💡Cerita ini ditulis pada tahun 2022
Suatu kejadian dapat menghasilkan suatu dampak yang positif dan negatif, tetapi apakah kamu pernah mendapati sebuah kejadian yang malah membuka pintu pertama kebenaran akan kejadian-kejadian yang telah berlalu?
...
Kami berhenti ketika merasa sudah jauh dari tempat itu. Aku dan Clarice berhenti sebentar karena Clarice tidak bisa tenang melihatku dengan kaki yang terluka begini. Dia mengeluarkan obat merah dan kapas yang jelas aku terkejut ketika melihat itu, apa dia membawanya sedari malam? “Jangan kaget begitu.” Clarice kemudian tertawa, dia memang peka dengan ekspresiku. “Ah, aku hanya ingin bertanya, dari mana kamu dapat obat merah dan kapas? Kamu bawa dari malam?” Clarice menggeleng pelan seraya mengobati lukaku. “Oh nggak, kalau bubuk cabai, iya… aku memang bawa dari malam. Tapi untuk obat merah ini dan kapas aku menemukannya di tas Larek yang di luar. Aku ambil tadi pagi, untungnya Larek nggak sadar. Dan maaf ya Lau, tadi aku agak lama, soalnya Jeff itu, kuat juga, aku nggak bisa buat dia pingsan dengan sekali tonjok. “ Aku berdecak kagum. “Kamu belajar silat, ya Clar?” tanyaku iseng. “Nggak, kok, aku hanya belajar sedikit cara membela diri. Kapan- kapan aku akan ajari kamu.” “Tentu saja, dengan senang hati aku akan menerimanya.” Jawabku pelan. Walaupun aku sebenarnya sudah diajari silat oleh Kakakku, tapi percayalah, aku belum sejago Clarice yang kemudian hanya mengangguk pelan.
Lalu kemudian aku teringat sesuatu. Aku memegang lengan kirinya pelan. “Bagaimana? Kamu jadi kandidat ketua PMR?” tanyaku yang baru mengingat itu, sebenarnya aku ingin menanyakan itu saat pulang jurit malam, namun nyatanya kita sama sekali tidak pulang, tapi malah tersesat. “Ya, begitulah. Jadi, sih.. tapi nggak tahu bakal kepilih atau tidak.” aku merangkul pundaknya. “Tentu saja, Clarice pasti bisa jadi ketua. Tegas, pemberani.” “Tetapi bukankah, aku nggak cukup bertanggung jawab? Kamu sendiri yang bilang, bukan? Sampai dua kali lho.” aku sontak terdiam ketika dia berkata seperti itu dan hanya menunggu dia selesai mengobati lukaku. Aku tidak bermaksud untuk mematahkan semangatnya. Saat itu aku berkata seperti itu padanya karena dia tidak ikut membantu para panitia yang berusaha agar mempersiapkan yang terbaik untuk dagang pada saat acara dahulu, padahal dia sendiri juga panitia begitupun denganku. Elin dan Karina juga jadi komplain padaku, mereka memang tidak memojokkanku, aku tidak merasa karena memang aku juga merasa kesal dengannya. Aku marah dan akhirnya aku berkata begitu padanya, aku tidak mengira dia akan selalu mengungkitnya seiring berjalannya waktu. Aku jadi berpikir, mungkin aku memang tidak seharusnya bilang begitu padanya dulu.
“Lau, sudah selesai. Coba jalan.” dengan dibantu pegang olehnya, aku mencoba untuk berdiri dan jalan. Rasanya sangat nyaman ketika sudah dibalut oleh kapas. Rasa sakit nya tidak langsung hilang semuanya, namun lumayan mengurangi rasa sakit dan tegangnya kaki karena tadi Clarice memijitnya sedikit. Aku kembali memasukkan jam tanganku yang masih tampak sangat bagus ke dalam saku. “Kenapa nggak pakai? Kalau taruh di saku nanti malah jatuh terus hilang.” Clarice melayangkan pendapatnya. “Kamu benar juga.” Aku tersenyum pelan padanya lalu memakai jam tanganku di tangan kanan. Memang terlihat aneh, tapi aku lebih nyaman memakainya di tangan kanan dibanding pada tangan kiri. Kami akhirnya melanjutkan jalan dengan cukup pelan karena aku tidak bisa berjalan dengan cepat. Yang penting, aku sudah terbebas dari Larek itu, aku sangat bersyukur pada Allah karena Larek hanya membawa 2 orang untuk membantunya. Bila dia membawa lebih dari 2 orang, aku pasti sudah tidak akan melakukan apapun dan hanya berharap ada mukjijzat dari Yang Maha Kuasa.
