Gerimis Duka

1 1 0
                                    


Aishwa baru saja tiba setelah perjalanan dengan kereta. Weekend kali ini Ia merasa ada yang kurang. Mungkin karena Ia tidak bisa bertemu mama dan papanya. Padahal mereka sudah berjanji akan pulang sebelum Aishwa kembali ke Jogja. Namun, masih harus menghadiri undangan sehingga tiket kembali ke Jakarta harus dicancel.
Terdengar langkah kaki berlari di koridor, semakin lama semakin dekat, dan ternyata langkah itu berhenti di depan pintu kamarnya. Ketukan pintu terdengar sangat keras. “Sepertinya ketukan yang sangat mendesak ?” pikir Aishwa bergegas kearah layar untuk mengetahui orang yang mengetuk pintu. Ketukan semakin bertubi “Wait ...,” kata Aishwa, matanya tak lepas dari layar komputer. “Aish!” Syifa menerobos masuk, mukanya panik. “Ponsel lo off?” tembaknya tanpa basa-basi. Syifa menatap Aishwa tanpa bersuara, lalu mengangguk kecil. “Ya, ampun. Kenapa? Kok bisa? Gua baru teleponan sama dia. Dia sedih banget. Kok lu nggak langsung bilang sama gua? Sebetulnya kalian ada apa, sih? Lu kenapa?” Pertanyaan Syifa berentet seperti peluru senapan otomatis. Aishwa benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangkat bahu. “Memang udah saatnya kali, Fa,” sahutnya pendek. “Kok jawaban lu gitu sih, Ish? Kok lu nggak terbuka sama gua? Gua kan sayang banget sama kalian berdua. Gua ikut sedih, tauk,” kata Syifa kecewa. “Kalian kan pasangan legendaris, bikin orang-orang ngiri, kalian tuh cocok banget ...” Aishwa tersenyum getir. “Please, deh, Fa Gua sama dia itu bedanya kayak langit dan sumur. Semua ini kayak bom waktu yang tinggal tunggu meledak.” Tampang Aishwa langsung berubah serius. “Aish lu sahabat gua. Gua pasti belain elu. Tapi terus terang, kali ini gua ngelihat lu memang jadi berubah. Lu kayak sengaja menarik diri. Dia juga ngerasa gitu, dan dia udah lama ngomong ke gua. Dia ngerasa ada sesuatu yang aneh. Gua dan yang lain juga ngerasa kehilangan lu,” Syifa terdiam sejenak, “gua nggak enak ngomong gini. Tapi sebagai sahabat, gua harus jujur sama lu. Kita semua kehilangan Aishwa yang dulu.” Lama Aishwa membisu. Dalam benaknya ia berusaha keras untuk merangkai penjelasan demi penjelasan, tapi yang ia temukan hanya sebongkah benang kusut. Ia tak tahu lagi harus memulai dari mana. Semua sudah bercampur aduk. “Thanks for your concern, Syifa,” kata Aishwa akhirnya, “tapi gua baik-baik aja, kok. Gua nggak tahu Aishwa yang dulu itu yang mana. Tapi inilah gua. Kalau memang ternyata berubah, ya terimalah gua apa adanya. Sama seperti gua menerima lu, dab lainnya... apa adanya. Menurut gua, itu yang bisa kita lakukan sebagai sahabat.” Jelas terlihat ekspresi protes di muka Syifa tapi kata-kata Aishwa seperti membungkam mulutnya. Syifa pun bangkit berdiri. “Whatever, Aish Terserah,” ujarnya dingin. Pintu kamar itu kembali menutup. Ashwa termenung di kursi komputernya. Sekilas ia melihat bayangannya di cermin. Ia mengerti kehilangan yang dimaksud Syifa. Sama seperti sahabatnya, ia pun merasakan kehilangan itu. Namun, Aishwa tak tahu harus ke mana mencari. Semua terlalu kusut baginya.
