Chapter 7 | Voices of My Head; My Ride or Die

12 6 0
                                    

"Memangnya dia minta berapa banyak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Memangnya dia minta berapa banyak?"

Ia memutar ujung gelas di tangannya berulang. Sedang satu tangannya yang lain menggosok bibirnya kelu. Jane sandar beban di kursi dekat kolam renang bersama dengan Brenda.

Brenda pandang Jane yang tak nyaman. Bahkan, kantung mata wanita itu akhir-akhir ini terlihat jelas. Setidaknya dengan mengajaknya bicara akan mengurangi rasa penatnya.

"Tatapanmu seaakan benci karena aku mengotori rumahmu." Ia pijat pelan pelipisnya. Melirik sekilas yang dimaksud.

Brenda terkekeh. "Never thought you had the first kiss."

'Tahu, kan, aku bisa membuatmu melangkahkan kaki dari New York Times?'

"Jane?"

Satu sapaan pada pundaknya membuatnya kembali sadar ditarik ke alam realita. Dipecat dari perusahaannya? Itu buruk. Tapi, membuat sahabatnya mengganti rugi ... lebih buruk.

Bagian otak mana lagi yang harus diputar supaya ia bisa cepat menemukan pelaku yang merekamnya di pesta kemarin? Bahkan, Jane rasanya sudah tak dapat berpikir untuk menyelesaikannya.

Hubungannya dengan Evan menjadi lebih canggung daripada sebelumnya. Tidak, mungkin saja Jane yang menjauhkan diri. Ia merasa tidak enak. Semua ini karena dirinya. Namun, tentu saja ia tak mau disalahkan sendiri ketika mantannya yang lebih dulu memancingnya.

"Dylan ...," gumamnya membuat Brenda mengernyit heran.

"Dia yang melakukannya?"

"Tentu saja kau wajib menambahkannya ke dalam daftar list kriminal nasibmu." Brenda berceloteh seakan ikut kesal mendengar nama pria itu. Pun ia agaknya menyesal telah mengundangnya ke dalam pestanya.

"Untuk sementara akan ku beri nomor rekeningku. Hanya untuk berjaga-jaga."

Jane lantas menggeleng. Ia menolak keras bantuan Brenda. Tentu Jane tak mau merepotkannya. Lagi pula ia tidak tahu bagaimana cara menggantinya sementara gajinya bulan ini belum keluar. Lama-lama ia mangkat saja dari hidupnya.

"Oh, Jane ...."

Ia teguk shot terakhirnya. "Aku harus pulang. Tenang, aku nanti bisa mengatasinya."

Terima kasih untuk sepenggal malam. Terima kasih selalu kepada Brenda yang selalu ada di sisinya.

Meskipun Jane sudah dewasa. Tapi, jika harga dirinya sudah terancam hanya karena video tersebut, rasanya langsung merosot ke bawah.

Malam itu ia berjalan pulang. Dengan perasaan penat. Jiwanya lelah, raganya lelah.

"Dari mana saja?" ucap seorang pria yang duduk di kursi pinggir teras.

"Ayah? Belum tidur?"

"Bagaimana bisa aku tidur jika kau masih berkeliaran di luar sana sementara kau beri kuncinya padaku." Pria paruh baya itu terkekeh membayangkan putri semata wayangnya terkunci di luar rumah.

The Fallen [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang