13. Terungkap

249 35 0
                                    

Jam dinding di ruang kerja Cakra menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana rumah sakit mulai hening, hanya suara jarum jam yang terdengar. Cakra masih sibuk dengan tumpukan laporan medis yang belum selesai. Pena di tangannya bergerak cepat, mencatat detail yang penting.

Tiba-tiba, suara gedoran pintu memecah konsentrasinya.

Tok tok tok!

Cakra berhenti menulis, mengernyit heran. Siapa yang datang malam-malam begini? Ia segera berdiri dan membuka pintu.

Betapa terkejutnya ia saat melihat Andini, ibu Aluna, berdiri di depan pintu dengan wajah pucat dan penuh ketakutan. Matanya terus melirik ke belakang, seakan memastikan tidak ada yang mengikutinya.

"Tan-"

"Nak, kita bicarakan di dalam, bisa?" potong Andini cepat, suaranya bergetar.

Cakra mengerutkan kening, bingung melihat wanita itu.
"Tante, ada apa? Apa yang terjadi?"

"Tante mohon. Ini penting. Tentang Aluna."

Cakra tidak membantah lagi.
"Baiklah, mari masuk, Tante," ucapnya sambil membuka pintu lebih lebar.

Di Dalam Ruangan

Setelah masuk, Andini duduk di kursi tamu, terlihat gemetar. Tubuhnya basah oleh keringat, seolah baru saja lari maraton. Cakra memperhatikannya dengan cemas.

"Tante, silakan minum dulu," kata Cakra sambil menyodorkan segelas air putih.

Andini menerimanya dengan tangan bergetar. "Terima kasih, Nak."

Cakra duduk di depannya, matanya penuh tanya. "Bisa Tante ceritakan, ada apa sebenarnya?"

Andini meneguk air dengan cepat, lalu menatap Cakra dengan sorot mata penuh kepanikan.
"Nak, Tante ingin meminta bantuanmu," katanya lirih.

"Tentu, Tante. Apa yang bisa saya bantu?"

"Lindungi Aluna."

Cakra terdiam sejenak, bingung dengan permintaan itu. "Maksud Tante, Aluna kenapa?"

Andini meremas gelas di tangannya, bibirnya bergetar. "Nyawa Aluna dalam bahaya, Nak. Dia... dia terancam."

Kata-kata itu membuat Cakra tersentak. "Apa maksud Tante? Siapa yang mengancam Aluna?"

Andini menggeleng, suaranya bergetar. "Tante tidak bisa menjelaskan panjang lebar. Tante hanya bisa bilang... tolong lindungi dia. Tante mohon."

Cakra menatap Andini dengan serius. "Tante, saya butuh penjelasan. Kalau Aluna memang dalam bahaya, saya harus tahu siapa yang menjadi ancaman."

Andini berdiri tergesa-gesa, mengambil tasnya. "Tante harus pergi sekarang. Waktu Tante tidak banyak."

"Tunggu, Tante." Cakra ikut berdiri, mencoba menghentikannya. "Tante boleh pergi setelah Tante memberi tahu saya. Dari siapa saya harus melindungi Aluna?"

Andini membeku di tempat, punggungnya bergetar. Ia menoleh perlahan, menatap Cakra dengan mata penuh rasa takut.
"Tante tidak bisa, Nak. Maaf, Tante harus pergi."

"Tidak, Tante." Cakra berdiri di hadapannya, mencoba mencegahnya keluar. "Maaf jika ini terdengar tidak sopan. Tapi saya harus tahu. Saya harus tahu siapa yang menjadi ancaman bagi Aluna."

Andini terdiam beberapa saat, mengambil napas panjang. Suaranya hampir tak terdengar saat akhirnya ia berkata, "Suami Tante... ayah kandung Aluna."

Cakra terdiam. Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar di tengah malam.

Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Andini bergegas pergi, meninggalkan Cakra yang terpaku di tempatnya. Ruangan itu kembali sunyi, tapi di dalam kepala Cakra, ribuan pikiran mulai berkecamuk.

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang