Hari mulai gelap, kulihat jamku yang menunjukkan pukul 5 lebih 32.
Aku melihat Chasel dan Stela secara bergantian, tidak ada satupun dari kita yang membawa senter. Aku tidak membawa senter karena ketika setengah perjalanan dengan Stela aku baru keingat kalau senternya ada di Clarice, tidak apa, dia sendiri jadi lebih baik untuk bawa senter. Jika terus berjalan, tanpa penerangan itu akan berbahaya. Aku memberikan pendapat kepada keduanya agar kita berhenti berjalan dan bermalam disini untuk sementara. “Apa kamu yakin bermalam disini adalah hal yang tepat? Menurutku sama sekali nggak..” Stela memandangku dengan tatapan yang remeh. Apa-apaan dia? Dia pikir dia siapa? Aku hanya tersnyum tipis. “Sangat yakin. Akan berbahaya bila kita berjalan malam. Kita juga nggak punya senter, bayangin saja kita jalan pakai apa kalau nggak ada senter. Banyak rintangan yang akan menjadi buram dalam penglihatan kita, kamu tahu’kan rawan kecelakaan besar.” Ujarku berusaha menjelaskan maksudku agar dia bisa mengerti. Stela tetap memandangku sama, lihatlah dagunya.. dia masih mengangkat dagunya dengan cukup tinggi dengan tatapan datar padaku. Aku malas melakukan yang sama untuknya. “Yang dikatakan Laurent benar, Stela. Bagaimana kalau nanti ada ular atau hewan buas lain menghampiri kita? Udah nggak ada senter, selamat nggak, yang ada ketemu malaikat Izrail nanti.” Chasel berucap. Aku tertawa dengan nada remeh pada Stela bermaksud mengejeknya. Tapi dia malah menghembuskan napas sebal dan mengalihkan pandangannya. “Baiklah, kita bermalam disini.” Ujarnya. Yang penting dia sudah setuju dan tidak keras kepala.
“Lalu sekarang kita bagaimana? Nggak ada tenda, nggak ada apa-apa lho disini. Kamu mau kita tidur di tanah Lau?” gerutu Stela membuatku jadi semakin jengkel karena ulahnya.
“Kamu mau tidur sama ular tah?” balasku. “Sudahlah, Stela. Tolong jangan memperkeruh suasana dong. Aku tahu kita semua baru pertama kali untuk mengobrol panjang, tapi kita’kan tetap teman sekelas. Dan kita harus berusaha bersama jika ingin keluar dengan selamat. Belakangi ego kalian dan jika punya masalah pribadi nanti saja diurusnya. Aku capek mendengar kamu menggerutu terus.” Chasel menghela napas pendek. Dari nada dan tatapan matanya yang lesu sekali, sudah dipastikan dia sangat capai dengan kelakuan ku dan Stela. Aku jadi merasa sangat tidak enak dengannya.
“Sebelum hari mulai gelap sekali, mau buat api unggun dulu?” saranku. Untuk memperhangat suasana, kubuat nadaku menjadi lebih bersemangat dan tidak ada nada jengkel dan kekesalan.
“Boleh, kamu tahu tahap-tahapnya?” tanya Chasel lalu menatapku. “Ya, lumayan lah. Aku masih ingat dari buku yang pernah kubaca. Pertama-tama kita harus kumpulkan dulu bahan-bahannya, seperti ranting kering, karena ranting yang basah nggak akan bisa menciptakan api, lalu kayu bakar kering juga.. udah, sih.. kita sekarang perlu itu saja. Ayuk bagi tugas. “ Jelasku. “Waw.. kamu baca buku apa? Kamu’kan bukan anggota pramuka?” tanya Chasel. “Cuma sekedar pengetahuan saja kok.” aku menimpali. Chasel hanya mengatakan oh. “Karena aku sudah mengikuti saran kalian untuk bermalam, aku nggak ikut bantu bikin api unggun, ya karena kalian sudah memaksaku.” “What the hell?! Nggak bisa! Kamu harus ikut bantu. Kamu nggak bisa seenaknya terus, dong.” Ucapku kembali naik pitam karena perkataan Stela. Ada, ya orang sepertinya yang sangat menyebalkan. Haduh, aku jadi keluarkan kata itu lagi’kan? “Terserah saja. Aku mau istirahat. “ Stela beralih menyender pada pohon yang tinggi dan terlihat sangat nyaman dan indah. Dia lalu memejamkan matanya.
