09 - Kunjungan

489 47 5
                                        


Di suatu tempat yang gelap dan sunyi, hanya lampu redup di sudut ruangan yang memberikan sedikit cahaya, memantulkan bayangan samar di dinding. Aroma kopi yang baru saja diseduh menguar, tapi atmosfernya jauh dari nyaman. 

Seorang pria duduk di sofa kulit hitam, jemarinya melingkari cangkir kopi hangat. Matanya tajam menatap cairan gelap di dalamnya seolah merenungkan sesuatu yang dalam. 

Langkah halus seorang wanita terdengar mendekat. Dengan hati-hati, ia berdiri di hadapan pria itu. 

“Bagaimana?” tanya pria itu, suaranya dingin, nyaris seperti bisikan. 

Wanita itu menegakkan tubuh, mencoba menyembunyikan rasa gugup. “Tidak berubah,” jawabnya singkat, yakin. 

Pria itu mendongak perlahan, matanya seperti pisau yang menembus ketenangan wanita di depannya. “Kamu yakin?” tanyanya, nadanya datar tapi penuh tekanan. 

“Tentu.” 

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Namun, ketegangan itu pecah seketika. Pria itu berdiri dengan gerakan cepat, membuat kopi di tangannya berguncang. Tanpa ragu, ia melemparkan cangkir itu ke lantai. 

Prang!

Pecahan cangkir berserakan di lantai, bercampur dengan noda kopi yang mengalir. Wanita itu terperanjat, melangkah mundur dengan napas tertahan. 

“Bodoh!” suara pria itu menggelegar, membuat suasana semakin mencekam. 

Wanita itu hanya bisa menunduk, tidak berani menatap langsung. 

Pria itu memasukkan tangan ke sakunya, mengeluarkan selembar foto lusuh, lalu melemparkannya ke meja di antara mereka. “Kamu bilang tetap sama? Lalu ini apa?” 

Wanita itu melirik foto itu, dan matanya membelalak. Wajah yang dikenalnya tergambar jelas, tersenyum santai di antara orang-orang asing. 

“T-tapi, aku sudah memeriksa semuanya!” Wanita itu tergagap, mencoba membela diri. 

Pria itu menatapnya tajam, amarah masih membara di matanya. “Jika dia tetap sama, dia tidak akan mudah bergaul dengan orang lain!” bentaknya. 

Wanita itu gemetar, lalu menunduk dalam-dalam. “Maaf… aku minta maaf. Aku ceroboh,” bisiknya penuh penyesalan. 

Pria itu menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kita akan kembali,” ucapnya tiba-tiba. 

Wanita itu mendongak, menatap pria itu dengan tatapan bingung. “Sekarang?” 

“Saat ini juga,” tegasnya. 

“Tapi kenapa? Biasanya kita bisa membereskannya dari sini...” suaranya memelan, takut memancing emosi lebih jauh. 

Pria itu menggeleng, melangkah pelan mengitari ruangan. Pandangannya terfokus pada foto di tangannya, seringai kecil menghiasi wajahnya. 

“Kali ini tidak semudah itu,” gumamnya, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. 

Pria itu berhenti melangkah, seringainya semakin lebar. “Cakrawala.Rony.Nainggolan,” ucapnya perlahan, seolah menikmati setiap huruf yang ia ucapkan. 

Wanita itu hanya bisa menatapnya dengan cemas. Ia tahu, kali ini permainan mereka akan menjadi lebih besar—dan jauh lebih berbahaya. 

***

Di Rumah Sakit


Revan berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan ponsel menempel di telinganya. 

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang