September Ceria adalah namaku. Diberikan karena kelahiranku membawa keceriaan bagi kedua orang tua juga karena keduanya menyukai lagu yang pernah dibawakan oleh Vina Panduwinata itu.
Keceriaan yang berlangsung terus menerus sampai akhirnya terjeda ketika orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Ketika itu, saat usiaku tujuh tahun.
Papah memilih menetap di kota sementara Mamah kembali ke rumah orang tuanya di Ngadas Malang Jawa Timur. Keceriaanku tertimbun dengan rasa rindu yang terlalu berat dan berjejak. Meski Opah dan Omah menggantinya dengan begitu banyak hal yang membuat ceriaku tetap utuh. Kakek Nenek dari Ayah yang sering mengunjungi juga mengajakku untuk menginap di tempat mereka. Tetap saja, perceraian telah membuat hati berlubang.
Aku kehilangan Papah, juga teman temanku di kota. Kak Randy salah satunya. Pemuda yang selalu membuatku tertawa dan menjadi sahabat karibku di sekolah. Kakak kelas yang selalu melindungi dan menemani. Berangkat dan pulang sekolah, selalu bersamanya. Setiap akhir pekan, tak sungkan dia main ke rumahku begitu pula aku. Ibunya baik, penyayang. Kami sempat dikira adik kakak, tapi aku menolak.
"Lalu kamu maunya jadi apa Cer?"
"Istri!"
Semua orang terbahak, sebagian mengamini jawabanku yang terlalu polos itu. Dan sekarang dirinya hanya bayang bayang yang paling sering kutangisi setiap melangkah ke sekolah baru di Malang.
Kehilangan Papah dan Randy, telah meruntuhkan sebagian kekuatanku. Ceria hanya tinggal nama, setelah Mamah membawaku ke Desa Ngadas. Aku nyaris tak mampu memaknai apa arti Ceria.
Belum lagi kebencian Mamah pada Papah yang membuatnya enggan menceritakan kabar lelaki berbahu bidang itu lagi padaku.
"Papah lagi apa ya Mah?"
"Sudah malam tidur Ya." Dia mengusap kepalaku.
"Ceri, rindu Papah," kataku. Mamah hanya menunduk, tersenyum kemudian mengecup keningku.
"Papah rindu Ceri enggak Mah?"
Dia diam.
"Rindu Ceri akan terganti dengan kasih sayang Omah, Opah dan Mamah," katanya. Matanya berkaca. Setelahnya dia memelukku erat erat dan aku terlelap kemudian.
Aku tak paham, mengapa orang tua begitu egois berpisah tanpa memikirkan perasaan anaknya. Namun, aku juga tak ingin memaksa Mamah untuk kembali pada Papah. Kenyataannya, air mata Mamah terlihat lebih banyak dariku. Dia sering tersedu menjelang tidur, senja, sehabis salat dan banyak lagi. Luka Mamah sepertinya sangat dalam, dan aku tak pernah tahu dan tak mau tahu agar aku tak terluka sepertinya.
"Papahmu sudah bahagia dengan keluarga barunya," kata Omah. "Jangan tanya Mamahmu terus menerus soal Papah ya," tambahnya lagi aku ikut bersedih.
Mendengar itu aku menangis seharian, tak henti dan tak kunjung kering air mata karena membayangkan Papah bersama keluarga barunya. Karena lamunanku itu pula, aku menjadi sering diam
Kesedihan berlangsung pulih, seiring berjalannya waktu. Rinduku pada Papah akhirnya terobati, dengan segenap aktivitasku. Opah adalah pengendara Jeep handal yang kebetulan memiliki dua buah jeep untuk dia sewakan. Sementara Mamah dan Omah, memiliiki usaha dibidang pertanian khususnya kentang. Mamah dan Omah membeli hasil tani kemudian menjualnya kembali.
Sesekali aku ikut Opah ke Gunung Bromo, mengikuti tapak tilas para pendaki dan menikmati keindahan sang Adi Karya. Hal yang paling kusyukuri dari tempat ini adalah, setidaknya aku bisa melihat keindahan sang surya terbit dari ufuk timur di Gunung Bromo secara perlahan. Paduan warna kuning, oranye, hitam dan biru yang dihasilkan oleh fenomena alam, sungguh menjadi pemandangan menarik yang membuat siapapun cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER CERIA
Teen FictionSeptember Ceria adalah sebuah nama yang diberikan pada gadis periang asal kaki bukit bromo ini. Perpisahan orang tua membuat gadis bernama Ceria itu tak lagi seceria namanya. Terlebih saat Ibunya meninggal. Ceria harus siap hidup bersama keluarga ba...