yang mulai tumbuh pelan-pelan di hati Hongjoong, sesuatu yang lahir dari kebaikan Sakura, dari keberaniannya melawan. Seolah meski ia tidak tahu bagaimana caranya, Sakura benar-benar berniat menolong.
Hari berikutnya, Hongjoong menyibukkan diri lagi, berkeliling kebun, menyambut tamu terakhir yang mungkin akan datang sebelum kebun ini ditutup sepenuhnya. Ketika sore tiba, ia menutup hari dengan menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, mencoba mengabaikan segala kegelisahan yang mencekik.
Namun, di setiap langkah, ada jejak Sakura yang tertinggal di benaknya.
Satu per satu, kenangan tentang wanita itu mulai menyatu dengan tanah, dengan udara yang ia hirup.
.
Saat fajar mulai memecah cakrawala, udara dingin desa membawa embusan yang tak lagi secerah dulu.
Hongjoong berdiri di pinggir kebun, memandangi hamparan vanila yang kini terasa seperti garis depan medan perang. Namun, di tengah keraguannya, sebuah mobil hitam kecil berhenti di depan gerbang perkebunan. Dari sana, turunlah Sakura, dengan langkah cepat, matanya memancarkan tekad yang kuat.
Mereka bertemu tanpa banyak kata, seolah pertemuan kali ini lebih berbicara lewat udara yang mengalir di antara mereka. Hongjoong menuntun Sakura melewati kebun yang sudah tampak suram oleh ancaman yang menggantung. Di titik-titik tertentu, mereka melihat tanda-tanda invasi para pemodal—tanah yang mulai dibor untuk pengujian, papan peringatan yang dipasang tanpa sepengetahuan mereka.
“Ini lebih buruk dari yang kau bayangkan,” ujar Hongjoong lirih, suaranya terdengar serak oleh beban emosional yang ia pendam.
Sakura menatap luas hamparan hijau itu, menghela napas panjang. “Kita akan coba sesuatu. Aku membawa pengacaraku, dia akan tiba sebentar lagi. Tapi lebih dari itu, aku ingin kau tahu bahwa aku sudah menyiapkan sebuah kampanye.”
Hongjoong mengernyit. “Kampanye?”
Sakura mengangguk, wajahnya tampak bersinar dengan optimisme yang belum pernah Hongjoong lihat. “Kampanye digital, untuk menyelamatkan kebun ini. Dunia luar tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Mereka hanya melihat apa yang disajikan oleh para pemodal besar—prospek pembangunan dan investasi. Tapi kita bisa menunjukkan pada mereka apa yang sebenarnya hilang.”
Hongjoong memandang Sakura dalam diam, mencoba mencerna gagasan yang diajukan wanita itu. “Tapi, apa itu cukup? Dunia terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, Sakura. Aku tidak yakin mereka akan peduli pada kebun kecil di sudut desa terpencil ini.”
“Kau salah,” jawab Sakura mantap. “Keindahan ini, kesederhanaan ini—itu yang orang-orang butuhkan. Mereka hanya butuh diingatkan. Mereka butuh melihat bagaimana tanah ini penuh dengan kehidupan, bagaimana perjuangan yang kita hadapi ini nyata. Dan kita akan menunjukkan pada mereka.”
Sore itu, Sakura dan pengacaranya memulai kerja keras mereka. Pengacara tersebut, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal dan wajah penuh determinasi, menjelaskan strategi hukum mereka. Meski kelihatan rumit, ada satu celah yang bisa dimanfaatkan—perizinan pembangunan ternyata cacat karena tidak adanya persetujuan masyarakat lokal.
Sementara itu, Sakura memimpin kampanye digitalnya. Foto-foto indah dari perkebunan vanila, pemandangan desa yang masih alami, serta kisah perjuangan Hongjoong dan keluarganya, semuanya diunggah dengan narasi yang menyentuh. Sakura tahu bahwa dunia mungkin tidak akan segera bertindak, tapi ia juga tahu kekuatan dari sebuah kisah yang jujur dan menyentuh hati.
Hari berganti hari, dan tak lama kemudian kampanye itu mulai menarik perhatian. Postingan-postingan yang awalnya hanya dilihat segelintir orang, tiba-tiba meledak menjadi viral. Orang-orang mulai berbagi kisah itu, mendukung perjuangan mereka. Berita mengenai perkebunan vanila yang terancam di desa kecil itu akhirnya sampai ke media nasional. Para pengunjuk rasa mulai berdatangan, mendukung mereka di lapangan. Wisatawan yang pernah mengunjungi desa itu ikut bersuara, mengatakan betapa berharganya tempat ini, bukan hanya bagi ekonomi, tapi bagi jiwa.
Satu sore, Hongjoong yang biasanya skeptis, berdiri di depan laptopnya, matanya terpaku pada jumlah tanda tangan yang mendukung petisi mereka. “Lihat ini, Sakura. Lima puluh ribu tanda tangan.”
Sakura tersenyum, menghela napas lega. “Aku bilang kan, dunia tidak sedingin itu.”
Pengacara yang sejak tadi sibuk di ruang tamu, datang dengan wajah penuh kepuasan. “Aku baru saja mendapat kabar dari kantor pusat. Mereka sedang mempertimbangkan untuk membatalkan izin pembangunan, paling tidak sampai investigasi lebih lanjut.”
Senyum merekah di wajah Hongjoong, campuran rasa lega dan kebahagiaan. Di luar, angin sore berembus pelan, membawa wangi vanila yang lembut. Di tempat itu, di tengah kebun yang penuh kenangan, ia memandang Sakura dengan penuh rasa syukur.
“Kau datang bukan hanya untuk menyelamatkan kebun ini,” ujar Hongjoong dengan suara pelan, penuh perasaan. “Kau menyelamatkanku.”
Sakura menatap Hongjoong, senyumnya hangat, tapi juga lembut seperti embun pagi di atas dedaunan. “Mungkin kebun ini, tempat ini, yang akhirnya menyelamatkan kita berdua.”
Mereka berdiri di sana, di bawah langit sore yang mulai merona, di tengah kebun yang kini terasa hidup kembali. Masa depan masih belum pasti, tapi untuk saat ini, mereka tahu bahwa perjuangan mereka baru saja menemukan harapan.
Hongjoong merasakan bahwa di balik perjuangan yang mereka lalui, ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang tumbuh di antara mereka—sesuatu yang mungkin tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata, tapi jelas terasa di dalam hatinya.
Sebuah perasaan yang lembut namun kuat, seperti aroma vanila yang selalu mengisi udara di kebunnya.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla • Hongjoong × Sakura ✔
FanficSakura, seorang wanita kota yang stres karena pekerjaannya di kantor memutuskan untuk berlibur ke pedesaan dan tinggal di perkebunan vanila. Di sana, dia bertemu dengan Hongjoong, pemilik kebun yang hidup sederhana, namun penuh kebijaksanaan. Perlah...