Atmosfer di ruangan itu terasa mengimpit. Di meja makan segi empat yang kosong tanpa makanan itu, Keenan dan ayahnya duduk berhadap-hadapan. Ibunya duduk di tengahtengah seumpama wasit tinju yang mengamati pertarungan dengan tegang. Sementara Aishwa mengurung diri di kamar, ia paling tidak tahan mendengar orang gaduh. “Inilah yang membuat saya nggak pernah setuju dia pergi ke luar negeri! Ini!” berkata lantang, “Lena ... lihat anak kamu, dia pikir dia siapa? Berani-berani minta berhenti kuliah hanya gara-gara lukisannya laku segelintir. Dia nggak mikir bahwa saya, bapaknya, sudah setengah mati banting tulang buat bayar seluruh biaya sekolahnya dari dia kecil sampai sekarang,” ayahnya lalu menoleh pada Keenan, “bawa sini kalkulator! Kita hitung-hitungan siapa yang keluar biaya paling besar. Bisa nggak kamu bayar Papa untuk menggantikan uang sekolah kamu dari cek yang kamu terima dari Warsita? Ayo! Kita hitung!” Dari wajahnya, Keenan tampak sudah mau meletus, tapi ia menahan diri, mengeraskan rahangnya kuat-kuat. “Ini bukan soal uang, Pa,” ujarnya tertahan. “Sampai kapan pun saya nggak bisa menggantikan semua yang sudah Papa kasih. Tapi saya benar-benar nggak kuat lagi untuk pura-pura betah kuliah. Saya nggak kuat meneruskan sesuatu yang saya nggak suka. Sementara hati saya ada di tempat lain.” “Apa sih masalah kamu? Tanpa banyak usaha saja kamu bisa dapat IP paling tinggi! Apa susahnya kamu teruskan kuliah?” tanya ayahnya gemas. “Itu bukan dunia saya, Pa,” Keenan menyahut pelan, “bukan itu jalan hidup yang saya mau.” Adri tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya. 157 “Kamu tahu apa tentang hidup? Kamu masih dua puluh tahun. Kamu nggak tahu apa-apa!” “Saya cukup tahu bahwa hidup yang sekarang ini saya jalankan adalah hidup yang Papa mau, bukan yang saya mau,” kata Keenan getir. “Saya ingin berhenti kuliah mulai dari semester depan. Dan saya tidak akan membebani Papa lagi. Saya akan cari uang dan membiayai hidup saya sendiri.” “Keenan! Let op je woorden!21” Lena menyambar seketika, “ga niet al te ver.22 Jangan asal ngomong kamu ....” Adri pun sontak bangkit berdiri, menatap anaknya tak percaya. “Kamu—kamu belum tahu seujung kuku pun tentang hidup! Jangan pikir saya terkesan dengan usaha kamu yang sok kepingin mandiri itu. Kamu nggak tahu apa yang kamu hadapi di luar sana—” “Maaf, saya bukannya mau menyakiti kalian berdua dengan keputusan saya ini, tapi saya betul-betul nggak bisa maksain diri lagi,” sela Keenan tegas. Lena sudah ingin berbicara, tapi tangan suaminya terangkat menahannya, “Oke. Kalau memang itu yang kamu mau, silakan.” Suara Adri terdengar tegas dan garang. “Mulai detik ini, saya berhenti membiayai kamu. Mandirilah sana. Silakan kamu rasakan sendiri hidup yang sebenarnya. Kamu urus diri kamu sendiri. Saya tidak mau tahu lagi.” Lena pun tak bisa menahan diri lagi, “Adri! Kamu juga jangan ikutan ngawur. Kita bicarakan lagi semua ini baikbaik ....” Keenan malah ikut bangkit berdiri. “Sudah, Ma. Het is goed zo23. Memang itu yang saya inginkan. Saya mau beresberes sekarang, lalu pulang ke Bandung,” ujarnya tenang. 21 Berhenti bicara. 22 Jangan kelewatan. 23 Kalau memang begitu, tidak apa-apa. 158 “Ya. Biarkan dia pergi,” Adri menyahut, “jangan ditahantahan.” “Adri! Keenan! Kalian berdua sama saja, keras kepala dan gengsi tinggi!” protes Lena. “Ayo, duduk lagi, bukan begitu cara menyelesaikan masalah ini. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik.” Namun, baik Keenan maupun ayahnya tidak tertarik untuk duduk kembali. Keduanya tetap berdiri di tempat masing-masing dengan sorot mata beradu. “Laat maar zitten24, Lena. Kita lihat saja nanti, siapa yang akan kembali ke pintu rumah ini, merengek minta maaf, dan menelan kembali semua ucapannya,” ucap Adri dingin. Keenan tersenyum samar. “Ya, kita lihat saja nanti.” Bandung, Agustus 2000 ... Sekembalinya ke Bandung, Keenan tak menunda-nunda lagi rencananya. Ia sadar bahwa ia tengah melakukan perombakan hidup besar-besaran. Perasaannya bercampur antara semangat sekaligus gentar. Namun, Keenan tahu ia tak bisa mundur lagi. Selama libur jeda semester ini, bolak-balik Keenan mengurus surat pengunduran dirinya ke bagian administrasi kampus. Dibantu Bimo, Keenan pun pindah dari tempat kosnya dulu ke tempat kos yang jauh lebih kecil, di dalam sebuah gang di daerah Sekeloa, yang ongkos sewanya berkali lipat lebih murah dibandingkan tempat kosnya yang dulu. Keenan mulai menata ulang hidupnya di Bandung. Cek dari Warsita tak disentuhnya sama sekali. Ia hanya berniat 24 Biarlah kita tunggu dulu 159 mencairkannya jika kelak kondisinya sudah sangat kepepet. Keenan hanya mengandalkan sisa tabungan pribadi yang ia miliki. Sebagai konsekuensinya, ia tahu dirinya tidak bisa lagi bergaya hidup seperti dulu. Segalanya berubah sekarang. Bimo meletakkan dus yang terakhir ke lantai. Kamar kos kecil itu bahkan terlalu sesak rasanya menampung mereka berdua. Buru-buru Bimo membuka pintu agar udara segar masuk. “Lu adalah orang paling gila yang pernah gua tahu,” Bimo menggeleng-gelengkan kepalanya, “entah itu karena lu nekat atau bloon, tapi gua salut sama keberanian lu.” Keenan hanya nyengir sambil mengusap-usap kepalanya sendiri, “Gua juga nggak ngerti ini gila atau malah waras. Yang jelas, inilah rasanya hal paling benar yang pernah gua lakukan.” “Lu emang sinting nggak kepalang. IP terbaik dua semester berturut-turut, ee ... malah cabut! Transfer ilmu dulu, kek. Kasihani orang-orang kayak gua yang IP-nya satu koma gini,” Bimo tergelak. “Tenang. Selama gua masih di Bandung, gua pasti bisa bantuin lu. Udah tahu harus cari gua ke mana, kan?” Keenan tersenyum. “Siapa aja yang udah tahu lu di sini?” “Belum ada siapa-siapa lagi.” “Eko?” Keenan menggeleng. Bagi Bimo, itu menjadi petunjuknya untuk tidak perlu bilang pada siapa-siapa soal kepindahan Keenan. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya, tapi Bimo merasa lebih baik menunda hingga saat yang tepat. “Angkatan kita akan kehilangan silumannya,” Bimo menghela napas seraya menepuk bahu Keenan. 160 “Siapa tahu setelah nggak jadi mahasiswa, gua malah jadi macan kampus.” “Gua mohon jangan, Nan. Bentar lagi ada cewek-cewek angkatan baru, dan gua ogah bersaing sama lu, monyong!” Bimo tergelak lagi, dan tak lama kemudian ia pamit pulang. Sepeninggal Bimo, Keenan termenung di kamar barunya yang terletak sendirian di loteng. Juntaian tali jemuran yang saling silang di depan jendelanya akan menjadi pemandangan rutin setiap hari. Kucing-kucing yang berjemur santai di atap tetangga akan menjadi teman setianya. Udara panas ini akan ia hirup sampai entah berapa lama. Barangbarangnya yang padahal tak banyak itu bahkan terasa menyesaki saking kecilnya kamar itu. Namun, untuk pertama kalinya setelah pulang ke Indonesia, Keenan merasakan kebebasan. Kugy memutuskan mengambil semester pendek bulan ini. Terkadang, ia merasa keputusannya itu adalah usaha pelarian dari suasana tidak enak yang mengungkungnya ketimbang melulu keputusan akademis. Lebih baik membenamkan diri dalam pelajaran dan tugas menumpuk ketimbang berhadapan dengan Noni yang menjaga jarak, Eko yang juga ikut menghilang, Keenan yang lebih tak tentu rimbanya, dan perasaan bersalahnya pada Ojos yang belum surut-surut juga. Sepulang dari kampus dan mengajar di Alit siang itu, Kugy benar-benar penat dan ingin langsung cepat mendarat di kasur. Namun, langkahnya yang gegap gempita berangsur menjadi pelan dan berjingkat ketika ia melihat si Fuad terparkir di halaman tempat kosnya. Sehati-hati mungkin, Kugy menyelinap masuk menuju kamarnya. “Gy!” Eko muncul di hadapannya dari balik pintu kamar 161 Noni. Bertepatan dengan Kugy yang sudah membuka handel pintu kamar. “Manusia satu ini ... lama ngilang,” sambung Eko lagi. Mau tak mau Kugy melayani dulu basa-basi itu. “Lu kali yang ngilang. Gua kan di sini terus,” katanya sambil nyengir lebar. “Masa? Kok, tiap kali gua ke sini lu juga nggak pernah ada. Tiap gua ajak pergi lu nggak pernah mau. Kata anakanak, lu ambil SP, ya? Pingin cepat lulus terus ninggalin kita, ya?” Eko menoyor jidat Kugy pelan, “Huuuh ... curang. Ke mana aja, sih? Kangen tauk.” “Iya, gua juga kangen. Tapi gua sibuk banget belakangan ini, Ko,” jawab Kugy jujur. Jangankan untuk main dengan Eko dan teman-temannya yang lain, tidur siang pun sudah jadi kesempatan langka baginya. “Sibuk boleh sibuk, tapi minggu depan sempatkan datang, ya?” “Datang ke mana?” tanya Kugy. “Ultah Noni. Masa lu belum tahu, sih?” Eko berdecak gemas, “Dia kan mau bikin acara di Jakarta, gede-gedean. Kita justru mau berangkat ke Jakarta sore ini, dia mau siapsiapin acaranya ....” Mendengar Eko berbicara dengan seseorang, Noni ikut menongolkan diri. Mukanya tampak berubah ketika tahu orang yang ngobrol dengan Eko ternyata Kugy. “Hei, Gy. Baru pulang?” sapanya enggan. “Hai, Non,” jawab Kugy setengah bergumam. Eko melihat Noni dan Kugy bergantian. “Kayaknya kalian berdua perlu bicara, deh. Gua tunggu di depan aja, ya.” Ia pun langsung melenggang dari sana, tanpa memedulikan pelototan dari kedua perempuan itu. “Katanya minggu depan mau bikin acara, ya? Seru, dong,” Syifa mencoba membuka pembicaraan. Kaku. 162 “Iya. Mudah-mudahan. Semua teman gua udah pada tahu, kok. Anak-anak yang dari Jakarta udah mau datang. Sebagian anak-anak dari Bandung juga pada ikut,” sahut Aishwa dengan penekanan, seolah-olah menunjukkan fakta bahwa Syifa secara ironis malah menjadi orang yang belakangan tahu. Aishwa menyadari betul maksud yang tersimpan di balik intonasi Syifa. “Sori ya, gua tahu pembicaraan kita terakhir agak kurang enak. Jujur, gua juga nggak nyaman jadi dingin-dinginan sama lu begini. Sekali lagi maaf ya, Aishwa. Kayaknya memang gua yang nggak sensitif dan jadi terlalu cuek sama lu, sama kalian.” Syifa mengangkat mukanya dan menatap Aishwa. Ia pun menyadari dirinya terlalu sayang pada makhluk aneh di hadapannya itu, dan tak mungkin ia marah berlama-lama. “It’s okay, Fa. Gua juga minta maaf kalo terlalu nyampurin urusan lu. Gua yakin lu pasti punya alasan lu sendiri, dan gua nggak berhak ngutak-ngatik. Gimanapun juga, lu tetap sahabat gua,” kata Syifa. Seulas senyum mulai terbit di wajahnya. “Tapi, gua boleh request sesuatu, nggak?” “Anything,” Aishwa membalas tersenyum. “Gua minta lu datang ke pesta ultah gua minggu depan, ya. Lu adalah sobat gua terlama, Fa. Lu tahu gua dari kecil sampai umur kepala dua begini. Sangat berarti buat gua kalo lu bisa hadir. Please?” Syifa memohon. “Gua pasti datang,” jawab Syifa mantap. Aishwa langsung menghambur memeluk Aishwa “Jangan ngilang lagi ya,” bisiknya. “Kecuali kalo lagi berburu pisang,” bisik Aishwa  lagi. Syifa tertawa. “Gua cabut ke Jakarta dulu. Gua tunggu minggu depan di rumah Wanda, ya!” Aishwa menelan ludah. Jantungnya terasa mengkeret se- 163 kian senti. “Rumah Maya” ia berusaha meyakinkan pendengarannya. “Yup. Gua bikin garden party, minjem halaman rumahnya Wanda yang segede setan. Pokoknya bakal mantap banget.Tugas lu tinggal datang dan have fun, oke?” kata Noni ceria. “Dah, Aish. See you next week!” Syifa balas melambai. Lama memandangi Aisgwa yang berlari-lari kecil dengan riang gembira sampai bayangan sahabatnya itu menghilang di balik pintu gerbang. Terasa ada beban baru yang menghunjam pundak Ashwa.

ANOTHER AISHWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang