Aku tidak bisa lari lagi kali ini. Gara-gara ayah menelpon kalau Pak Abbas tidak bisa menjemput dan aku harus pulang nebeng ikut mobil Mas Rangga. Ternyata didalam mobil ada Eyang yang baru dijemput dari bandara. Aku tidak bisa menghindar ketika Eyang bertanya akan melanjutkan kuliah dimana? Dan, aku dengan polosnya jujur mengikuti jejak ayah.
“Seperti Ayah?” ucap eyang bertanya balik.
“Iya Eyang. Aku ingin seperti Ayah”
Alhasil eyang menyimpulkan aku akan kuliah di Jogja seperti ayah. Sepanjang perjalanan eyang hanya bercerita tentang ketekunan ayah ketika menjadi mahasiswa. Hingga eyang langsung menelpon ayah agar mengajakku mengunjungi kampus UGM ketika liburan sekolah nanti.“Apa maksud dan tujuan kita ke sana, sih?”
Aku bertanya dalam hati memanadang raut wajah eyang yang begitu bersemangat.
“Mas Rangga siap jadi sopir”
Mas Rangga tersenyum licik menoleh kearahku.“Apaan sih?” setengah protes melotot kearah Mas Rangga
Ini namanya support sepupu kesayangan. Bener kan Eyang?”
Senyum licik Mas Rangga masih menghiasi wajahnya. Entah apa yang ada dipikirannya hingga sepanjang perjalanan Ia begitu bersemangat untuk ke Jogja pada liburan semester. Mobil memasuki gerbang kompleks, berjalan sedkit pelan hingga tiba di rumah bercat putih. Ia menghentikan mobilnya dan aku pun pamit ke pada Eyang. Mas Rangga turun membawa beberapa bungkusan pemberian Eyang.
“Ini hari bersejarah buat Aish,” Mas Rangga tetap dengan senyum liciknya“Sejarah apaan, ini hari pembulian, tau?”
“Bayangin, pertama kali Eyang memberi dukungan untuk cucunya kuliah di Jogja”
Mas Rangga tertawa sambil meninggalkanku diteras rumah dan memutar mobilnya meninggalkan pagar. Meski mukaku kurang rela dengan pernyataannya. Aku tetap melambaikan tangan sambil berteriak terimakasih. Akupun melangkah memasuki rumah. Terlihat sunyi, ayah dan ibu belum tiba.
Aku pun melangkah memasuki kamar, merebahkan badan dengan kepala pening seharian bergelut dengan soal-soal mate-matika. Tidak lama lagi rutinitas les akan kutinggalkan dan menikmati dunia perkuliahan yang lebih bikin penat kata orang. Hanya beberapa selang menit, terdengar bunyi ponsel dari ranselku.
“Ayah!” ucapku dalam hati
“Aish, sudah dirumah kan?”
“Iya, yah” sahutku
“Ayah dan Ibu mungkin agak malaman tiba, jadi tidak bisa diskusi mala mini. Kamu sudah putuskan akan mengisi formulis untuk kuliah dimana?”
“Belum, yah”“Eyang tadi telpon Ayah katanya kamu akan ke Jogja?”
“Eyang…?” Aku setengah teriak. Wajahku langsung pucat.
“Pikirkan dengan matang universitas mana yang akan kamu pilih, yah. Ayah dan Ibu akan mendukung”
Aku menghela napas, sepertinya aku tidak akan bisa kabur kalau sudah berurusan dengan Eyang. Akan panjang permasalahan jika aku sampai menolak apa yang sudah dia sampaikan. Baginya, “Jogja. Titik!”
Akupun melirik jam dipergelangan tanganku, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ada sebersit penyesalan di hatiku, tidak pulang dengan taksi ketika ayah menelpon kalau Pak Abbas tidak bisa menjemput. Kalau saja aku tahu eyang akan membahas masalah tempat kuliah, aku memilih untuk tidak menumpang di mobil Mas Rangga. Namun, Ia harus pasrah dengan pilihan Jogja.
“Aku juga nggak suka,” Syifa tersenyum masam mendengar ceritaku. Rasanya ingin ia juga menciutkan diri jadi semut lalu minggat dari situ mobil ketika mengetahui Eyang ada dimobil. Minggat dari Eyang yang seperti hakim agung yang memutuskan benar tidak setiap kasus. Eyang yang bisa membuat anak-anaknya patuh seketika dengan ucapannya.Hari ini adalah hari yang menentukan, hari dimana jari-jariku akan memilih universitas yang akan menjadi tempatku melanjutkan Pendidikan. Aku dan Syifa memilih duduk di pojokan ruang tengah bimbingan belajar terkenal di Jakarta, terdapat meja besar tempat beberapa leptop terpasang. Beberapa siswa kelas tiga SMA akan mengirimkan formular pendaftaran online. Aku dan Syifa bercokol, meminum sebotol air mineral dan mengenyangkan perut dengan roti.
“Memang kamu nggak boleh dikasih hak untuk milih universitas sendiri?”
Syifa mengernyit kearahku. Aku menoleh, mendapatkan Syifa yang sudah duduk menopang dagu di sampingku.
“Ini modus eyang aja kali, biar anak-anakanya rajin jenguk ke Jogja”
Syifa memonyongkan bibirnya, berharap aku tetap memilih Universitas Indonesia biar kami bisa tetap kuliah bersama meskipun memilih jurusan yang berbeda. Aku menyahut susah payah, mulutku masih penuh dengan roti. Syifa menatapku sedih.
“Aku sedih tidak bisa bersamamu” ucapnya menirukan kalimat salah satu sinetronAku mau tak mau tersenyum melihat mimiknya. Selalu ada ketenangan yang mengaliri tubuhku tiap kali mendengar kalimat Syifa. Ia adalah tempat berkeluh kesah dan meluapkan beban yang mengganjal. Meski tak mampu memberi solusi, tapi kalimat-kalimat membantuku sedikit lebih tenang ketika dihadapkan dengan masalah.
“Aku terharu” ucapku polos
“mmm ... tapi aku nggak tahu harus membantu bagaimana, haruska aku menemui eyang?” tambahnya sambil menatapku dengan mata membulat
Aku balik tersenyum, “Kamu nggak perlu lah, Eyang tuh…”
Aku menimpali pelan dan memotong kalimatku berharap Syifa bisa mengerti maksudku. Ia pun mengangguk pasrah tidak bisa merubah keputusanku untuk kuliah di Jakarta.“Di jagat raya ini mungkin cuma kamu yang punya Eyang model gini”
Tawa Syifa pecah. Aku menelan ludah, kalimat Syifa terasa hambar. Mataku tertuju pada leptop. Sebuah formular online terpampang manis menunggu segera dikirim. Syifa mengikuti arah mataku yang memperhatikan huruf demi huruf. Dan kini kami berdua menatap objek yang sama.
“Pilihan boleh beda, tapi hati tetap satu”gumam Syif
“Bismillah…” sahutku
Darahku terasa berdesir, bulan-bulan selanjutnya aku akan berada di Jogja tanpa Syifa. Ada yang melonjak dalam hatiku.
“Jadi ... fix Jogja ?”
Aku mengangguk. Namun arah mataku mendadak berubah kearah leptop Syifa.
“Kamu ?” suaraku bergetar
Syifa mengangguk, mataku berkaca-kaca memeluknya erat.
“Aku ingin berjuang bareng kamu” sahutnya juga bergetar
“Thanks, Syifa” senyum mengembang dari bibirnya.Bersamaan dengan itu, tampak seseorang yang mengamati percakapan kami dari jauh. Seseorang dengan topi hitam, dan melangkah perlahan setelah mengambil beberapa gambar kami berdua.
“Tante dan Om akan senang mendengarnya, mereka berharap aku bisa membantu” sahut Syifa dalam hati.
Syifa pun membayangkan ketika ayah dan Ibu Aiswa menelpon dan menghubunginya agar tetap mengambil lokasi yang sama dengan Aiswa. Mereka membutuhkan orang yang bisa selalu mendampingi Aishwa. Terdengar nada khawatir dari keduanya dan begitu berharap Syifa akan menyetujui permohonan mereka.“Baik Tante, Om...Syifa senang bisa membantu”
Syifa pun tidak punya pilihan lain selain berharap ini akan dapat mengurangi kekhawatiran orang tua Aishwa.
“Namun, apa yang membuat mereka khawatir?” pikiran Syifa kala itu. Kedua orangtua Aishwa adalah orang yang berpendidikan, mereka tidak perlu khawatir dimanapun Aishwa akan melanjutkan pendidikan. Syifa pun membayangkan pertama kali Ia bertemu dengan orangtua Aishwa, hingga mengganggap Syifa seperti anak mereka sendiri.“Ini Syifa, Tante. Sahabatnya Aishwa,” Syifa memperkenalkan diri ketika pertama kali berkunjung ke rumah Aishwa, untuk menjenguknya yang tidak masuk karena demam. Ayah dan Ibu Aishwa dengan senyum hangat memeluknya.
“Ooh ... ini yang namanya Syifa? Cantik”
Ucapan Ibu Aishwa dengan senyum ramahnya. Keduanya langsung berpandang-pandangan, yang terlontar dari ibunya Aishwa.
“Aish sudah cerita banyak tentang kamu, Syifa. Katanya kamu suka soulmatenya, ya?
Syifa nyengir lebar, antara gugup dan senang,“Iya, Tante ....”
“Tante kagum sekali dengan prestasimu disekolah. Terimakasih yah sudah jadi teman belajar Aishwa.”
Syifa pun kontan berdehem.
“Ehm. Aishwa memang fans saya, Tante. Tapi sayangnya sampai sekarang cuma dia doang yang nge-fans, teman yang lain nggak”Tawa keduanya pun pecah. Seketika Ibu Aishwa merangkul Syifa dan berbisik,
“Syifa bantu jaga Aishwa yah?”
Kalimat yang masih terekam selalu di memori Syifa. Seolah kalimat yang meminta pertolongan. Seperti kalimat yang mengandung pesan tersembunyi. Entah apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER AISHWA
Novela JuvenilMenceritakan tentang dua gadis kembar yang diberi nama Aishwa, ditinggal oleh ibu kandungnya di tempat yang berbeda. Kedua gadis tumbuh dengan kehidupan yang berbeda pula, hingga ditakdirkan bertemu. Bagaimana sosok Aishwa yang hidup di Indonesia, d...