Ya Tuhan.. tolong berikan alasan padaku apa maksud engkau mempertemukan ku dengannya, si gadis menyebalkan yang sekarang tengah.. mungkin sudah tertidur pulas dengan kakinya yang diluruskan. Chasel tiba-tiba mengayunkan tangannya di depan pandanganku. Aku tersadar dan beralih melihatnya.
“Aku mengerti perasaanmu yang kesal pada Stela. Dia memang sedikit egois, aku tahu kamu nggak sepertinya, jadi tolong kamu saja yang mengalah, ya? Kamu mau nyari ranting? Biar aku saja yang mencari kayu bakar.. butuh berapa?” nada ucapan Chasel sangat lembut. Amarahku jadi sedikit reda karenanya, aku lalu menelan salivaku. “Butuh sekitar 13-15 kayu. Kamu bisa mengangkatnya? Mau bagi 2 denganku?” tawarku.
“Nggak usah, aku bisa. Kalau begitu aku langsung jalan untuk mencari, ya? Kamu hati-hati mencarinya.” ujar Chasel sembari berlari dan mengayunkan tangan kanannya lalu kemudian dia mulai tenggelam dengan pohon-pohon yang besar. Aku juga langsung berjalan untuk mencari ranting yang kering.
Aku memungut beberapa ranting kering yang sudah bertebaran, hutan ini memang sangat luas, harusnya aku membeli buku atau menghapal beberapa rute perjalanan hutan ‘Melawa’ karena sekarang.. semuanya terlihat sama dan ini sangat merepotkan. Aku berusaha untuk mencari ranting kering yang sangat banyak. Aku harus kembali sebelum pukul 6 karena pandanganku mungkin tidak sejelas sekarang. Setelah mendapat cukup banyak, aku memutuskan untuk kembali. Ketika kembali sangat kebetulan sekali karena Chasel juga baru kembali. Aku menaruh ranting-rantingnya di tanah. “Lau, maafkan, aku cuma bisa menemukan 8, tadi nggak banyak yang ada kayu bakar. Jadi dapatnya cuma segini.” netra Chasel berubah cemas. Terlihat keringatnya sudah banyak keluar, sepertinya dia memang sudah berusaha untuk mencari sekuat tenaga namun sayangnya hanya mendapat 8 potong. Aku mulai memutar otakku untuk kembali berpikir keras harus bagaimana. “Nggak usah repot-repot mikir panjang. Luaskan pandangan kalian, ini disini ada banyak kayu bakar. Makanya, jangan lihat satu sama lain saja, dong.” Stela mengarahkan tangannya pada setumpuk kayu bakar yang ada. Aku sampai menganga melihatnya begitupun dengan Chasel.
“Makasih, La. Ternyata kamu ikut cari juga..” ujarku tanpa sadar melayangkan senyuman pada Stela. “Apanya yang makasih? Tumpukan kayunya sudah ada daritadi. Bukan aku yang mengambilnya.” Stela membuang muka. Senyumanku seketika luntur. Aku baru saja senang lho?
“Kalau begitu ayuk buat api unggunnya. Kalau nggak salah kita harus tentukan lokasi buat lubang api unggunnya.” aku sontak melirik ke berbagai arah. Lalu duduk dan menemukan lokasinya. Kami lalu membuat lubangnya setelah menemukan lokasinya. Chasel sengaja menggali lebih dalam tanahnya agar api lebih terkendali dan bara memiliki tempat yang jauh.
Aku mengambil beberapa batu yang cukup besar untuk dijadikan pembatas lubang. Pembatas dari batu berfungsi untuk menahan api dan sekaligus memberi batas di antara kayu yang dibakar. Kami juga setidaknya membutuhkan satu alat untuk pemadam api, berjaga-jaga bila api nya menjalar ke tempat yang tidak diinginkan. Aku memutuskan untuk menggunakan botol minum kemasan saja. Sudah tidak ikut bantu, Stela malah meminta airnya, tentu saja kuberikan, sungguh. Aku dan Chasel kembali menyusun ranting dan kayu bakarnya pada satu sama lain membentuk piramida. Kami lalu menambahkan potongan kayu bakar yang lebih besar untuk membuat struktur yang lebih besar. Lalu Chasel mulai menyalakan api unggun dengan menggesekkan antar batu. Kami berdua bergantian mencoba, karena aku yang jarang suka olahraga akan tetap kalah dengan Chasel yang anak basket. Akhirnya api mulai menyala. Aku langsung merebahkan diriku yang berkeringat dan sangat capek di sebelah api unggun. Aku melihat langit yang mulai gelap menutupi awan-awan indah yang keluar selama siang tadi. Suasana hangat mulai menyelimuti tubuhku, setidaknya aku sangat bersyukur karena aku masih merasakan kehangatan.
“Jangan asal tiduran, Laurent, tanahnya kotor. Ini pakai jaketku buat alas supaya bersih.” ucap Chasel seraya meyodorkan jaketnya. Aku langsung bangun dari rebahanku dan benar saja.. kemejaku kotor. “Kalau pakai jaketmu, nanti jaket kamu juga ikut kotor. Sudah nggak usah.” Tolakku mentah-mentah seraya menekukkan kakiku. “Sudah terima saja. Kemeja nggak setebal sweater, aku pakai sweater, kamu cuma pakai kaos hitam dalamannya. Cepat terima, tanpa penolakan!” aku akhirnya menerimanya dan memakai jaketnya. Sementara kemejaku aku lingkarkan di pinggang. Chasel tiba-tiba saja mengambil satau kayu bakar dari api unggun. Aku menaikkan alis seraya menatapnya. “Aku mau cari makanan. “ ujarnya lalu berdiri. Aku juga ikut berdiri. “Aku ikut. Aku juga ingin cari makanan.” Ucapku. “Kamu yakin, Lau? Kamu nggak capek?” tanyanya. Aku menggeleng. Aku mulai melangkahkan kakiku namun tiba-tiba saja perutku mengeluarkan rasa nyeri yang luar biasa. Kenapa ini? Tiba-tiba sekali? Aku seketika memegang perutku dan sedikit bungkuk untuk menahan sakitnya. Seseorang memegang tangan kananku kuat dari arah kiri.
“Lau kamu nggak apa?” tanya Chasel. “Perutku sakit. “ Jawabku singkat. Aku tidak bisa tersenyum kecil padanya karena menahan sakit. Aku paling tidak suka sakit begini, aku sudah beberapa kali tapi tetap saja jika merasa kembali sakitnya luar biasa. Karena tidak kuat aku akhirnya jongkok, tanpa ku sangka, Chasel ikut jongkok dan memegang pundakku. “Kamu istirahat saja, Lau biar aku sendiri yang cari makanannya. “ Ucapnya lalu kemudian Stela menghampiriku, Chasel melepaskan tangannya dari pundakku setelah Stela menggantikannya. Chasel lalu pamit dan kembali berjalan. Aku menyender pada pohon dan Stela menggosok-gosokkan tanganku dengan minyak kayu putih. “Tangan kamu dingin banget, Lau. Kaki kamu juga pasti. Pakai kaos kaki, ya? Aku bawa satu.. bersih.” Stela merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu, itu pasti pakai kaos kaki. Aku menerimanya dan mngucapkan terima kasih. Bagaimanapun aku merasa kedinginan sekarang jadi tidak ada pilihan lain selain tidak menerimanya.”Mau pakai sepatuku? Aku bisa pakai sendal.” aku sontak menggeleng. Aku lebih nyaman pakai sendal, walau sendal juga pemberian dari Larek mana karet, tapi tidak masalah karena kakiku tidak sakit walaupun aku jalan begitu lamanya. Kalau pakai sepatu mungkin ujung jariku bakal sedikit merah dan berdarah karena sakit. Aku terdiam kemudian, kenapa Stela berubah jadi baik? Lihat, dia bahkan tersenyum tipis padaku sekarang. Aku memilih untuk tidak mengobrol dan beristirahat penuh. Karena api unggun nya membuatku tempat kami jadi sedikit cerah dan hangat. Jaket Chasel juga nyaman sekali dipakainya, ini tebal tapi halus bila di pakai. Motifnya juga lucu, ini jaket var city, di ujung bagian sisi kanan juga ada gambar boneka beruang kecil yang lucu, warnanya pun navy blue yang sangat adem jika dilihat. Aku menyilangkan kedua tanganku dan berharap Chasel cepat datang karena jika dia lama aku akan khawatir.
