Orang-orang disekolah memanggilku Ais, begitupun seluruh keluarga Ayah dan Ibuku. Namaku adalah Aishwa Diamond Wirahaditenaya. Ayahku bernama Raden Chandra Wirahaditenaya. Seorang dokter spesialis bedah di rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia adalah keturunan bangsawan dari keraton Mangkunegara Surakarta. Sedangkan, Ibuku bernama Nyimas Natasya Ayu adalah seorang desainer terkenal yang juga keturunan bangsawan Palembang. Aku adalah anak tunggal dikeluarga yang dibesarkan dengan kasih sayang kedua orangtuaku. Aku banyak menghabiskan waktuku diluar rumah dengan beberapa les. Dihari senin, rabu dan jumat sepulang sekolah, ibuku menjemput disekolah. Sedangkan dihari selasa dan kamis, ayahku akan menyempatkan waktu ditengah kesibukannya untuk menjemputku sembari meluangkan waktu sejam untuk makan siang sebelum mengantarku ketempat les.“Ais” begitu ayah dan Ibuku memanggil namaku. Ayah memberi nama “Aishwa” dari bahasa Sansakerta agar aku tumbuh menjadi gadis yang percaya diri dengan segala kemampuan yang kumiliki. Sedangkan “Diamond” nama yang diberikan Ibuku melambangkan kekuatan, kecemerlangan dan kilauan. Ia berharap agar aku tumbuh menjadi wanita yang kuat seperti berlian yang terkenal sebagai zat alami terkeras yang tersusun dari karbon murni, langka, namun begitu berharga. Sedangkan “Wirahaditenaya” adalah nama kakek dari Ayahku.
Sejak usia dua tahun, aku sudah bersekolah disalah satu playgroup. Entah karena kesibukan kedua orangtuaku hingga aku lebih awal mencicipi dunia pendidikan, namun aku kini mengetahui alasannya. Kedua orangtuaku menginginkan aku tumbuh menjadi anak yang cerdas, berkepribadian baik dan memiliki background agama. Meski mereka tidak banyak berinteraksi denganku namun fasilitas sejak aku kecil sangat aku rasakan hingga tumbuh dewasa.
Pukul 06.00, masih sangat pagi untuk jalanan di Syech Yusuf Discovery, Gowa. Gowa adalah nama kabupaten tempatku tinggal. Tapi sepagi ini, beberapa taman kecil yang dipenuhi pepohonan besar dan dikelilingi oleh rerumputan dipenuhi orang yang berlari memutari lapangan yang terlihat hijau menghampar. Beberapa gerobak jualan sudah memenuhi pinggiran taman, beberapa lainnya memegang ponsel riang sibuk berfoto, sendirian, bersama teman atau dengan keluarga kecil sambil mendorong stroller bayi. Ini hari libur, aku, setiap minggu pagi akan menghabiskan waktu untuk melintasi jalan yang sama sambil berlari. Menurutku ini adalah moment yang paling aku tunggu disetiap akhir pekan.“Yeay, weekend” ucapku ketika melihat kalender. Entah apa yang membuatku sebegitu senangnya bisa berlari bersama kedua orangtuaku. Padahal hampir setiap hari kita bertemu dimeja makan, mengobrol sebelum berangkat. Namun, setiap langkah dari kakiku seperti ada aliran energid eras mengalir mengarungi beberapa kilometer dari rumah, taman-taman kota, mulai dari Mesjid Agung Syech Yusuf hingga melintasi putaran lapangan yang telah dipenuhi orang berlari, kami bergerak menuju titik yang sama sambil membawa botol air minum dipinggang. Terdengar suara tawa sesekali disetiap desahan langkah.
“Ais” terdengar suara ibu memanggilku. Bergegas aku berlari di antara rombongan orang yang beristirahat. Aku merapatkan topi yang kukenakan, sepertinya hujan akan segera turun. Terasa rintik dari jari-jari tanganku. Angin tampak menerbangkan dedaunan yang ada dipinggir lapangan. Orang-orang mulai berhamburan memadati pinggir lapangan. Menaiki kendaraannya masing-masing. Ibu kembali melambaikan tangan kearahku.
“Aish” ucapnya. Akupun mengangguk dengan sekantong air mineral ditanganku.
“Ayo buruan, kita tidak bisa balik kerumah dengan lari nih”
sahut Ibuku melihat kearah langit. Ia menggenggam tanganku melangkah menuju sebuah mobil yang tengah menunggu.“Wah, ayah lincah nelpon Pak Abbas” sahutnya tertawa.
“Iyalah, mantan staf BMKG” tawa Ayah membalas Ibu
Mobil melaju menuju jalan-jalan yang sudah tampak basah. Percikan air dari dedaunan menyegarkan pandangan dari balik jendela kaca mobil. Aku memandang sepanjang jalan sambil mendengar ayah yang sedang mengobrol dengan Pak Abbas. Ibu sibuk membuka ponselnya, sesekali menelpon pegawainya, sesekali menimpali obrolan ayah dan Pak Abbas. Aku hanya tersenyum melihat pemandangan pagi ini.
