Dokter Jiwon menghela napas panjang sambil merapikan beberapa berkas terakhir di mejanya. Praktek hari ini cukup padat, tapi semuanya berjalan lancar. Usianya baru 32 tahun pada bulan depan, tapi sudah berhasil membuka praktek anak di kawasan apartemen elit ini, sebuah pencapaian besar yang diraihnya setelah bertahun-tahun belajar dan bekerja keras.
Lulusan Seoul National University (SNU), Jiwon selalu fokus pada kariernya, tak terlalu peduli dengan urusan cinta. Baginya, membantu anak-anak adalah panggilan hidup, sesuatu yang lebih memuaskan daripada sekadar mengikuti norma kehidupan berumah tangga yang sering dikatakan orang lain.
Setelah menutup pintu praktek, dia memeriksa jam tangan. Sudah jam delapan malam. Suasana di luar klinik mulai sepi, hanya ada beberapa lampu taman yang menyala remang. Saat Jiwon hendak berjalan menuju mobilnya, tiba-tiba telinganya menangkap suara isak tangis.
Dia menoleh, matanya menangkap sosok seorang anak kecil, berdiri di pinggir jalan sambil menangis. Jiwon segera mendekat, rasa penasaran bercampur kekhawatiran memenuhi benaknya.
"Nak, kenapa kamu di sini? Sudah malam," tanya Jiwon lembut sambil berjongkok di hadapan anak itu.
Anak kecil itu mengusap air matanya dan menunjuk ke arah jalan. "Tabby... dia di sana," katanya tersedu, menunjuk ke arah kucing kecil yang tampak ketakutan di tengah jalan yang cukup ramai.
Jiwon mengerutkan kening, merasa ngeri melihat situasi itu. Jalanan memang cukup berbahaya, terlebih di malam hari dengan kendaraan yang lalu lalang.
"Kamu tunggu di sini, ya. Aku akan ambil Tabby buat kamu," ujar Jiwon cepat.
Tanpa menunggu jawaban, Jiwon berjalan ke tengah jalan, Dia melangkah cepat ke tengah jalan, mengintip ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada kendaraan yang terlalu dekat. Namun, dari kejauhan, lampu mobil mendekat dengan cepat.
Jiwon mempercepat langkahnya, mencapai kucing itu tepat saat klakson mobil mulai berbunyi nyaring.
Dengan hati-hati, dia mengangkat Tabby dan segera menepi, napasnya agak tersengal. Saat dia menyerahkan kucing itu kepadanya, jantungnya masih berdegup cepat.
"Nah, sekarang Tabby sudah aman. Kamu kenapa keluar sendirian? Kan sudah malam," tanya Jiwon lagi dengan nada lembut.
Anak kecil itu menghela napas kecil sambil memeluk erat kucingnya. "Aku nunggu papa pulang lembur. Aku baru pulang sama bis dari daycare. Biasanya aku main di taman," katanya polos, membuat Jiwon merasa miris. Bagaimana bisa orang tua meninggalkan anak kecil sepertinya sendirian di malam hari?
"Nama tante siapa?" Anak itu tiba-tiba bertanya, matanya kini berbinar sedikit lebih ceria.
Jiwon tersenyum. "Namaku Jiwon. Panggil saja Ma'am Jiwon. Kalau kamu, siapa namanya?"
"Aku Mark. Kim Mark," jawabnya cepat sambil tersenyum bangga.
Jiwon merasa hatinya melunak. "Kalau ibumu, dimana? Kenapa dia tidak bersamamu?"
Mark, yang tadinya ceria, tiba-tiba menunduk, mengelus kepala kucingnya. "Mama papaku sudah pisah. Katanya, aku bakal jadi rebutan..." suaranya pelan, namun sangat menohok.
Jiwon terdiam, tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari seorang anak kecil. Sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, sebuah suara berat terdengar dari arah belakangnya.
"Mark! Jangan bicara dengan orang asing!"
Jiwon menoleh, menemukan seorang pria berdiri dengan postur tinggi dan atletis, tampak sedikit marah tapi juga agak canggung. Pria itu berjalan mendekat dengan langkah tegap. Aura dingin terpancar dari wajahnya yang tampak sempurna--gagah, rapi, dan, tidak bisa dipungkiri, wangi! Jiwon sampai harus menahan nafas sejenak, terkejut oleh kesan pertama yang begitu kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of the Heart | kim Soohyun kim Jiwon
Fiksi Penggemar"Mom Jiwon, maaf ya... gara-gara aku, Mom pasti nggak bahagia sama Papa. Maafkan Mark..." Jiwon mengusap wajah Mark yang basah, "Bukan salahmu, sayang. Orang dewasa sering membuat kesalahan, termasuk Mom. Tapi ingat, kamu selalu jadi anakku, selaman...