Happy reading~
Aku membuka kedua tanganku yang telah menutup penuh pandangan ku selama aku tertidur tadi. Aku sama sekali tidak sengaja tertidur, tidak ada apa-apa hanya sama seperti awalnya. Dan, Clarice benar tidak kembali. Aku menghembuskan napas pelan, kulihat jam di tanganku yang menunjukkan pukul 1, walau tidak ada adzan yang berkumandang disini, sudah pasti sekarang sudah masuk waktu dzuhur. Maka kuputuskan untuk ibadah dahulu lalu baru pergi kembali berjalan. Aku berjalan untuk mencari sumber mata air terdekat. Ku langkah kan kedua kaki ku yang sedang tidak bisa berjalan seperti biasa, karena dataran yang tidak mulus membuat langkah ku lambat dari biasanya. Aku juga sengaja berhati-hati karena takut bertemu dengan Larek, dia hanya lumpuhkan sementara, tentu nya kalau memang penjahat kelas atas, dia akan mudah untuk cepat bangun. Aku harus menghindari nya.
Ketika terhanyut dalam pikiran ku yang penuh dengan ketakutan, aku menemukan sungai yang airnya sangat bersih, di definisikan bersih karena air nya berwarna bening, tidak terlihat satupun sampah, namun dalam nya sangat curam. Sungai ini dalam. Memiliki air yang bersih seperti ini seperti tempat wisata.. bila ini awalnya bukan tempat wisata akan sangat sulit bila airnya masih bersih. Aku masih berpikiran kalau dulu ini adalah hutan pribadi yang digunakan hanya untuk keluarga. Lalu kenapa pemiliknya menjualnya menjadi tempat perkemahan umum? Dengan semua gubuk-gubuk kecil seperti vila yang terbakar oleh kobaran api karena hanya tersisa satu dari 2 lantai, tidak semua gubuk hanya beberapa. Dari 5 gubuk yang telah kutemui, 3 di antaranya berturut-turut hanya tersisa satu lantai, lantai lain nya hangus.
Ketika nanti berhasil kembali, aku akan beritahukan hal ini pada polisi begitupun dengan hal Larek.
Baru saja aku ingin menunduk dan menyentuh air sungainya, seseorang menarik badanku dengan cepat beralih menuju ke belakan pohon yang ditutupi oleh semak-semak belukar. Karena tarikannya yang cukup keras, aku jadi tidak bisa menahan tanganku agar tidak terkena semaknya. Alhasil aku merasakan seluruh lengan kiriku terasa perih. Aku membuka mataku ketika merasa aku sudah tidak berada dalam massa tarikan. Aku tadi menutup mataku karena sebuah spontan. Aku cukup kaget dengan orang yang berada di depanku sekarang. “Stela? “ tanyaku pelan. Stela lalu menutup mulutku, tubuhnya menutupi pandangan mataku, apa dia sengaja?
“Sst! Jangan bicara.” ucapnya sangat pelan. Aku terdiam menuruti permintaannya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian, aku mendengar suara beberapa langkah orang dan mendengar suara mereka. Jantungku berdetak sangat cepat karena aku mengenal suara salah satu dari mereka. Tanganku kemudian menjadi sedikit bergetar, Stela melihatku bingung, dia sedikit terkejut. Suara langkah dan bunyi mereka telah menjauh bahkan menghilang, Stela melepas bekapan tangan kanannya dari mulutku, lalu aku tiba-tiba terjatuh karena kakiku sangat lemas. Stela mengikuti posisiku dan memegang kedua pundakku.
“Kamu nggak apa?” tanyanya. Aku hanya mengangguk pelan. “Tadi kakiku seperti keram saja, kamu nggak perlu khawatir.” Aku memegang pohon kuat dan berusaha berdiri. Dia juga membantuku dengan memegang tanganku. Aku baru menyadari bahwa lengan kiriku terbeset sangat banyak karena terkena semak belukar membuatnya menjadi terlihat seperti luka sayatan. Tadi terasa sangat perih namun nyatanya sekarang sudah lumayan walau masih mengeluarkan darah. Aku sudah menggulung kemejaku pada bagian lengan karena ingin wudhu, jika belum mungkin hanya terbeset sedikit. “Maafkan aku, itu pasti karena aku tadi menarikmu.” “Sudahlah, nggak apa. Dibanding kaget karena terluka, aku lebih kaget denganmu yang mengucapkan kata maaf.” aku beralih untuk keluar dari tempat persembunyian tadi dan mengambil air wudhu. “Tentu saja aku bisa mengucapkan kata maaf, kamu pikir aku orang yang seperti apa? Bukankah kamu seharusnya berterima kasih padaku?” celetohnya saat aku sedang mengambil air wudhu. Aku menghela napas dan menatapnya setelah selesai. “Tentu saja, Stela, terima kasih.” aku tersenyum tipis. Dia juga ikut mengambil wudhu, kami lalu beribadah secara brgantian. Kami duduk beriringan. Aku tidak bisa mencari topik pada orang yang telah menolak topikku berkali-kali saat itu. Aku tidak pernah berpikir bisa bertemu dengannya di saat seperti ini yang mengharuskan kami berdua untuk sering berkomunikasi.