Sekarang pukul 10, matahari sudah ingin menampakkan seluruh bagiannya pada tempatku. Cukup terik namun tidak membuat kami berdua hingga menyipitkan mata. Aku terdiam, tenggelam bersama rumput-rumput tinggi menjulang membuat kakiku sedikit merasa sakit karena tertusuk ujung-ujungnya. Aku menyadari sesuatu, bukankah tadi malam aku berangkat jurit malam menggunakan sepatu? Kenapa sekarang aku tiba-tiba menggunakan sendal jepit? Swallow lagi.. kemana sepatuku? “Ada apa, Lau?” tanya Clarice mengikutiku menghentikan langkah. “Ah itu, kemana, ya sepatuku? Kenapa aku jadi pakai sandal?” “Larek mengambilnya. Dia bilang padaku kalau menyukai sepatu putihmu. Aku tadi berniat untuk mengambil sepatumu tapi aku lupa karena saking fokusnya. Kamu mau balik lagi buat ngambil?” aku menatapnya aneh. “Gila, ya? Nggak usah, itu cuma sepatu. “ Clarice hanya tertawa kecil. Aku memang tidak menggunakan kaos kaki tadi malam, tentu saja karena malas. Padahal Mama sudah selalu memeperingatiku untuk selalu memakai kaos kaki jika memakai sepatu. Aku berdecak mengingat tentang Larek. “Larek itu, kurasa dia pencuri yang berkedok sebagai mirip-mirip seorang agent agar nggak dituduh mencuri. Barang-barangku ingin diambilnya semua, sungguh. Sepatuku, dia juga ingin jamku, untung saja kemejaku yang ini nggak dia ambil juga.” Gerutuku mengingat semuanya. “Kalau kemeja dan jammu diambil juga dia seketika bisa kaya, Lau.” “Nggak apa kaya, yang penting nggak mengejarku lagi. “ Clarice tertawa dan memegang lengan kananku pelan. Atensiku tersita pada kalung bulan sabit milik Clarice, untung nya kalung itu tidak diambil Larek juga. Apa mungkin Larek tidak mengetahui fakta tentang kalungnya? Baguslah, dia tidak berhak menjadi jutawan karena mencuri barangku dan barang Clarice.
Aku menghirup udara yang sangat segar setelah mendapat udara yang sumpek di tempat Larek tadi, ini membuat pernapasanku jadi terasa sangat lega. Jam digitalku menyala secara tiba-tiba, dan aku fokus pada baterainya. Kupikir, baterai jamku kosong, namun ternyata terisi full. Mungkin Larek yang mengisinya. Larek itu.. kampungan sekali.. dia menyergapku dan bonusnya bisa mencuri barang. Hah.. untung jam nya kembali padaku. Sama sekali tidak terlihat adanya kehidupan disini, hanya terdapat beberapa gubuk selama beberapa setiap km. Gubuk yang tidak terawat, terlihat seperti vila kecil. Hutan ini baru, apa dulunya hanya hutan pribadi? Mempunyai hutan pribadi sangat enak, kenapa malah membukanya sebagai tempat umum?
Suasana berjalan dengan hening karena aku dan Clarice sama-sama tidak membuka percakapan, kami hanyut dalam pikiran masing-masing mengenai hutan ini. Hanya terdengar deru napasku dan deru napas Clarice, beberapa suara burung berkicau pun terdengar namun tidak menampakkan dirinya. Padahal suara kicauannya terdengar sangat indah, mungkin burungnya juga akan sangat indah. Dan juga suara-suara jangkrik yang lebih ramai dibanding dengan kicauan burung. Namun masih sama dengan burung, jangkrik juga tidak menampakkan diri. Mereka bersembunyi dibalik dedaunan. Dalam perjalanan, terdapat juga beberapa bunga, hutan ini masih tertanami bunga-bunga indah. Seperti bunga melati dan anggrek. Aku pribadi menyukai anggrek karena warnanya sangat indah. Aku menelan saliva kasar yang terasa sedikit perih. Sepertinya aku mulai haus, aku merogoh saku barangkali dapat menemukan botol air yang tadi malam, namun aku tidak menemukan apa-apa. Sedari tadi kami juga sama sekali tidak menemukan mata air.
Aku mulai haus, sepertinya aku harus berhenti dulu untuk beristirahat. Aku memegang tangan Clarice dan menyuruhnya untuk beristirahat. Ahirnya kami duduk berdua dan terdiam. Clarice juga merogoh sakunya namun dia juga menghela napas karena tidak menemukan botol.
“Aku cari air, ya.. Clar.” aku hendak berdiri namun Clarice memegang tanganku, dia juga ikut berdiri. “Nggak usah, biar aku saja yang cari. Kamu istirahat saja, kaki kamu kan luka begitu. Tunggulah disini, nanti kubawakan air.” "I feel so blessed ‘cause I can survive together with you.” Ucapku sambil melempar senyum. “So do I, Lau.” Clarice juga melemparkan senyum manisnya padaku lalu dia beranjak pergi. Aku menyender pada tubuh pohon yang cukup tinggi. Awalnya aku merasa ragu, namun sepertinya aku tidak perlu memikirkan perkataan Elin serius.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
