Lama aku hanya tertegun menunggu Papah di Parkiran, sampai lelaki yang menjadi satu satunya harapanku itu datang aku masih diam tanpa mampu mengurai kata. Papah tersenyum menyambut, membukakan pintu.
“Kok cepet?” tanyanya untuk pertama kali, aku hanya diam dan menyandarkan kepalaku di pintu mobil. Tanpa bertanya lagi, Papah langsung menyadari keadaanku dan membawaku pulang dengan terburu-buru. Aku tak ingin ada orang yang melihat air mataku jatuh, meski Papah sekali pun, aku tak mau. Setiba di rumah, tanpa banyak kata aku langsung turun dan menuju kamarku. Kususuri tangga dan kurasakan Papah termangu menatapku dari bawah.
Tiba di kamar, aku langsung naik ke ranjang dan menangis di sana. Mendadak aku ingin mengganti namaku. September Ceria sebuah nama yang cukup berat bagiku. Bagaimana aku bisa tetap ceria jika kesedihan terus menerus menimpa. Aku benar benar ingin mengubah namaku. Aku tak mau diberi nama Ceria, aku tak mau.
Jemariku erat menggenggam kain sprei, gigiku terkatup tanganku terkepal dan air mataku terjun bebas. Semilir angin dari pendingin udara di kamar membelai wajahku. Aku memejamkan mata dan sejurus kemudian ponselku berdering. Opah.
“Ceri sayaang, apa kabar?” tanyanya. Aku langsung menangis tapi tersenyum girang bahagia.
“Cucu Opah kenapa menangis?”
“Ceri kenapa?” Suara Omah terdengar di belakang.
“Kenapa Ceri, kamu enggak apa apa? Ibu tirimu berbuat macam-macam?” tanya Omah kemudian.
“Enggak Omah … semua orang baik di sini,” jawabku.
“Lalu kenapa menangis?”
“Ceri hanya kangen.”
“Jangan bohong. Omah tahu mana suara rindu sama suara sedih. Cerita sama Omah!”
“Ceri belum bisa …,” lirihku. “Kenapa sayang?”
“Besok Ceri ceritanya.”
“Ya sudah, Ceri istirahat ya. Cucu Omah enggak boleh berlarut larut dalam kesedihan. Ingat, ada Allah. Allah yang akan mengganti rasa sedih Ceri nanti. Kalo sudah tenang, Ceri ambil Wudhu terus salat.”
“Iya Omah.”
“Omah kangen sama Ceri, apa perlu Omah ke Jakarta.”
Aku diam, sangat ingin.
“Ceri baik baik aja,” balasku tak ingin merepotkan.
“Ya sudah. Istirahat ya Nak,” tambahnya.
Sepuluh menit kemudian setelah Omah menutup teleponnya. Papah meminta izin untuk masuk ke kamarku. Setelah kuizinkan dia menatap wajahku lamat lamat, sementara aku hanya bisa menunduk.
“Anak kesayangan Papah kenapa?” tanyanya.
“Gak apa apa.”
“Sayaang … kalo kamu sedang merasakan patah hati, beritahu Papah ya.”
Aku langsung menoleh.
“Patah hati? Papah pernah patah hati?”
“Pernah, sangat menyakitkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER CERIA
Teen FictionSeptember Ceria adalah sebuah nama yang diberikan pada gadis periang asal kaki bukit bromo ini. Perpisahan orang tua membuat gadis bernama Ceria itu tak lagi seceria namanya. Terlebih saat Ibunya meninggal. Ceria harus siap hidup bersama keluarga ba...