“Ini bukan pagi yang menyenangkan” sahut Ibu melirik kearahku. Namun, tersenyum lebar menyambung kalimatnya “Ini hari yang berkah”. Akupun memandang Ibu penuh tanda tanya berharap menemukan jawaban tanpa mengajukan pertanyaan. Tapi lagi-lagi, Ibu hanya tersenyum penuh makna.
Saat sebagian orang memilih berteduh dipinggiran emperan toko menghindari derasnya hujan. Mobil melaju tanpa hambatan menuju rumah. Ayah pun tidak terganggu dengan suasana lebatnya hujan yang membuat suara percakapannya sesekali terhenti. Begitupun, Ibu yang memilih tersenyum sambil berpikir dengan tatapannya yang menerawang. Aku memilih bersantai tidak menyentuh ponselku sama sekali menikmati pemandangan hujan dari balik jendela mobil. Telepon genggam ayah mendadak berbunyi. Dia menyesal lupa menon-aktifkan telepon. Tapi itu telepon yang sangat penting, dari rumah sakit tempatnya bekerja.
“Ayo, Pak Abbas kita mutar ke rumah sakit. Ada pasien darurat” ucapnya tenang
“Ya Allah” sahut Ibu ikut prihatin
“Semoga masih bisa tertolong” terdengar suara ayah melihat jam ditangannyaSejak memahami pekerjaan ayah sebagai dokter bedah, aku banyak belajar tentang empati. Ayah tidak pernah bicara langsung, ataupun mengajarkan tentang nilai-nilai itu tapi dalam bersikap dan mengambil keputusan aku banyak mengambil pelajaran. Ayah tidak hanya berurusan dengan pasien, tapi berurusan dengan managemen waktu.
Sesekali ayah mengkerut, dia cemas itu pertanda dia tidak bisa meninggalkan tugas penting tersebut.
"Ayah tidak bisa terlambat meski semenit, ini menyangku nyawa”
Meski terkadang Ibu menatap tajam, duduk di seberang meja. Wajahnya masam, dia jelas tidak suka ketika sesuatu yang direncanakan batal atau ditunda. Ayah pun akan memilih menghela nafas, dan berlarian setelah membuka pintu mobil. Kadang pemandangan yang sangat menyentuh adalah ketika pakaian ayah basah oleh keringat, entah sudah sekusut apa penampilannya."Saya sudah berusaha tiba tepat waktu, Tapi nyawa pasien tidak tertolong”
Ucapan yang baru sekali kudengar dari mulut ayah. Dan, ayah akan memilih menghempaskan tubuhnya di sofa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Waktu itu, aku tidak tahu betapa seriusnya kalimat seorang dokter bedah yang baru kehilangan nyawa pasiennya. Kalimat yang terdengar sangat putus asa dan merasa gagal."Ayolah Ayah, kita lupakan soal keterlambatan. Ayah sudah berusaha" Ucap Ibu menghibur. Ayah duduk di kursi tetap dengan wajah yang tertutup kedua tangannya. Ibu seperti bisa mengerti raut muka kecewa Ayah.
“Ada berapa pasien ? Masih banyak yang membutuhkan pertolongan ayah, dia bukan orang terakhir yang harus ayah kutemui kan ?"
Ayah terdiam, menelan ludah. Tentunya pengalaman yang sangat berbeda. Ada beberapa pertanyaan dalam benaknya terkait pasien yang tidak tertolong. Ayah kemudian bergegas membuka leptopnya, memeriksa beberapa informasi. Ia mulai bergelut tentang pengetahuan medis, simulasi kasus, pendapatnya tentang sebuah keputusan. Satu dari dari beberapa pertanyaan muncul dibenaknya : apakah metode yang tadi ia gunakan cocok untuk pasien ? Setengah jam berlalu, ayah menutup leptopnya, mengambil wudhu mencoba menenangkan diri.
"Selamat pagi."
Petugas pintu rumah sakit menyapa ramah. Senyum ayah mengembang menyambut tumpukan kertas yang disodorkan untuknya. Mulut petugas yang merupakan perawat rumah sakit mulai mengucapkan kata perkata yang tidak kumengerti. Istilah-istilah kedokteran tampak menghiasi kalimatnya. Ayah membalas salam pendek, dia bergegas menaiki tiga anak tangga, melewati pintu depan.
"Anda sudah ditunggu di ruang operasi" Petugas mengulurkan seragam putih membantu menggunakannya dan bergegas mencuci tangan."Terima kasih." Ucap ayah mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER AISHWA
Teen FictionMenceritakan tentang dua gadis kembar yang diberi nama Aishwa, ditinggal oleh ibu kandungnya di tempat yang berbeda. Kedua gadis tumbuh dengan kehidupan yang berbeda pula, hingga ditakdirkan bertemu. Bagaimana sosok Aishwa yang hidup di Indonesia, d...