ENERGI BARU

29 8 0
                                    

Kukira perjalanan telah berakhir di sini, ternyata aku masih harus memecahkan teka teki ini. Alasan Maudy begitu membenciku tergambar jelas lewat foto foto mereka yang bisa tersenyum bebas tanpa kehadiranku. Kalau saja kupunya kata pertama untuk menyerang balik pesan Maudy saat itu pasti akan kulakukan. Tapi sayangnya, aku lebih memilih memblok nomor contactnya dan mendelete semua foto foto kirimannya ketimbang membalas pesannya. Meski hatiku tetap meradang, kecemberuanku tetap singgah, isi kepalaku penuh dengan pengkhanatan dan kebencianku terhadap Papah juga Kak Randy yang bisa tersenyum tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. 

Aku menangis, benar benar menangis. Selepas menerima pesannya aku kembali menoleh dan memandang Bromo. Sungguh berat bagiku untuk menahan air mataku siang itu. Bahkan keindahan Bromo tak lagi mampu mengukir senyumku yang nyaris pupus.

“Indah sekali ya,” kata lelaki yang sejak tadi bersamaku. Mas Adya. Dia bersandar di pagar penyangga kemudian memundurkan kepalanya agar bisa menatapku yang malu bersipandang dengannya. 

“Menangis?” tanyanya. Bergegas aku mengusap wajahku. Dia tersenyum lalu tertawa tipis seraya mengeluarkan sapu tangan di jas hitam yang dia kenakan siang itu. 

“Ini,” katanya.

“Terima kasih,” balasku. “Maaf Mas Adya, boleh saya minta waktu sebentar? Sebentar saja.” Dia diam. Memandangi wajahku lamat lamat kemudian mengangguk.

Tak mudah bagiku untuk menghentikan air mata begitu saja, suara parau, napas tersengal segalanya sudah menyatu, ritmenya berbaris menyakitkan, butuh jeda untuk aku bisa berpikir tenang dan bicara seperti sebelumnya. Aku mengeratkan tanganku di pagar dan menangis sesenggukan di sana. Yang membuatku sakit bukan perbuatan Maudy, tapi Papah … terlebih Kak Randy. Aku seperti merasa menjadi orang yang paling dikhianati, dibuang, tak dicintai. Hanya itu. 

“Es Krim?” Mas Adyan menyodorkan es krim berbentuk kerucut yang sudah dia buka penutupnya itu padaku. 

“Manis bisa mengurangi rasa sedih," tambahnya lagi. 

Kuraih es krim pemberiannya dengan ragu ragu. “Ternyata benar kata Opah kamu ya, kamu cengeng.”

Aku membuang wajah malu. “Pantas dia menghukumku dengan tugas berat ini.”

“Maaf … jadi merepotkan, terima kasih. Jangan terlalu dipikirkan hukuman Opah, kalo begitu saya pulang saja.”

“Saya bercanda, jangan diambil hati, tidak serius,” katanya lagi menghalangi. 

“Maaf ya,”  katanya lagi menunduk. Aku mengangguk.

“Gimana kalo kita sambil jalan di kebun bungan di bawah, di ujung jalan itu ada lahan yang mau diambil perusahaan saya. Saya mau ambil foto.”

“Boleh,” kataku. 

Kami melangkah bersamaan, kaki panjangnya mengikuti langkahku yang cukup pendek. Kami menembus kawasan penuh pepohonan besar, lereng lereng bukit, deretan kebun bunga kemudian melintasi hamparan sawah bertingkat tingkat.

“Ternyata benar ya, keindahan tidak mampu membeli kebahagiaan,” katanya. Aku menoleh memandangnya.

“Keindahan hanya bisa memberi ketenangan,” jawabku kemudian, seraya melahap sedikit es krim pemberiannya. 

SEPTEMBER CERIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang