Kenangan Terputar Kembali

2 2 1
                                    


Seoul, Maret 2013
Kegiatan Aishwa dan Sara di kampus yang mulai melonggar memungkinkan mereka berdua bisa lebih banyak menghabiskan waktu ditempat kerja. Setidaknya dua minggu ini Ia bisa lembur agar bisa mengumpulkan lebih banyak tabungan, setelah beberapa bulan Ia tidak bisa bekerja. Dan enam bulan Ia pulih setelah tabrak lari, kosan tempatnya tinggal mendapat giliran menjamu mahasiswa Indonesia yang kuliah disana. Aishwa sangat gembira menyambut mereka semua. Sudah lama ia tidak bergaul dengan teman-teman lamanya. Dan baginya itu pertanda bahwa ingatannya bisa berangsur pulih. Saking senangnya, Ia  rela membuatkan begitu banyak makanan sampai-sampai meja makannya nyaris tak muat lagi. Aishwa adalah salah satu mahasiswa penerima beasiswa Indonesia. Selain kuliah, Ia bekerja di salah satu pabrik sebagai asisten akuntan.
“Wah, ini coto khas makassar ?” tanya Devan
“Ini sih makanan buat pesta kawinan!” celetuk Baskoro
“Aish lupa memperhitungkan kita cuma berdelapan yang bisa hadir,” sambar Nike terkekeh.
“Empek-empek buatan lo, Ish?” Nur benar-benar pangling.
Teman SMAnya yang paling kurus, itu kini terlihat lebih anggun dan mahir membuat berbagai masakan khas Indonesia.
“Proud of you,Aishwa. Bisa buka restoran Indonesia nih. Rekrut aku jadi kasir, boleh ?” Devan terkekeh
“Sumpah, lo buat semua ?” Maryam mendelik,
“Memang nih anak satu multi talenta. Mau dong jadi adik iparnya merangkap asisten.” Tiba-tiba suara Sara membongkar rahasia kalau abangnya naksir Aishwa.
Aishwa hanya tersenyum ramah menyapa semuanya. Walaupun bicaranya agak pelan, artikulasinya sudah jelas dan mendekati normal. Enam bulan berlalu, perlahan ingatannya mulai pulih. Kakinya juga sudah bisa berjalan dengan terapi beberapa bulan, hampir semua sudah bisa kembali seperti dulu, tapi masih ada yang membuatnya bertanya.
“Siapa Ismail?”
Nama yang tersave di ponselnya, beberapa panggilan hari itu menghubunginya, namun Ia tidak bisa mengangkat ponselnya hingga kecelakaan itu terjadi. Ia sudah beberapa kali menghubungi nomor itu sejak Ia pulih namun sudah tidak bisa dihubungi. Meski Sara sudah pelan-pelan menyampaikan kronologis kejadian hari itu. Hari itu Sara ingin memberikan surprise pada Aishwa kedatangan abangnya di Seoul. Dan, Ia mengundangnya ke salah satu cafe terdekat dari kantor. Sara pun merasa bersalah dengan kejadian itu, itulah yang membuatnya bertanggung jawab dengan pulihnya ingatan Aishwa dengan mengundang teman-teman mahasiswa Indonesia.
Aishwa mengamati semua itu dengan saksama. Ia bisa mengingat dengan baik orang-orang yang ada disekitarnya. Ini rupanya pengorbanan Sara, Ia rela membeli semua bahan makanan untuk menjamu mereka. Namun, sekalipun ingatan Aishwa sudah pulih, sesekali Ia mendadak merasakan sayatan pedih di hatinya. Kesedihan yang belum Ia tahu apa. Ia memilih tersenyum, Aishwa memilih untuk tidak mengindahkan apa yang ia rasakan. Malam seperti ini terlalu berharga untuk dilewatkan dengan kepedihan.
“Ayo dinikmati jamuan kami. Buruan, keburu larut malam. Besok pagi ada kuliah gak ?” ujar Aishwa terlihat tenang meski pikirannya kembali kosong.
”I am full !” sahut Devan.
“Yakin lo?” tanya Sara sambil tertawa. Ia mengenal betul Devan bisa menghabiskan tiga piring nasi sekali makan.
“Boleh bungkus, kok” ucap Aishwa tersenyum memberi kode ke Devan
“Nggak ngerepotin?” Nike menyusul bertanya. Aishwa menggeleng mantap, lalu masuk kedalam mengambil beberapa kotak makanan. Meski tetap tampil tenang, Aishwa merasakan seseorang sedang berbicara dengannya. Namun, Ia ingin menyelesaikan acara malam.
***

“Aishwa” suara memanggil namanya. Jantungnya berdegup kencang. Sara menatap Aishwa dalam-dalam.
“Are you okey ?”
“Hmm, yeay”
Dan Sara mengamati Aishwa seperti menerawang, diam, menatap pintu yang terbuka lebar. Suara angin terdengar sayup, Ia merapakan jaket yang Ia kenakan. Sara memutuskan menutup pintu.
“Istirahat, yuk. Nanti aku beresin” ucap Sara menggiring Aishwa ke kamar.
Aishwa tercengang, tak percaya ia sempat berada di tempat lain.
“Itu dimana?” tanyanya bergetar.
“Apakah tadi itu aku ?” Aishwa bertanya lembut dengan dirinya,
“Mengapa aku berada disana ?” Aishwa tambah bingung.
Ia pun mengambil bantal mencoba untuk tidur dengan dengan perasaan campur aduk. Perasaan ini sebenarnya sudah sejak lama, namun Ia baru merasakan semakin kuat sejak Ia mengalami kecelakaan. “Apakah hanya halusinasi saja” batinnya mulai mencari tahu. Dibenaknya dipenuhi pertanyaan, hingga Ia terlelap.
Sara memasuki kamar Aishwa, memberinya selimut. Perasaan bersalah masih menghinggapinya. Niat untuk bikin surprise malah berujung kecelakaan. Namun, Ia kini bisa tersenyum Aishwa sudah kembali pulih dan bisa berkuliah kembali.
***
“Kamu sadar nggak? Kamu akan jadi penulis dongeng yang luar biasa.”
Suara tawa Sara memecah keheningan. Kerongkongan Aishwa tercekat. Sudah lama sekali Ia tidak mendengar suara tawa Sara dan mengatakan hal itu padanya, bahkan menyinggung secuil pun tentang dunia satu itu. Ia sudah lama tidak menulis, dunia itu seperti Ia tinggalkan. Padahal terkadang ketika Ia merasakan dunia lain, Ia akan menghabiskan waktunya untuk menulis. Menceritakan apa yang Ia rasakan, entah kertas-kertas hasil tulisannya berada dimana. Ia meninggalkan semuanya di panti asuhan.
Aishwa sempat bercerita kepada kepala panti asuhan tentang kondisinya, namun dijawab Ia hanya berhalisinasi.
“Kamu sering baca dongeng, jadi suka terbawa cerita nak”
Hingga Ia kuliah dan meninggalkan panti asuhan, kata-kata Ibu Darma terngiang ditelinganya. Ia hanya berhalusinasi, terbawa cerita dongeng yang Ia baca. Sejak itu Ia tidak pernah lagi membaca dongeng, ataupun menulis cerita apa yang Ia rasakan. Ia mencoba meninggalkan jejak, namun perasaan itu muncul kembali dan mengingatkan semuanya.
Ingatan masa kecilnya kembali berputar seperti layar bioskop. Ketika Ia harus berpisah dengan seseorang yang mirip dengan dirinya. Kedua tangan terlepas. Ia melihat dirinya sesenggukan dibawah pohon tidak jauh dari panti asuhan tempatnya tinggal.
“Siapa dia yang mirip denganku ?”
“apakah dia saudara kembarku ?”
“Dimana dia?”
“Mengapa kami harus berpisah?”
Seolah melihat dirinya sendiri, ia menghambur ke arah cermin, memeluknya tubuhnya sendiri erat.
“Yah, aku punya saudara kembar. Aku mengingatnya” tangisnya serta-merta pecah. Tubuh¬nya berguncang. Namun, Ia hanya bisa diam dan tertunduk sedih. Seketika itu juga, Ia keinginan besarnya untuk kembali ke Indonesia mencari saudara kembarnya. Tiba-tiba Ia meraskan tubuhnya berada di suatu tempat, berdua ditemani embusan angin dan gemeresik bambu. Dari tempat mereka berdiri, mereka saling berpandangan tersenyum dan mengucapkan nama.
“Aku Aishwa”
Namun, sekejap yang tersisa hanya kenangan suaranya. Senyum dan sinar matanya persis seperti dirinya sendiri. Semuanya berputar bagaikan film dalam kepala Aishwa. Sementara seribu satu penyesalan muncul di benak Aishwa.
“Mengapa kami berpisah ?” Aishwa berkata tersendat-sendat. Ia terduduk pilu, terisak.
“Aku rindu panti”
Tangisnya pecah, sesaat Ia merasa terempas kembali ke masa lalu. Kala Ia dan saudara kembarnya bersama. Semua momen terputar di depan matanya. Namun, waktu dan realitas kehidupan membawa mereka terpisah. Jauh. Entah dimana.

ANOTHER AISHWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang