Hari Yang Buruk

4 3 5
                                    

06.30-15.00 Kuliah
15.00-17.00 Toko buku
19.30-22.00  Tugas Patologi Anotomi

Aishwa membaca kembali catatan yang kutulis di agenda.  Setelah meneguk segelas air hangat, Ia memasukkan  agenda itu kedalam ransel. Sebelum keluar kamar, ia mematut diri didepan cermin memastikan bahwa penampilannya sudah rapi. Ia pun bergegas ke kamar sebelah dan mengetuk pintu
“Syifa, buruan” sahutnya dari luar
“Wait” suara dari dalam kamar membalasnya
Aishwa baru saja ingin menutup ranselnya, tiba-tiba suara ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan video dari mamanya. Terlihat ayahnya sedang mengunyah diruang makan.
“Pagi, Ma, Pa.” Aishwa menyapa dengan senyum lebar
“Pagi, Sayang.” Sahut sang mama
“Kuliahmu bagaimana ?” tanya papanya
“Alhamdulillah, so far so good, Pa” sahut Aishwa dengan kedua jempolnya
“Iya kan, mama yakin kamu bisa” kata mamanya
“Justru itu papa nanya. Kan masih awal perkuliahan, Aish masih perlu adaptasi. Ingat ini adalah pilihan Aish, jadi harus bertanggung jawab dengan pilihan mengambil jurusan kedokteran. Ketika Aish menemukan kesulitan-kesulitan ditengah perjalanan, ingat bahwa Aish adalah orang yang bertanggungjawab dan akan menyelesaikan sampai akhir”
“Sip, Pap!” suara Aishwa terdengar ringan menjawab
Seperti yang sudah-sudah, pembicaraan di antara papa dan mama Aishwa tidak akan ada habisnya. Papanya akan berbicara tentang pentingnya bertanggungjawab, juga tentang memanage waktu dengan baik. Sementara mamanya akan berbicara tentang keseimbangan dalam hidup, bahwa hidup butuh hiburan dengan jalan-jalan, atau kesalon.
Namun, Aishwa memang terlahir sebagai anak yang berhati lembut. Ia dengan senang hati menyimak pembicaraan mama dan papanya. Suara kedua orangtuanya seperti gemericik air sungai yang mendamaikan hatinya meski keduanya kadang berdebat hanya masalah sepele. Aishwa sangat menikmati moment bahagia serasa sedang berada di meja makan bersama mereka.
“Aish berangkat, Ma, Pa” Aishwa berpamitan mendengar suara Syifa keluar dari kamar. Sebelum Aishwa menutup ponselnya , papanya bertanya,
“Apa kamu sudah memikirkan spesialis apa yang akan kamu geluti nanti ?”
Tawa pecah mamanya membuat Aishwa ikut tertawa,
“Ah, papa belum kelar nih sarjananya.” Potong mamanya
“Iya,kan semua harus dipersiapkan, biar tidak salah pilih” suara papanya meyakinkan
“Insha Allah, Papa…Aishwa akan memilih sesuai hat ikan. Bye Pa.. Ma..Assalamu Alaikum”
Dengan langkah cepat Aishwa menggandeng tangan Syifa berjalan keluar rumah.   Satu desahan panjang lolos dari mulutnya begitu Ia masuk mobil, namun dengan tawa sumringah mengingat percakapan kedua orangtuanya barusan. “Sungguh dua tipe manusia yang bertolak belakang” senyum mengembang dari bibirnya. Getaran di ranselnya terdengar lagi, masih dengan senyum mengembang Ia membuka ransel dan membaca pesan dari ponselnya.
“Mohon kehadiran mahasiswa kelas PD2 pada kegiatan pengabdian masyarakat pukul 15.00 Wib”
Berbagai chat langsung bermunculan menanggapi chat  dari sang ketua tingkat. Aishwa kembali memasukkan kembali ponsel ke dalam ransel lalu menaruh dibelakang kursi tempatnya duduk. Syifa sudah berulang kali menyalakan mobil, tapi usahanya sia-sia.
“Kacau!” sungutnya tiba-tiba membuat Aishwa mendadak mendekat kearah setir yang dipegang Syifa.
“Opo sih ?” melotot kearah Syifa
“Mobil tidak mau nyala” suaranya dengan kedua tangan dimukanya
“Duh, kayanya akinya. Lu kan lupa servis” dengan wajah kecewa
Rencana yang telah ia susun dengan matang terancam berantakan karena hal-hal yang tak terduga. Aishwa kadang sebal dengan sesuatu yang tak terduga. Ia telah menyusun jadwal hari ini untuk menyelesaikan papernya agar bisa melakukan hal lain.
“Shit!”
Syifa mulai kehilangan kesabaran. Ia kembali mencoba menyalakan mobilnya. Ia memukul kemudi.
“Ugh, aku lupa bawa paperku”
Aishwa menepuk jidatnya sambil menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri. Aishwa ingin sekali meneriakkan kekesalannya.
“Ini benar-benar hari yang menyebalkan !“ sungutnya.
Syifa menatap Aishwa dengan gemas, “Lu belum tua kan ?” cetusnya tanpa berpikir. Wajahnya terlihat sangat cemas, jadwal kuliah lima belas menit lagi tapi tidak ada tanda-tanda mobil akan menyala. Matanya memandang kearah luar jalan berharap akan ada taxi yang lewat.
Aishwa mengerutkan keningnya, “Ini bukan soal tua, tapi soal nih otak full” katanya datar. Berlari masuk kedalam rumah mengambil beberapa lembar kertas yang Ia sebut dengan paper. Ia pun kembali keluar dan mendapati Syifa sedang berada di depan pagar memandangi jalan.
“Asli mobil ngadat beneran ?” sahut Aishwa mencolek Syifa dari belakang. Syifa mengedikkan bahu dan menunjuk kearah jam tangan.
“Kita hubungi Syahdan, kali tuh anak lewat sini” ucap Syifa mengernyit kearah Aishwa. “Ah, No! Palingan tuh manusia sudah dikampus, jalan dikoridor sama El dan Azka. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang mereka bicarakan sepanjang koridor sambil tertawa tak jelas. Terkadang menyapa, terkadang pura-pura tidak kenal” ucap Aishwa panjang.
“Apa maunya tuh anak?’ Syifa menceplos
“Mau bikin keki” sahut Aishwa
Dan, sebuah mobil melintas dengan klakson yang mengagetkan keduanya. Aishwa dan Syifa saling menatap.
“Hei…” suara Syahdan menghentikan mobilnya pelan
“Hai, Adan!” sapa Syifa riang, seolah Syahdan adalah bapak peri yang datang menolong. Namun, Syahdan hanya menyapa dan jendela mobil terbuka. “Full, tidak muat lagi nih. Maaf yah”.
“Apes” sahut Syifa dalam hati
Mobil pun melaju meninggalkan mereka berdua dengan perasaan kalut tidak bisa keburu mata kuliah  hari ini.
Syifa melangkah keluar menyipitkan mata berharap ada taxi yang akan lewat. Wajah Aishwa terlihat tenang dan nyengir melihat Syifa mulai berkeringat. Muka Syifa terlihat panik memandang jam ditangannya.  Pikirannya melayang pada dosen yang akan masuk pagi ini.
“Oh, God. Prof. Baso !”
“Untung kita tidak ikut mobil Syahdan” celetuk ku.
Diam-diam Aishwa mengamati dari jauh sebuah sepeda bersandar di rumah Joglo. Padahal jarak antara rumah kos dan kampusnya bisa dengan berjalan kaki. Namun, acara keraton membuat mahasiswa harus berputar haluan. Beberapa titik di tutup sehingga Ia harus menggunakan kendaraan agar bisa sampai dikampus.
“Mau bolos sehari ?” tanyaku
Syifa menggeleng bukan karena tidak senang dengan mata kuliah hari ini, namun justru dimata kuliah ini ia tidak boleh absen satupun.
“No, pokoknya kita harus hadir.”
”Aku juga mau tapi….”
Seketika Aishwa memberi kode pada Syifa, menunjuk sepeda dan berlari kearah pagar rumah joglo dan diikuti Syifa. Mereka perlahan membuka pintu pacar yang tidak terkunci. Aishwa memandang kearah dalam rumah mencari orang. Namun, tidak tampak apa-apa didalam rumah. ASyifa pun mendongak kearah jendela, tidak terdengar suara apapun.
“Tapi sepeda ?” tanya Aishwa kearah Syifa
“Pinjam dulu, please” rengek Syifa
“Pinjamnya sama siapa ?” bisik Aishwa
Syifa menarik napas panjang. Ia kembali mendongak kearah jendela, tampak ruangan yang bersih. Perabot antik yang tertata rapi, kain gorden pun yang tertiup angin terlihat bersih. Seperti rumah yang berpenghuni, namun tidak pernah terlihat disekitar rumah tempat mereka tinggal.
“Kami pinjam sepedanya ya” suara Syifa terdengar setengah teriak
“Hah?”
“Yuk, buruan cabut”
Syifa mengayuh sepeda sedangkan Aishwa duduk dibagian belakang memeganf erat bagian tengah sepeda hingga meninggalkan rumah joglo. Suara napas terdengar mulai lelah, keseimbangan Syifa tidak bisa terjaga. Hingga roda sepeda seperti menggelinding menabrak sebuah batu besar.
“Arghhh…”
Seketika pemandangan Aishwa gelap. Ia meraskan dingin disekujur tubuhnya. Tubuhnya seperti terbang dan berada disebuah hamparan rumput luas. Terdengar suara memanggilnya.
“Aishwa”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANOTHER AISHWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang