"Lucifer is a MorningStar, how about you?"
"Well, Evan Brooke is a FallenStar," said the Guardian gently, her protective Guardian Angel.
Gaius Julee Moonstone (Juleeus/Julius) adalah nama sematnya. Hanya karena penghianatan yang tak sengaja didapati...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Why won't you set me free?"
Keduanya duduk berdampingan di suatu bukit dengan hamparan rumput di sekelilingnya. Rambutnya menari searah karena angin sepoi yang menyapu pelan.
Evan pandang raut tenang Jeanne. Yang lalu biarkan berlalu. Tidak ingin menjadi penjahat, namun Evan begitu terdesak. Kini, baginya bukan karena Jane adalah sebuah prospek untuk mencapai tujuannya. Sekiranya seperti itu poin untuk jawaban dari pertanyaan Jane. Tetapi jika sekarang hatinya sepenuhnya ditaruh di satu tempat, selebihnya ia tak rela untuk kembali.
"Tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah semua yang kau lewati. Dirimu pantas untuk hidup." Usap lembut kepala wanita itu yang kini bersadar di bahunya.
Jane alih tatap kedua manik Evan. "Jika bukan karena takdir yang mengakhiriku, sepenuhnya salahmu."
"JANE!"
"Mimpi buruk kala kekasih tiada itu normal," celetuk Lucius yang sudah bangun lebih dulu darinya.
Satu hembusan besar dari napasnya. Putuskan untuk beranjak duduk di atas sofa panjang. Lagi-lagi pejamkan mata berharap tak mau bangun.
"Aku dapat surel konfirmasi!" Setidaknya Brenda datang membawa sedikit kabar bagus.
"Penyelidikan dimulai nanti."
Tapi Evan tetap saja murung. Ia mulai khawatir. Lain, kali ini dirinya benar-benar terdesak dengan waktu. Berkali-kali satu kata itu meghantuinya. Dan masa masih terus berjalan di saat dirinya saat ini seperti manusia payah, sangat payah.
"Tidak bisakah kita beranjak sekarang?"
"Bocah plin-plan ... we'd called police, we needed them, and police needed us. Bukannya kau duluan yang menyuruhku melakukannya?" Raut Brenda berubah tak mengenakkan.
Lagi, itu karena Evan terdesak. Tak dapat lagi berpikir jernih sekedar satu menit. Takut saja jika semakin banyak orang, semakin menghambat dirinya.
"You love her ...," celetuk Brenda pandangi mata Evan.
"Ya, aku tak mau mengganggu kalian, tapi ... apa itu bukan termasuk sesuatu yang mengganjal?" Telunjuk Lucius terangkat ke arah jendela depan rumah Brenda.
Langsung saja mata si pemilik rumah membelalak ketika menghampiri sesuatu yang dimaksud Lucius. Dengan raut kaget sekaligus takutnya dirinya masih menerka benda apa yang membuat jendelanya memiliki bercak merah darah.
"Who the hell playing around right now? Oh, fuck!" Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Setelahnya ia refleks tutup hidungnya sendiri ketika mencium aroma amis yang ditimbulkan dari bercak merah tersebut.
"He know us," gumam Evan.
Lucius alih kontak mata dengan Evan. Pria itu isyaratkan sesuatu. Segera ia hampiri Brenda. "Aku tahu pria itu sedikit ceroboh. Tapi kali ini mungkin dia benar. Kita harus bergegas sekarang."