SEPTEMBER CERIA

PUPUS

Aku pernah bertanya kepada Mas Adya, bagaimana ia bisa mengetahui banyak hal, menyikapi bijaksana setiap persoalan, apakah karena volume otaknya lebih besar dari pada manusia umumnya atau karena dia lebih dewasa dariku. Atau jangan jangan, Mas Adya ini anaknya professor? Keturunan orang orang pintar?

Dia tergelak-gelak mendengar pertanyaanku, sambil tertawa ia menjawab, “Ya jelas karena aku lebih dulu lahir dari kamu, aku lebih dulu mengenal manusia ketimbang kamu.”

“Waktu aku lahir, usia Mas Adya …." Dia tertawa lagi.

“Waktu kamu lahir aku masih ikut kejuaraan sepak bola junior.”

“Oh ya!” seruku. Dia tertawa lagi.

“Mas Adya kenapa tertawa terus sih setiap aku bicara?”

“Ada yang pernah bilang enggak ke kamu, kalo kamu saat cemberut, atau saat memburu pertanyaan begini terlihat lucu.”

Aku menggeleng. Dia tertawa lagi.

“Mas Adya pernah ke Jakarta?” tanyaku.

Dia diam, “Hmmp … pernah.”

“Ooh, cari kerja di Jakarta aja Mas.”

“Kenapa?”

Aku tersenyum.

“Tuh kan manis.”

“Apa sih Mas Adya."

“Kamu cemberut aja manis apalagi senyumnya. Jadi memangnya kenapa aku harus kerja di Jakarta?"

“Yaa … biar bisa ketemu sama aku.”

Dia terbahak.

“Yang ada kamu mau ketemu, mas.”

Giliran aku yang tertawa. “Iya iya.”

“Cari kerjaan susah sekarang.”

“Gimana kalo Ceri tanyakan Papah, siapa tahu Mas Adya bisa ngelamar. Mas Adya lulusan apa? SMP? SMA? D3? Atau S1?”

“Memangnya kalo aku lulusan SMP kamu mau?”

Dahiku mengernyit. “Ya maulah, kenapa enggak?" jawabku heran.

“Serius.”

“Iya!”

“Ya udah besok Mas Adya melamar kamu ke Papahmu.”

Aku tergelak, dia ikut terbahak bahak. “Bukan ngelamar aku!” 

“Loh terus apa?”

“Kerjaan!” Dia makin tertawa. 

Sifat humorisnya seperti superhero bagiku yang kerap kali membuatku terbang ke angkasa. Bersamanya aku benar benar merasa menjadi manusia yang bisa tertawa dengan mengeluarkan air mata saking gelinya. 

“Oh ya, mas Adya besok mau ke Surabaya.”

Aku langsung cemberut.