Jakarta, Juni 2018
Aku memandangi layar ponsel dengan mata berkaca-kaca. Hari ini adalah pengumuman lulus seleksi SNBP dengan jalur prestasi. Tertera nama lengkap beserta jurusan dan universitas. Aku merogoh kantong jaketku yang penuh keringat setelah lari pagi. Kuambil kunci mobil dan bergegas kerumah Syifa. Rasanya ingin merayakan kelulusan kami berdua dengan berpelukan. Mobilku melaju ringan seolah tanpa beban. Lembaran baru akan kumulai di Jogja bersama Syifa. Rasanya menyenangkan karena aku punya orang yang bisa kuajak melalui suka dan duka menjadi mahasiswa.
Deretan rumah mewah kulalui dengan pepohonan hijau. Rasanya hari ini pemandangan sangat indah dari biasanya. Taman-taman seolah menyambut dengan bunga-bunganya yang bermekaran. Aku menghentikan mobil tepat didepan pagar berwarna coklat, tidak ada security yang berjaga seperti biasa. Dari balik kaca mobil aku melihat pagar yang tergembok. Tidak tampak pekerja taman menyiram tanaman seperti biasa. Atau Mbak Tika yang lalu lalang dengan tirai-tirai yang masih tertutup. Aku perlahan mendekati pos dengan sedikit menjinjit. Namun, Aku tidak menemukan apa-apa dari pemandangan rumah Syifa.
Baru saja tanganku mau mendarat di handel pintu pagar, sebuah tangan menyentuh pundakku.
“Ish !” suara terdengar tidak asing ditelingaku. Aku berbalik menemukan mata sahabatku terbelalak segar seperti baru makan rujak cabe.
“Syifa!” teriakku membalasnya juga dengan mata terbelalak.
“Tebak apa yang baru saja terjadi! Tadiii ... barusaaan ... pagi iniii” Ucapnya menarikku kearah pintu pagar yang bergegas dibukanya.
“Aduh, apaan sih?” ucapku dengan kening mengernyit.
“Ayo…kita masuk” sahutnya menarik tanganku.
“Ih, apaan sih, lu kebelet pipis?” tanyaku tertawa melihat tingkah Syifa yang sampai membungkuk-bungkuk seperti menahan sesuatu.
“Tau aja lu, Aduuuh ... seneng banget gua ....” Syifa terkikik-kikik sendiri mempercepat langkahnya.
“Kenapa rumahmu sepi, fa?”
“Pada ke Bandung”
“Bandung ?”
“He-eh”
“Termasuk Mbak Tika dan security?”
“He-eh” jawabnya menganggguk
“Ngapain di Bandung?”
“Pindahan”
“Hah?”
“Trus, rumah ini?”
“Dijual”
“Hah?” aku melongo dengan jawaban pendek Syifa, memandang raut wajahnya yang datar setiap kali kulontarkan pertanyaan. Seperti tidak ada sesuatu yang Ia sembunyikan.
“Kenapa dijual ?” ucapku penasaran
“Karena sudah pindah”
“Kenapa pindah ?”
Tawa Syifa pecah serasa mendengar sesuatu yang lucu.
“Apaan sih lu? Kaya detektif aja”
Syifa meneguk perlahan air es dari lemari es yang Ia tuangkan ke gelas. Ia menutup pintu kulkas dan merogoh ke dalamnya, terlihat menarik keluar sebuah wadah plastic. Ia menyodorkan sekotak ice cream kearahku, namun aku menggeleng.
“Es krim?” tawarnya
“Hello…Ini masih pagi, non!” ucapku dengan pandangan penuh tanya
Aku mengamati gerakan tangannya mengambil sendok dan mengorek es krim langsung dari kotaknya. Ia menyuap sendok berisi es krim kearah mulutnya dan menelan dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Yo wes, aku haus banget butuh yang dingin-dingin”
“Aku nggak ngerti, Fa.”
“Aku juga nggak ngerti, Ish”
Mata kami bertemu sesaat hening tanpa suara. Ia menghela napas panjang terdengar dari telingaku. Syifa yang duduk dihadapanku, dengan sekotak es krim yang perlahan isinya menjadi kosong. Aku menyadari ada yang aneh dari tingkah Syifa. Ia memandangi sekeliling ruang makan dengan senyum mengembang.
“Sebentar lagi ruang makan ini akan dihuni oleh orang lain”
“Udah laku?”
“He-eh”
“Serius orangtuamu pindah ke Bandung?”
“Iyaaa”
“Kok kebetulan banget?”
“Iya, alam mendukung kan?”
“Memangnya ayahmu pindah tugas ?”
“He-eh”
“Kok aku meragukan jawabanmu?”
Tawa Syifa kembali pecah dan membekap mulutnya dengan sesendok es krim. Ia melempar tatapan lucu kearahku.
“Oalah, kamu butuh jawaban apa?”
Kami saling pandang selama beberapa saat, dan tiba-tiba Ia terbahak. Aku kebingungan, tapi kemudian ikut tertawa. Senyum mengembang dari bibir tipisnya seolah meyakinkan bahwa tidak ada sesuatu yang Ia sembunyikan.
***
Jogja, Juli 2018
Tidak ada alasan untuk tidak memilih Universitas Gajah Mada sebagai universitas impian. Inilah masa terbaik untuk mengukir kisah sebagai mahasiswa. Mulai dari bersepeda di sekitar Sagan dan Terban sambil menikmati sinar mata hari yang menyinari daerah yang ditetapkan pemerintah sebagai area cagar budaya. Memandangi satu persatu bangunan dengan arsitektur jadul. Syifa dan aku memilih berhenti mengayuh sepeda di sebelah barat Universitas Gajah Mada yang dikenal dengan Blimbingsari. Menikmati secangkir kopi dan pisang di salah satu kafe sederhana memandangi lalu lalang mahasiswa. Setelah dari pagi hingga sore kami menghabiskan waktu berkeliling jogja bersama maps sebagai penunjuk jalan. Sambil mengosongkan isi cangkir dari meja tempat kami duduk, aku memilih mendengarkan celoteh Syifa.
“Aku bakal jadi apa ya ?”
Pertanyaan yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalanya. Sesekali aku terpancing terbahak mendengar celoteh panjangnya, terdengar geli juga ketika Ia membayangkan dirinya seperti cerita sinetron.
“Hello, Syifa Nadia Ismail. Jangan bebani pikiranmu dengan pertanyaan yang belum bisa kamu jawab. Jalani saja sebagai mahasiswa baru yang akan menyambut pahit manis kehidupan di Jogja. Kopermu belum kebuka, kan ? Mari berbenah kamar kosan kita sambil menikmati gudeg khas Jogja yang akan menemani hari-hari kita disini”.
Syifa tersenyum tipis, matanya mengerdip seolah setuju dengan kata-kata yang kuucapkan. Sambil memperbaiki ikatan sepatu ketsnya. hatinya terusik juga.
“Let’s go, buka koper !”
Aku tersenyum menyadari bahwa kami cukup bersantai di Jogja seharian. Padahal menjadi mahasiswa UGM adalah impian terbesar kami. Tiga tahun, Aku berharap dan berdoa keajaiban itu akan datang. Belum lagi dukungan dari kedua orangtuaku. Meski hanya sesekali mama mengungkapkan itu, tanpa ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia sebenarnya ingin aku kuliah di Jakarta dan bisa terus tinggal bersama, menemaninya jogging dan shopping. Keajaiban yang aku miliki punya kedua orangtua yang selalu support dengan pilihan hidupku.
Padahal mereka bisa saja mengirimku ke luar negeri dan berkuliah di universitas bergengsi. Seperti Papa yang menghabiskan beberapa tahun di negeri orang. Bukankah di kota ini ayahku juga pernah berkuliah dan menjadi dokter ternama, sampai akhirnya pergi ke Amerika dan menjadi dokter spesialis bedah? Aku tidak tahu persis apa yang membuat papa memilih juga menjadi mahasiswa Jogja kala itu. Apakah mungkin karena mengikuti jejak eyang yang juga dari Universitas Gajah Mada ? Tidak salah sumber dari bakat yang eyang miliki mengalir dalam darah papa, dan aku tidak ingin memadamkan apa yang mereka wariskan. Tapi mama khawatir Jogja akan membuatku akan tetap tinggal disini dan tidak ingin kembali ke Jakarta.
“Kenapa Mama takut?” aku sempat bertanya
“Karena universitas di sini juga bisa menampung anak pintar sepertimu bukan hanya di Jogja” jawab Mamaku.
Aku pun bertanya-tanya, haruskah aku merubah impianku dan mengikuti keinginan mama? Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi, Papa dan Mama sepakat. Dia mengizinkan aku bersekolah di Jogja dan mengambil jurusan seperti papa.
***Dua belokan dari rumah kos tempat kami tinggal, ada sebuah joglo. Meski terlihat kurang terawat, pemandangan rumah itu menjadi penanda mahasiswa yang menetap disekitar daerah tersebut. Rumah joglo yang terlihat tidak nampak seperti kebanyakan rumah joglo di Yogyakarta. Aku baru menyadari ketika baru pindah, tampak unik namun terkesan berpenghuni. Sepertinya otak detektifku sedang bekerja. Seolah olah ada yang menginginkan agar kebiasaan yang satu itu terus berjalan. Aku ingat betul bagaimana sejarah kebiasaan itu bermula. Pagi itu Aku berdiri di depan rumah Joglo. Hiruk-pikuk kerumunan anak kuliah dari pelosok gang berdengung di telingaku. Namun, aku tak terganggu. Mataku tak lepas mengamati rumah itu. Perlahan, aku mengeluar kan sesuatu dari kantong ranselku. Sebuah camera untuk mengabadikan rumah yang terlihat unik. Dan, seketika aku merasakan bisikan memanggil namaku.
“Aishwa !”
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER AISHWA
Novela JuvenilMenceritakan tentang dua gadis kembar yang diberi nama Aishwa, ditinggal oleh ibu kandungnya di tempat yang berbeda. Kedua gadis tumbuh dengan kehidupan yang berbeda pula, hingga ditakdirkan bertemu. Bagaimana sosok Aishwa yang hidup di Indonesia, d...