Sampai di sini, aku masih belum mengerti mengapa Maudy melakukan hal itu. Membuatku terlihat buruk di hadapan Kak Randy. Jika cemburu menjadi alasannya, seharusnya dia sudah menyadari bahwa dialah pemenangnya. Di dalam kamar aku hanya terdiam membayangkan siasat Maudy yang begitu mengkhawatirkan. Aku jadi teringat dengan pesan Mamah , “Jangan menaruh harapan, percaya berlebihan pada siapapun itu …,” kata Mamah di depan bukit bromo.
“Maksud Mamah?”
“Suatu hari kamu akan bertemu dengan manusia yang akan membuat hatimu tersentuh, sekasihan apapun kamu dengannya jangan pernah memberikan harapan.”
“Maksudnya? Bukankah menolong orang itu baik?"
Mamah tersenyum.
“Tolonglah sesukamu, tanpa ada intervensi dari siapapun. Tapi jika kamu juga sudah memberikannya harapan, tanpa tahu batas batas masa depan, kamu sudah zalim pada dirimu sendiri. Karena masa depan tidak ada yang tahu, bantu secukupnya saja, sisanya serahkan pada Tuhan.”
“Ceri enggak mengerti Mah.”
“Suatu hari ada seorang lelaki yang berjanji untuk memberikan bantuan pada seorang wanita. Ketika lelaki itu sudah berbahagia dengan keluarganya, wanita itu datang menagih janjinya. Akhirnya kebaikan lelaki itulah yang membuat keluarganya hancur. Jangan pernah menjanjikan sesuatu pada siapapun Ceri, karena ke depan kamu tidak akan tahu seperti apa manusia yang sudah kamu janjikan itu.”
Aku menyimak. “Juga jangan takut pada sesuatu yang terlihat besar.”
“Maksud Mamah?”
“Ada kalanya manusia lari dari kenyataan, karena takut menghadapi hal besar di hadapannya. Padahal jika dilawan, yang besar itu hanyalah bayangannya saja, padahal masalah itu lebih kecil dari yang kita kira.”
Akhirnya aku paham apa yang dikisahkan Mamah kala itu, seperti roda yang masih berputar, memutar kembali setiap masalah yang bisa saja dulu pernah dihadapi Mamah. Musuh terberat Mamah, barang kali adalah sifatnya sendiri yang terlalu baik. Aku masih termangu di kamarku setelah kejadian kemarin menghujamku. Perasaan itu seperti belati yang membuatku gugup setengah mati. Belum pernah aku berhubungan seburuk ini dengan manusia. Terlebih dengan saudaraku sendiri. Kini, setiap melihat Maudy aku akan membuang wajah, kami seperti sedang melakukan gencatan senjata, yang tinggal menunggu sirene berperang.
Aku memilih untuk tetap diam, tak ikut campur dengan hubungan Kak Randy dan Maudy. Beruntungnya, sejak tertimpa beban sakit hati ini, aku justru lebih fokus dan giat untuk belajar. Tak lagi ingin mengenal lelaki karena hati sudah terlanjur penuh dengan Randy. Hanya bisa menahan dan mengalihkan dunia ke tempat yang tak ada nama dua orang itu. Cukup di kelas aku bertemu Maudy, sisanya tidak sama sekali. Bahkan saat di rumah, kami nyaris tidak saling menyapa.
Ada perasaan aman yang terjaga di sini, saat aku meluapkan isi hati dan semua rasa gundahku pada kedua sahabat baruku di Jakarta itu. Setidaknya senyumku mampu kembali pulih meski sedikit. Aku pulang setelah mobil jemputan Papah datang, dan bersama supir Papah bernama Pak Gembul itu aku kembali bersendagurau. Aku semakin yakin untuk melupakan Kak Randy, meski jujur saja dirinya masih jadi pemenang di hati ini. Kurasa, Siwi dan Tanty benar. Rasa sakit ini sengaja diberikan Tuhan padaku, agar aku bisa lebih fokus pada kuliah dan prestasiku. Dengan begitu aku tak lagi menjadi gadis bucin yang terus menerus memikirkan lelaki.
Esoknya di kampus, untuk kesekian kalinya aku melihat Kak Randy berdiri di depan lobby persis di bawah pohon rindang seraya tersenyum ke arahku. Dia mendekatiku tersenyum dengan menampakkan wajah menyesal seraya membawa bunga untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER CERIA
Teen FictionSeptember Ceria adalah sebuah nama yang diberikan pada gadis periang asal kaki bukit bromo ini. Perpisahan orang tua membuat gadis bernama Ceria itu tak lagi seceria namanya. Terlebih saat Ibunya meninggal. Ceria harus siap hidup bersama keluarga ba...