Aku sering kali ragu dengan istilah beruntung, Apakah hanya kebahagiaan yang disebut keberuntungan? Kerap kali melihat Maudy aku seperti melihat sosok pesakitan yang tak pernah mendapatkan cahaya. Maudy beruntung memiliki paras rupawan, tubuhnya semampai tinggi, dia bisa jadi artis, model atau bahkan seorang diplomat karena kecantikannya. Namun, sorot matanya siang itu ketika melihatku sedang bercengkrama dengan keluarga besarku sangat menakutkan.
“Biarkan saja dia di atas! Bukan keluarga Purnama,” kata Nenek padaku saat memergokiku beradu pandang dengan Maudy dari bawah. Mendengar ucapan Nenek, aku baru menyadari ada hal yang membuat Maudy merasa kurang beruntung. Keluarga. Karena keadaan itulah aku merasa kasihan dengannya. Maudy sendirian di kamarnya, merayakan sendiri kemenangannya sementara aku di bawah berbahagia dengan keluarga besar. Malam itu, setelah semua orang beristirahat aku melepas egoku untuk meminta maaf pada Maudy. Bukan karena aku salah, tapi karena aku tak tega melihat keadaannya. Dengan berani aku mengetuk pintu kamarnya.
“Mau apa?” tanyanya ketus setelah membuka pintu.
“Selamat," kataku datar. “Meski kamu melakukan hal yang memalukan, tetap saja aku tidak bisa berbohong kalo kamu benar benar pintar. Kenapa kamu tidak percaya diri Maudy?”
“Percaya diri!" serunya ketus.
“Aku yakin, kamu akan memenangkan lomba itu tanpa harus berbohong padaku.”
“Berbohong? Aku tidak pernah berbohong, perawat rumah sakit memang mengatakan demikian.”
“Kamu pikir aku percaya?” jawabku bengis.
“Aku enggak minta kamu untuk percaya," katanya menyeringai. Menyesal aku jatuh iba padanya.
“Ada lagi?” tanyanya. Aku menatapnya tajam dengan tangan terkepal, dia menyeringai kemudian menutup pintu. Masuk aku ke kamar dengan rasa berdebar di dada menahan emosi. Napasku memburu seperti banteng yang siap menyuruduk tapi kutahan. Kuambil air wudhu kemudian tidur.
Sikap Maudy tetaplah sama, hanya baik di depan orang orang selain aku. Pagi pagi sekali dia bangun, mengejutkan ketika melihat dirinya berada di balik meja dapur bersama Mamah Ratu untuk menyiapkan makanan, sepagi itu untuk keluarga besar Papah yang sedang berkumpul di rumah. Dia memasak dengan senyuman yang begitu hangat. Seolah tak terjadi apa- apa dengan kami kemarin. Aku benar benar terheran dengan sikapnya yang menakutkan.
“Biar aku aja, ceri,” katanya saat aku hendak membantunya.
“Kamu duduk aja, kamu masih rindu sama Omah kan,” tambahnya. Semua yang mendengarnya di ruangan itu tersenyum melihatnya, kecuali denganku. Sampai akhirnya Omah dan Nenek juga Papah mengajaknya makan bersama di meja makan. Kukira, Maudy sedang merencanakan strategi baru untuk menyakitiku. Entah apa tujuannya, hanya dia yang tahu. Yang jelas, dirinya seperti terlihat selalu ingin bersinar dan tak ingin tersaingi dengan keberadaanku. Padahal, jika dihitung mundur, dialah yang paling banyak mendapat perhatian Papah.
Perhatian semua orang memang tertuju pada Maudy pagi itu dan yang paling mengejutkan adalah ketika, kak Randy tiba tiba datang bersama Ibunya. Kedatangannya benar benar mengejutkan kami, saat bertemu dengan Papah, wanita yang sebelumnya bertemu denganku di rumah sakit itu langsung berkomunikasi layaknya sahabat dekat, cepika cepiki. Namun, dengan sorot mata yang tajam.
Begitu Papah mempersilakannya masuk, wanita yang kukira seusia dengan Almarhumah Mamah itu langsung menerabas masuk dan mendekati Maudy yang saat itu sedang berdiri merapikan piring di meja makan bersamaku dan Si Mbak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER CERIA
Novela JuvenilSeptember Ceria adalah sebuah nama yang diberikan pada gadis periang asal kaki bukit bromo ini. Perpisahan orang tua membuat gadis bernama Ceria itu tak lagi seceria namanya. Terlebih saat Ibunya meninggal. Ceria harus siap hidup bersama keluarga ba...