Enjoy reading
“Aku benar-benar tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi, Kak Daffi, kamu sendiri kan yang sudah membuktikan bahwa hutan ‘Melawa’ itu benar aman?! Kak Daffi juga panitianya, kan?” “Tenanglah, Silvi. Aku juga tidak pernah menyangka. Yang hilang juga bukan hanya Nak Laurent saja, tetapi yang lain juga. Nak Laurent akan baik-baik saja.” Daffi memegang kedua pundak Silvi. Tetapi Silvi mengalihkan perhatiannya. Tidak lama kemudian mulai menitikkan air mata. “Bawalah Silvi ke taman, Dion. Dia perlu udara segar. Aku akan infokan kondisi disana secepat mungkin.” Dion hanya menjawab iya dan membawa Silvi keluar dari ruang pertemuan, namun Silvi menahan lengan suaminya pelan, “keselamatan anak-anak adalah yang terpenting, sampai kapanpun.” Daffi menghela napas dan mengangguk pelan pada Silvi yang kemudian meninggalkan ruang pertemuan. Daffi kembali duduk dan memegang kepalanya pusing. “Saya benar-benar mengucap maaf, Pak Daffi. Seharusnya saya langsung menyadarinya saat awal survey hutan tersebut.” “Itu sama sekali bukan kesalahan anda, Pak Arif, anda sudah sangat bekerja keras. Dan sekarang anda membawa banyak sekali tim pencari khusus untuk SMA kita. Itu lebih dari cukup.”
“Tidak, Pak Daffi. Wali murid bahkan ada beberapa yang mengisi petisi untuk menuntut sekolah ini karena telah membawa anak mereka ke tempat yang tidak aman. Dan, jika mereka tidak kunjung ditemukan. Saya benar-benar buntu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa sangat gagal menjadi guru yang bertanggung jawab pada anak muridnya.” Pak Arif melepas kacamata dan menutup kedua matanya sambil bersandar pada sofa. Daffi berpindah pada sofa disebelah Pak Arif dan menepuk pundaknya, berniat untuk menenangkan. Walau keponakannya hilang, Daffi tidak bisa ikut menangis, dia tidak bisa bergabung bersama adik dan rekannya yang sedang menitikkan air mata.
Clarice datang membawakan satu botol air kaca berisi air yang sangat penuh.Aku menatapnya senang, begitupun dengannya yang langsung duduk disampingku. Dia lalu menyodorkan botol kacanya. “Kamu minumlah dulu, nggak sopan kalau aku minum dahulu.” aku hanya tertawa kecil, “apa yang nggak sopan? Kamu yang mencarinya, kamu duluan saja.” Clarice kemudian mengiyakan dan meneguk air tersebut, dilanjut denganku yang menerima botol kacanya yang ternyata lumayan berat juga. Aku bukanlah tipikal orang yang tidak suka menerima pemberian orang lain. Aku menerimanya, karena aku juga merasakan betapa tidak enaknya ketika pemberian kita ditolak. Aku membuka botolnya dan meminum perlahan, usiaku dengan Clarice memang terpaut 1 tahun, aku lebih tua darinya, maka dari itu aku sering mengalah, bukan dipaksakan, hanya naturalisasi. Aku hanya meneguknya sedikit, karena kupikir kita harus hemat untuk perjalanan berikutnya. “Dimana sungainya? Dan.. kok bisa dapat botol kaca seperti ini, Clar?” tanyaku. “Sungainya nggak jauh dari sini. Botol kacanya kudapat di samping sungai itu, aku ambil karena kita kan nggak punya tempat untuk nampung airnya. Palingan, minum sebelumnya diambil Larek.” Clarice menyender pada pohon yang sedang kusender. Aku hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara. Kami berdua kembali diam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku melihat jamku yang sekarang benar di waktu Indonesia Barat, bukan lagi di waktu Indonesia Tengah. Aku sangat bersyukur karena jamku ini tidak rusak. Aku juga sangat bersyukur karena kaki kiriku yang terluka, berangsur-angsur tidak lagi terasa sakit.
Aku menghembuskan napas ketika sekelebat memikirkan Larek. Aku hanya berharap Larek tidak bangun dahulu. Lagipula siapa yang menyuruhnya? Seseorang yang memiliki dendam padaku di masa lalu ataukah hanya seseorang yang membenciku tanpa alasan? Hah sudahlah.. alih-alih memikirkan itu, lebih baik aku harus berpikir sportif kalau aku dan Clarice bisa selamat bersama. Aku menatapnya, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. “Cheryl benar meninggalkan kita untuk selamanya?” aku bertanya. Clarice yang mendengar ucapanku terlihat cukup kaget dan langsung memperbaiki posisi duduknya.
“Nggak, Lau. Sebenarnya dia nggak meninggal, aku mengatakan itu karena takut Larek menguping dari luar.” Aku cukup terkejut mendengar jawabannya. Oh, jadi itu hanya suatu peralihan? “Lalu dia kemana? Dia disekap Larek?” “Bukan, dia kabur tadi malam, dia nggak mau disekap bersama dengan kita. Maka aku bantu dia untuk keluar. Aku sudah bilang padanya untuk tetap bersama dengan kita, di luar sendirian sangat berbahaya. Tapi dia tetap memaksa, dan akhirnya dia berhasil kabur tanpa ketahuan oleh Larek, namun aku ketahuan, maka dari itu aku ditampar,” aku tidak bisa merespons apa-apa saat ini. Aku butuh penjelasan lebih lanjut, Clarice merapihkan rambutnya ke belakang telinga sehingga luka memar tadi kelihatan dengan jelas. “Memar ini jelas bukan karenamu, tetapi karena aku ketahuan membantu Cheryl untuk kabur. Begitu. Tapi tetap kamu nggak bisa membencinya.” aku tertawa kecil ketika Clarice berkata aku tidak bisa membenci gadis itu. Aku bisa, sekarangpun sudah. “Kenapa nggak bisa?” “Karena dia sudah cukup kasihan, keluarganya nggak bisa selalu ada untuknya. Berbeda dengan kita, maka dari itu kita harus mengalah padanya.” “You can’t say that word if you became me.” aku memalingkan mata. Aku sudah muak mendengar Cheryl harus terus dikasihani karena problem keluarganya. Aku tidak tahu banyak, jelas, karena Cheryl hanya bercerita pada satu telinga ketika disediakan 2 pasang telinga oleh Tuhan. “Karena dia punya masalah dengan keluarganya, apakah itu berarti kita harus diam saja ketika dia terus-terusan bertindak seenaknya? Selamanya dia akan terus jadikan itu sebagai tameng, Clarice. Tidak hanya pada kita, tetapi selanjutnya dan selanjutnya, bahkan ketika dia berumah tangga nanti bila kita tidak mnghentiknnya sekarang juga.”
“Dia nggak bertindak seenaknya terus seperti itu kok.” “Oh, jadi sekarang kamu berada di pihaknya, Clar?” perbincangan kami seketika menjadi cukup serius.
“Apa maksudmu? Tidak ada pihak-pihakkan, kamu dan Cheryl itu satu.” “Kami bukan bhinneka tunggal ika, Clar. Aku dan Cheryl tidak pernah bersatu. Dibanding ada pikiran untuk bersatu, ketika disana aku mungkin akan memutuskan persahabatanku dengannya. Maka dari itu setiap tindakannya yang meninggalkanku nggak akan pernah kumasukkan lagi dalam hati.” aku mengalihkan tatapanku, melihat daun-daun pohon yang bergerak karena terbawa arus angin. “Egois sekali kamu, Laurent.” Aku sontak menatap Clarice, tidak kusangka dia akan berbicara seperti itu. Raut wajahnya sudah terlihat sangat jelas, dia di posisi Cheryl, bukan denganku. “Kamu nggak berhak mengatakan itu padaku. Kamu sama sekali tidak merasakan karena Cheryl selalu berbagi ceritanya padamu, bukan denganku juga. Dan.. sadarlah, Cheryl itu mengincar Naufal, hubunganmu dengan Naufal bisa putus.” Ya, that’s what I want. Aku tidak ingin Clarice berpacaran, namun bila dia tidak mau mendengarkan setidaknya lelaki nya tidak dengan Naufal. Lelaki itu luar biasa munafik.
Clarice menggeleng, “Jangan menuduhnya. Sudah cukup, dia memang menyebalkan tetapi kamu tidak bisa menuduhnya seperti itu.” “Kamu masih membelanya disaat kamu sendiri yang menyaksikan kalau dia tega meninggalkan kita, agar dia selamat sendiri? Kamu ini kenapa, sih?” aku jadi ikut menggeleng.
“Dia nggak sepenuhnya broken home, keluarga tirinya terlihat menyayanginya, hanya saja Cheryl ingin kasih sayang yang rumit, bukan kasih sayang yang sederhana.” “Kamu merasa bijak, kah berkata begitu?” “Clarice, apa-apaan sih, kamu? Kekanak-kanakan sekali.” aku sudah cukup sabar dengannya.
“Berhentilah membahas Cheryl, nggak baik karena mungkin dia sedang berusaha dengan keras untuk bertahan disana.” “Begitupun dengan kita.” aku mengangkat kedua bahuku. Clarice tiba-tiba saja berdiri membuatku sedikit bingung. “Ayuk, kita kembali jalan, dan mencari Cheryl.” “Hah? Mencari Cheryl katamu? Memangnya dia anak kecil yang perlu dicari?” “Kalau dia meninggal, kamu juga akan sedih bukan?” aku ikut berdiri dan menatapnya cukup tajam. “Berhenti membicarakan hidup dengan mati di saat kondisi seperti ini. Aku sudah tepat bilang aku tidak ingin mencari Cheryl. Kalau aku tidak ikut kamu akan tetap memaksaku?”
“Tentu saja, nggak. Aku akan mencarinya sendiri. Kamu juga bertahan lah sendiri.” “Gila, ya kamu?! kamu sadar, kan apa yang kamu katakan tadi?!” Aku memegang kedua bahu Clarice dengan kuat. Clarice lalu menepis kedua tanganku. “Aku sadar 100%. kamu bisa’kan bertahan sendiri? Kamu kan selalu bilang kalau Cheryl selalu lemah dan ingin diperhatikan. Maka aku perhatikan dia. Kamu tidak suka jadi pusat perhatian, maka dari itu aku memilih untuk nggak memperhatikanmu. Aku akan mencari Cheryl, sendiri.” Air mataku mulai menumpuk di pelupuk karena panik. Aku tidak ingin sendiri, “Tolong jangan bercanda. Aku sama sekali tidak bisa menangkap apa maksudmu. Kamu ingin meninggalkanku demi Cheryl?” “Kamu kenapa takut? Kamu kan kuat katanya. Kenapa? Kamu takut bila aku tinggalkan? Berarti mulutmu hanya tong kosong saja, kan? Bicara di dalam mulut seperti itu, tapi nyatanya kebalikannya.” Clarice tertawa kecil. Aku sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti kenapa dia berbicara seperti itu? Kenapa dia sampai memojokkanku hanya karena Cheryl?Aku menahan air mataku yang bercampur amarah, cukup sudah. Aku tidak bisa menangis di depan orang yang telah mengatakan hal buruk padaku.
“Aku bisa bertahan sendiri. Kalaupun kamu ingin mengajakku bertanding, siapa yang lebih dahulu menyentuh garis kuning, tentu saja aku bisa dengan mudah sampai duluan.” aku refleks tersenyum kecil. “Sayangnya, aku tidak ingin berkompetisi. Aku bukan kamu yang apa-apa selalu dikaitkan dengan kompetisi, contohnya sekarang. Bukankah tadi kamu bersedih? Sekarang secara tiba-tiba amarahmu melonjak.” aku kembali menggeleng. “Aku seperti bukan sedang berbicara dengan Clarice, melainkan orang jahat yang sedang menyamar dengan Clarice.” Aku memegang tangan kanannya cukup keras agar dia tidak bisa berontak. Clarice juga terlihat sangat kaget. “Apa yang terjadi disana? Kamu diancam?” tanyaku tegas. Raut wajahnya berubah kecut.
“Apa yang kamu bicarakan? Diancam? Aneh saja.. kebanyakan baca novel, jadinya begitu.” Balasnya kasar.
“Aku hanya bertanya. Apa itu salah?” Clarice mulai memberontak tangan kanannya dari peganganku. “Aku tidak akan melepaskannya sebelum kamu jujur padaku.”
“Jujur apa, sih Laurent?! lepaskan!” Aku akhirnya melepaskan tangan kanannya. “Aku bisa naik pitam kalau masih terus bersama denganmu. Aku pergi, tenangkan dirimu.” Clarice beranjak pergi, aku diam tanpa melihatnya yang melangkah pergi. “Dan, lebih baik kamu cepat pergi dari sini. Tidak baik bermalam di tempat terbuka.” Pesan Clarice sebelum langkah kakinya menjauh. Aku tidak tahu itu pesan atau hanya sebuah ucapan. Aku katakan sekali lagi Clarice seperti orang lain...
Aku kembali duduk dan menyender pada pohon. Aku menutup wajahku menggunakan kedua tanganku dan entah kenapa mulai menangis. Kenapa aku menangis? Clarice saja tidak menangis ketika meninggalkanku. Aku hanya… merasa kenapa Clarice begitu tega meninggalkanku? Cuma karena Cheryl yang dia sendiri memilih untuk meninggalkan kami. Aku merasa seperti telah dikhianati oleh orang yang paling kupercaya dari keluarga di sekolah. Mataku tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata, aku sendiri bahkan tidak bisa menahan tubuhku untuk tidak berguncang. Andai saja bila tadi aku bisa mengucapkannya, andai aku punya keberanian dan tidak mengedepankan egoku. Aku membutuhkan Clarice, bagaimanapun kondisi di hutan ini. Aku membutuhkan orang lain karena aku tidak yakin aku bisa bertahan sendirian.Please support this story guys ♡
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Accident
Gizem / Gerilim💡Cerita ini ditulis pada tahun 2022 Suatu kejadian dapat menghasilkan suatu dampak yang positif dan negatif, tetapi apakah kamu pernah mendapati sebuah kejadian yang malah membuka pintu pertama kebenaran akan kejadian-kejadian yang telah berlalu? ...