11 - Bayang-bayang Kebenaran

73 15 0
                                    

Malam yang semakin larut tidak menyurutkan ketegangan yang terasa di ruang kerja Cakra. Ketukan pintu tidak terdengar, hanya suara pintu yang dibuka dengan kasar mendadak memecah keheningan.

"Cklek!"

Cakra, yang sedang menunduk memeriksa laporan, langsung terperanjat. Tatapannya beralih pada dua sosok yang berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Cakra? Apa terjadi sesuatu dengan Luna?" tanya Revan dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Bagaimana keadaan Aluna?" Ara menimpali, suaranya cepat, hampir menyerbu.

Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam intensitas yang tiba-tiba memuncak. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar keduanya tenang. "Tenanglah, duduk dulu."

Namun, Revan tak sabar. "Katakan, Cakra!" desaknya keras.

"Sabar, Van," ujar Cakra dengan nada yang dibuat tenang namun tetap tegas.

Setelah memastikan keduanya duduk, Cakra mulai berbicara. "Gw akan ceritakan apa yang terjadi pada Aluna. Tapi, sebelum itu, tolong kontrol tatapan kalian yang kayak mau makan gw," ujarnya dengan nada setengah bercanda, berusaha mencairkan suasana.

Ara memutar bola matanya, sementara Revan bersedekap, mencoba menahan diri. "Udah, buruan, Cakra," desak Ara.

"Iya, iya. Jadi tadi siang..."

Cakra mulai menceritakan segalanya-kedatangan orang tua Aluna, kemarahan mereka, ketakutan yang jelas terlihat di wajah Aluna, hingga upayanya untuk melindungi gadis itu dari tekanan yang terus menghantuinya. Kata demi kata mengalir, membuat Ara dan Revan terpaku, tak satu pun menyela.

Setelah cerita selesai, Cakra menghela napas lagi. Ia memandang Ara dengan tatapan serius. "Ara, satu hal yang pengen gw tanyain ke lo. Selama ini, apakah Aluna pernah mendapatkan tindakan buruk dari orang tuanya?"

Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar. Ara membeku, pikirannya melayang jauh ke masa lalu, mencoba mengumpulkan setiap potongan memori yang mungkin relevan.

"Ara," Cakra memanggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih lembut. "Ceritakan semua yang lo tahu tentang Aluna. Semuanya."

Ara menatap Cakra, ragu-ragu. Namun, akhirnya ia menghela napas panjang. "Tindakan buruk dari orang tua Aluna? Itu rasanya nggak mungkin, Cakra. Orang tua Aluna sangat menyayangi dia."

Cakra menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya meminta Ara melanjutkan.

"Aluna itu dua bersaudara. Dia punya seorang abang, dan mereka sangat dekat. Seperti kakak-adik yang ideal. Orang tua mereka juga dikenal sebagai keluarga paling harmonis di daerah gw dulu. Gw udah bersahabat sama Aluna sejak kecil karena orang tua kami juga bersahabat. Gw nggak pernah sekalipun lihat dia menangis atau sedih. Dia selalu ceria."

"Lalu kenapa Aluna sangat ketakutan saat tahu orang tuanya datang?" tanya Revan, matanya menatap Ara penuh rasa ingin tahu.

Cakra terdiam. Pertanyaan itu bergema dalam pikirannya, membawa ingatannya ke tatapan panik Aluna siang tadi.

Namun, suara Ara kembali terdengar, kali ini lebih pelan. "Tapi, Cakra..."

Cakra menoleh, fokus pada Ara yang tampak merenung.

"Gw baru inget... Aluna itu selalu pake jaket atau baju lengan panjang. Bahkan pas cuaca panas sekalipun. Setiap gw tanya, dia cuma bilang dia alergi." Ara terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam.

"Lalu?" desak Cakra, nadanya berubah lebih serius.

"Gw pernah nggak sengaja lihat tangannya waktu dia mau ambil wudhu. Waktu itu dia nggak pake jaket. Tangannya penuh luka, Cakra. Luka-luka kayak sayatan."

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang