Part-2
Mendadak aku rindu melihat senja memerah di Bukit Bromo, keindahannya menunjukkan ketulusan yang tak ditutupi.
Tak seperti kehidupan di kota, yang semuanya serba tertutup. Seperti keadaanku setelah seminggu berada di kediaman Papah.
Mamah Ratu, Adrian, dan Maudy nyaris hanya menghabiskan waktu mereka di kamar. Gadget menjadi teman dekat mereka. Sementara aku mendadak kehilangan sesuatu yang sangat berarti dari Bromo. Kehangatan.
Semuanya hanya berkumpul, ketika Papah kembali dari bekerja. Lelaki yang katanya matanya mirip denganku itu, akan duduk di kursi meja makan paling tengah dan terdepan, aku di samping kanannya bersama Adrian di sampingku di seberangku Mamah Ratu dan Maudy.
“Bagaimana harimu Nak?” tanya Papah padaku. Aku tersenyum.
“Menyenangkan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Yang lain juga ditanya dong Mas, yang lain kan juga anak anak kamu,” sahut Mamah Ratu sambil menyendokkan nasi ke piring Papah.
“Yang lain kan sudah sering Papah tanya,” jawab Papah seraya mengusap punggung tanganku.
“Oh ya, kamu rencana mau ambil kuliah jurusan apa?”
“Maudy ingin ambil jurusan Hukum,” sahut Mamah Ratu kembali.
“Kamu apa sayang?” tanya Papah.
Benar benar sebuah kebetulan, aku sama sekali tak menyangka jika Maudy memiliki keinginan yang sama denganku. Hukum. Sejak lama, aku memang ingin mengambil jurusan itu. Meski alasan sebenarnya bukan karena aku merasa mampu dan menyukainya. Ada alasan lain yang membuatku ingin mengambil Hukum. Kak Randy.
“Kedokteran? Atau apa?”
“Hu-hukum,” jawabku gugup.
“Kebetulan kalo begitu, kalian satu kampus saja!” usul Mamah Ratu.
“Tapi Maudy diterima di Universitas Indonesia,” sambung wanita itu lagi. “Kamu memangnya bisa kuliah di UI?”
Aku menggeleng.
“Oooh sayang, enggak bisa bareng kok.”
“Enggak apa apa. Trisaksi, Binus juga bagus, atau kamu mau kuliah di Luar Negeri?” bujuk Papah. Aku diam pucat.
Wajahku sedikit menoleh ke Maudy dia langsung membuang wajahnya.
“Aku tak sepintar itu Pah untuk kuliah di Luar. Nilaiku agak kurang.”
“Hukum itu harus berpikir kritis, kamu yakin bisa?” Mamah Ratu meragukan.
“Sebenarnya ….”
“Ceri sekolah di pedalaman, jarak sekolah dari rumahnya itu cukup jauh. Fasilitas sekolahnya juga kurang memadai, beda dengan sekolah di kota. Jadi bukan tentang bisa atau tidak Ceri berpikir kritis, hanya kesempatan yang belum bisa dia dapatkan!” Tegas Papah.
“Ceri kuliah di swasta saja," kataku.
“Di mana Trisakti?”
“Terserah Papah.”
“Kalo begitu Maudy juga di Trisakti juga Pah,” susul Maudy. Semua orang kemudian langsung menatapnya.
“Hmmmp … temenin Ceri,” katanya. Aku tersenyum lega, merasa yakin Maudy tidak seburuk yang kubayangkan.
“Kamu yakin? UI itu bergengsi loh Nak!” Mamah Ratu menyeru.
“Yakin Mah. Ceri kan baru di Jakarta, anak anak di Jakarta kan Mamah tahu sendiri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER CERIA
Teen FictionSeptember Ceria adalah sebuah nama yang diberikan pada gadis periang asal kaki bukit bromo ini. Perpisahan orang tua membuat gadis bernama Ceria itu tak lagi seceria namanya. Terlebih saat Ibunya meninggal. Ceria harus siap hidup bersama keluarga ba...