The footprints we left behind
I turned around
And it disappeared without a sound2024
Ryu Sunjae menatap figur itu lekat, seolah tak mau terlewat meski hanya sepersekian detik. Sunjae menyadari Ia tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Rambut tebalnya yang cantik, dulu sering dibiarkannya tergerai jatuh hingga ke punggung, kini diikat asal-asalan, tampak berantakan. Wajahnya yang cantik semakin tirus dan pucat, matanya terlihat lelah.
Sejauh yang Sunjae ingat, wanita itu merupakan salah satu pemilik sepasang mata tercantik di yang pernah Sunjae temukan. Bukan karena bentuk maupun irisnya, melainkan sorot yang menakjubkan yang menyandera Sunjae sejak pertama kali bertatapan dengannya. Cahayanya seperti matahari di musim semi: begitu cerah, hangat, dan meski terkadang menyilaukan, pesonanya tidak menghilang.
Ia mudah tertawa, semudah Ia menebarkan tawa. Keberadaannya seperti magnet yang membuat siapapun mudah dekat dengannya. Ia selalu tahu apa yang diinginkannya. Namun, meski Ia terlihat kuat dari luar, wanita itu punya sisi rapuh juga.
Sunjae pernah berpikir bahwa tak ada orang lain yang mengetahui sisi rapuh perempuan itu sebaik dirinya. Tidak, tidak hanya sisi rapuhnya. Ryu Sunjae tahu semangatnya, kekhawatirannya, dan segala impian-impiannya. Sunjae bahkan pernah berpikir tak ada ornag lain yang mengenal gadis itu sebanyak dirinya. Semuanya sebelum Sunjae sadar kalau pikiran itu hanya delusinya semata.
Meski secara fisik Ia tak berubah banyak, tapi entah kenapa Sunjae seperti melihat orang yang berbeda. Enam tahun yang lalu, kapanpun Ia melihat wanita itu, Ia akan segera menghambur ke arahnya, seperti golden retriever yang mendatangi majikannya. Saat ini, semua terasa berbeda.
Waktu adalah konsep yang aneh, terkadang menggembirakan, terkadang menakutkan. Entah bagaimana waktu selalu punya caranya sendiri; waktu dapat memberikan hal-hal indah yang tak pernah disangka layaknya hadiah, di saat yang lain, waktu juga bisa mengambil hal-hal yang kita pikir sudah jadi milik kita selamanya.
Lihatlah dirinya sekarang, berusaha mati-matian menahan diri untuk tak mendekati dan sekedar menanyakan kabar pada gadis yang pernah jadi pusat dunianya.
"Ryu Sunjae-ssi," lamunannya tiba-tiba buyar seiring dengan panggilan asisten sutradara yang berjalan ke arahnya. "Silahkan kemari,"
Tanpa menjawab, Sunjae mengikuti langkah staf tersebut, berjalan ke arah kursi stand by bertuliskan namanya. Sesampainya di kursi tersebut, Sunjae mengangguk kecil dan mengucapkan terima kasih. Staf tersebut menawarkan jika ada yang Sunjae butuhkan saat ini, yang dijawab Sunjae dengan gelengan kecil. Hingga Ia duduk, matanya tak kunjung lepas dari wanita itu. Tak lama kemudian, para makeup artist menghampiri dan mulai merias wajahnya. Namun, pikiran Sunjae tak bisa tidak kemana-mana.
Apa yang sebenarnya dilakukan perempuan itu di sini? Di antara tempat lainnya di seluruh kota Seoul, tidak, di seluruh Korea, kenapa dia ada di sini?
Namun jika diingat-ingat, skenario seperti ini memang sangat dirinya. Datang tiba-tiba, pergi juga tiba-tiba. Datang dan pergi sesuka hati, tanpa peduli apa yang sudah Ia lakukan padanya. Seperti fox rain, hujan musim panas yang tiba-tiba datang, membasahi segalanya, lalu reda dalam hitungan menit saja.
"Hyein nuna," sang makeup artist menghentikan aktivitasnya ketika Sunjae bergumam memanggilnya. Kehadiran perempuan itu membuat Sunjae semakin gusar. "Dia siapa?"
Sunjae menunjuk ke arah wanita itu dengan dagunya. Tentu Ia sudah tahu namanya, atau siapa dirinya, yang belum diketahuinya adalah kenapa dia, ada di tempat ini, di waktu ini. Di sebuah halte bus random di kota Suwon, jam dua dini hari. Di lokasi tempat aktor Ryu Sunjae seharusnya mengambil scene pertama dari drama yang akan dibintanginya di musim gugur tahun ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fox Rain
FanfictionHasil debut yang kurang sukses sebagai idol memaksa Ryu Sunjae untuk menjajaki dunia akting. Di sanalah Ia bertemu dengan Im Sol, seorang pemeran figuran penuh potensi, dan langsung jatuh hati padanya. Namun, seperti kedatangannya yang tiba-tiba, Im...