“Kamu keberatan, bila aku mengobati lukanya?” tanya Stela tiba-tiba. Aku hanya menggeleng. Dia lalu mengeluarkan obat merah dan perban, semuanya mempunyai persiapan yang keren. Aku seharusnya mengikuti mereka. Stela mengobati lukaku. Jadi terasa lebih nyaman karena sudah di perban, aku takut jika tidak diobati akan menjadi infeksi.
“Kamu kenal siapa mereka, Laurent?” tanya Stela kemudian. Aku menoleh padanya, “ya, kenal. Tapi bukan kenal baik. If you know what I mean. “ aku berkata dengan nada datar.
“Semoga saja kamu nggak bertemu dengan mereka lagi. Kamu memang sendiri dari awal?”
“Nggak, aku bersama Clarice, kita berakhir terpisah. Bagaimana denganmu?” “Sama denganmu. Aku dan Jasmine juga berpisah.” Stela menyunggingkan senyumannya. Baru kali ini aku melihat dia yang tersenyum seperti itu, terasa cukup murni dan tidak dibuat-dibuat. Aku hanya membalasnya dengan senyum biasa, sudah lama tidak tersenyum padanya karena aku kesal dengannya saat masa lalu. Aku berharap sekarang dia bisa berubah, tapi bagaimanapun, aku tidak bisa berharap secepat itu. Aku juga harusnya tidak usah berharap Clarice kembali padaku dengan apa yang telah dia lalukan tadi. Aku tetap tidak bisa mempercayai Stela, walau sekarang aku merasa sangat aman berada di sebelahnya.
Aku dan Stela pernah berteman saat tahun ajaran baru. Aku yang lebih dahulu mendekatinya, namun dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berteman denganku. Hanya aku yang bercerita, dia tidak sama sekali, dia juga bukan pendengar yang baik jika dibandingkan dengan Clarice. Wajahnya memang cantik, tetapi tidak bisa dibuat untuk memikat hati lelaki, yang bisa terpikat dengan nya hanya laki-laki yang serius. Begitupun dengannya yang terus-terusan berkutat dengan rumus matematika. Dia peringkat 3 di kelasku. Hebat dalam matematika, Juli peringkat 2, jago ipa dan sosiologi, lalu aku yang jago dalam bahasa Inggris, Seni Lukis, dan sejarah, namun payah dalam matematika. Aku sesekali bisa menjawab soal, aku cukup bagus, tapi untuk menghitung rumus aku kalah dengan mereka. Mereka jago dalam bidang IPA, kenapa memilih masuk IPS? Isi kepala seseorang memang tidak ada yang bisa menebak.
“Mau lanjut jalan? Kamu bisa jalan’kan? Mau kupapah?” Stela berdiri terlebih dahulu seraya membersihkan jeansnya. Dia bertanya sekaligus, dasar. “Aku bisa jalan, kamu nggak perlu memapahku.” aku ikut berdiri dan ikut membersihkan jeansku juga.
“Bisakah kamu senyum sedikit saja?” tanya Stela, wajahnya kelihatan sebal. “Tadi, kan sudah?” lirikku sedikit padanya. Lalu jalan terlebih dahulu tanpa mengajaknya.
“Huh, dasar culas.” aku tetap diam dan tidak menghiraukan ucapannya. Aku hanya melakukan seperti apa yang dia lakukan dulu terhadapku. Tentu ini tidak salah, bukan?
Kami berjalan tanpa mengbrol sepatah katapun. Hanya ada keheningan, disertai suara jangkrik tadi yang masih terus berbunyi dan tetap tidak menapakkan batang hidungnya. Aku melihat jam tanganku, pukul 2 tepat. Aku berharap bisa cepat selamat. Matahari juga bersinar sangat terang sekali, bila tidak tersesat, jadwal saat ini adalah memancing di sungai. Hah.. benar-benar menyebalkan. Kuningan, seharusnya aku merasa sejuk di kota ini, beberapa kali aku kemari aku merasakan kesejukannya, namun ternyata saat ini tidak seindah review pengguna google. Selangkah demi selangkah, kakiku menghasilkan suara renyah dari daun-daun kering yang kuinjak. Membuat suara jangkrik bukan satu-satunya yang mendominasi disini.
Aku seketika memegang pakaianku, kemeja bergaris-garis hitam dengan latar belakang putih yang awalnya sangat rapih sekarang sangat berantakan sekali. Yang masih bagus adalah kaos hitam polos dalaman kemeja yang kujadikan jas. Aku menyayangi kemeja ini, sangat, ini dibelikan Ayah. Aku akan selamat, begitu juga dengan kemejaku.
Stela berhenti melangkah, membuatku jadi berhenti melangkah juga. Dia terlihat sedang memperhatikan sebuah gubuk kecil yang terlihat sedikit berbeda dengan gubuk yang sebelumnya. Gubuk itu berada di sisi kanan jalan kami. Aku jadi ikut memperhatikan dengan seksama untuk mencari perbedaannya. Stela lalu berjalan menuju gubuk itu, aku seketika memegang tangan Stela. “Mau kemana?” tanyaku tetap menahan tangannya. Stela menoleh padaku bingung, “gubuk itu berbeda dari yang lain, lampunya menyala, mungkin saja ada orang disana yang perlu bantuan kita.” aku kembali melihat gubuknya, benar, lampunya menyala. Tapi hal aneh bila lampu bisa menyala dalam situasi yang minim akan tenaga listrik walau memang terlihat remang-remang, dan aku tetap tidak setuju dengan keputusannya.
“Kita lanjut jalan saja, bisa saja itu jebakan.” Stela kemudian melepas tangannya kasar. “Jangan karena kamu sudah aman, kamu nggak ingin membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan karena takut diri kamu dalam bahaya. Ingat, kamu mungkin nggak bisa selamat kalau nggak ditolong olehku. Jika nggak ingin ikut, tunggulah disini.” Stela lalu melangkah pergi. Dia ini.. benar-benar keras kepala sekali, Ya Tuhan! Kenapa dari banyaknya siswa-siswi kelasku, aku harus dipertemukan dengannya? Alasan apa yang Tuhan punya sampai harus mempertemukan ku dengan Stela?
Aku menghela napas kasar dan mengikutinya pergi ke gubuk tersebut. “Jangan buka pintunya, lihat jendela saja, kalau kamu buka, kupukul.” Ujarku, jika dia tidak menuruti, aku benar akan menjitak kepalanya. Di luar dugaan, dia hanya mengangguk. Aneh sekali. Aku ikut melihat jendela yang terletak di sebelah kiri pintu karena jendela sebelah kanan tertutup tirai lapuk. Sementara Stela melihat-lihat gagang pintu, entah kenapa dia memperhatikan itu. Aku melihat ke dalam gubuk lewat jendela. Awalnya aku tidak melihat apa-apa, sehingga ingin memutuskan agar pergi saja, namun atensiku teralihkan oleh suatu bayangan seorang manusia. Tidak salah lagi di dalam ada manusia. Aku bergabung pada Stela dan mengetuk pintunya. “Ada orang di dalam?” tanyaku sekaligus membuat Stela cukup terkejut.
“Ada! Tolong aku!” aku dan Stela seketika bertatapan. Kami sangat kaget. Terlebih lagi, aku mengenal suaranya.
“Chasel itu kamu?” tanyaku. Dia tidak kunjung menjawab. Apa aku salah ya? Aku mulai membuka gagang pintunya. Namun sepertinya pintu ini terkunci. “Stela, bantu aku.” Pintaku. Stela langsung membantuku untuk membuka pintu. “Semangat sekali? Bukankah tadi kamu bilang akan memukulku bila aku membuka pintu, gantian, ya berarti? “ tanyanya seraya ikut menarik gagang pintu dengan kuat. “Bukan waktunya untuk bercanda.” balasku. Stela hanya menjawab ya dua kali. Kami terdiam ketika melihat gagang pintu nya yang malah copot.
“Geez…gimana ini, jadinya?” timpal Stela. “Kudobrak.” balasku.
“Siapapun di dalam sana, jangan berdiri tepat di depan pintu, ya, geser ke ujung.” Teriakku cukup keras. Aku mulai mendobrak pintunya, aku memang tidak cukup kuat, tapi aku berusaha semaksimal mungkin, karena aku merasa orang yang di dalam sana adalah teman kelasku. Aku jarang olahraga, karena itu tidak cukup kuat. “Kamu nggak membantuku?” tanya pada Stela. “Nggak ah, silahkan berjuang.” dasar kurang ajar! Bisa-bisanya dia.. aku mulai berjalan cukup jauh dari pintu gubuk itu, aku berencana untuk lari agar gebrakannya cukup keras. Stela menutup matanya, katanya dia tidak ingin melihat kegagalanku, menyebalkan sekali memang. Aku mulai berlari dengan keras, dan mendobrak pintunya, pintunya memang terbuka, tapi aku kehilangan keseimbangan karena merasa pusing menabrak pintu yang keras. Orang tersebut menangkapku, netra kami bertatapan. Sudah kuduga! “Lho, Laurent?!” “Chasel!”
Please support this story guys ♡
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Accident
Mystery / Thriller💡Cerita ini ditulis pada tahun 2022 Suatu kejadian dapat menghasilkan suatu dampak yang positif dan negatif, tetapi apakah kamu pernah mendapati sebuah kejadian yang malah membuka pintu pertama kebenaran akan kejadian-kejadian yang telah berlalu? ...