Berbeda dengan yang tadi, ketika aku bilang pada Stela aku sudah mendingan, dia sama sekali tidak melirikku dan tidak berkata apa-apa. Aku harus bagaimana? Lagipula walaupun dia menyebalkan sepertinya dia tetap manusia, rasa kasihannya pasti tetap ada. Stela lalu kemudian berdiri. “Aku mau ke toilet, kamu bisa sendiri’kan?”ucapnya datar tanpa melihatku sama sekali. Aku tidak mempunyai, sikapnya yang seperti itu benar-benar tidak kusukai. Aku sama sekali tidak suka dengan orang yang berbicara tapi tidak menatap lawan bicara yang diajaknya.
“Pergilah, kalau aku butuh seseorang pun, itu bukan kamu.” Stela diam tidak menjawab perkataanku setelahnya, dia lalu pergi ke toilet. Udara malam ini membuat tanganku menjadi sangat dingin. Aku mengusap-usap tanganku agar merasa hangat.
Beberapa menit kemudian, Stela kembali, tapi Chasel belum kunjung kembali, lewat doa tadi saat aku ibadah aku berharap Chasel selamat. Ketika Stela kembali bersama dengan tangannya yang membawa beberapa buah dan daun-daunan. Wah tumben peka tanpa disuruh, ya walau sepertinya Chasel juga akan membawakan itu. Ketika dia ingin sedikit membungkuk untuk menata yang dia bawa, sekelebatan orang menariknya begitu saja dari hadapanku, aku yang tersadar bahwa bisa menjangkau tangan kiri Stela, langsung menariknya. Stela langsung berkata aw dan meringis setelahnya. Aku menarik tangannya cukup kuat.
“Lau, lepas saja.. sakit..” ucapnya. “Nggak, nggak, aku nggak akan melepasmu!”
"Lepas aja, sih Lau! Lagi sakit perut, kan.." “Nggak, aku nggak apa. Tahan terus, La.” aku melebarkan kakiku agar kekuatannya bertumpu pada kakiku. Tetapi tiba-tiba saja sendal jepit ini terpeleset tanah licin, membuatku melepas tangannya Stela secara spontan, Stela langsung tertarik dan pergi dari hadapanku. Aku menelan saliva kasar. “Ya ampun, Lau. Kamu nggak apa?” Chasel lalu membantuku agar terlepas dari tanah licin dan tidak terpeleset. Aku kemudian teringat sesuatu. “Kenapa menolongku? Tolong Stela.. tadi dia ditarik, Shel.” Ujarku dengan nada yang sangat khawatir.
“Dikejar? Dikejar dengan siapa? Perutmu bagaimana?” dari pergerakannya yang tergesa, jelas sudah dia kebingungan. “Apa maksudmu? Jangan tanyakan perutku terlebih dahulu, kejar Stela!” ketika aku sudah berkata sedikit tegas dia baru berlari mengejar Stela. Karena nyeri di perut yang muncul kembali aku kembali menyandar pada batang pohon yang tadi dan berharap agar Stela tidak hilang. Akan lebih baik kalau kita selamat bersama, bukan berpisah.
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Accident
Mystery / Thriller💡Cerita ini ditulis pada tahun 2022 Suatu kejadian dapat menghasilkan suatu dampak yang positif dan negatif, tetapi apakah kamu pernah mendapati sebuah kejadian yang malah membuka pintu pertama kebenaran akan kejadian-kejadian yang telah berlalu? ...