Traumerei Sixteen

47 7 0
                                    




Mari kita mengakhiri masa hiatus ini ^_^
Halo apa kabar? Hehehehe

Apa masih ada yang menunggu kelanjutan cerita ini? T_T
Maaf sekali karena baru bisa update lagi T_T

Sorry, Thank You, and Happy Reading ^_^








Lula menghela nafas panjang saat memandang langit malam hari di taman rumah sakit yang sepi dan hening. Udara malam terasa sangat dingin, namun dia tetap membiarkan angin menerpa tubuhnya.

Kardigan cokelat yang diberikan Vano masih melekat di tubuhnya dan sesekali dia rapatkan untuk mencoba menghalau dingin, meski pada kenyataannya hal itu tidak cukup untuk menghangatkan hatinya yang sedang gelisah dan kalut.

Lula sangat tahu jika Vano berusaha menghiburnya, tapi takdir dan fakta yang harus dihadapinya terlalu berat untuk diabaikan begitu saja.

Setelah mengobrol cukup lama dan akhirnya berpisah dengan Vano, pikiran Lula terus bergelut dengan kekhawatiran.

Lumpuh?

Lula tertawa tanpa arti. Satu kata itu seperti cermin yang memantulkan masa depan yang amat menakutkan, dan sesuatu yang sulit untuk diterima. Di satu sisi, dia ingin menghindar, namun di sisi lain, dia tidak bisa lari dari kenyataan.

Yang jelas, tidak ada tempat untuknya berpaling, dan tak ada yang bisa dia lakukan selain menghadapi semua ini.

Suara langkah pelan terdengar kian mendekat dari arah belakang. Lula tidak berniat menoleh untuk melihat siapa yang akan menghampirinya. Hingga akhirnya suara terdengar menyebut namanya.

"Lula." Itu suara Bona yang memanggil dengan lirih dan serak.

"Kenapa disini? Bunda nyariin."

Lula melirik sekilas kesamping, dimana Bona berdiri di sisi kanannya. Lalu kembali menatap langit.

"Aku butuh waktu sendiri, kak."

Bona lantas mengusap bahu Lula dengan lembut, dia sangat tahu perasaan sang adik yang pasti sedang dipenuhi oleh rasa kekhawatiran dan ketakutan.

"Kenapa harus sendiri, kalo kamu punya kami, hm? Kakak bisa temenin kamu." Hibur Bona.

Lula tersenyum getir dan terkekeh tanpa arti. "Tapi pada akhirnya, yang harus hadapin semua ini cuman aku kak. Bukan kalian."

Bona terdiam. Dia memang tidak tahu pasti bagaimana rasanya berada di posisi Lula karena dia belum pernah mengalaminya secara langsung. Tapi, meski dia tidak sakit secara fisik seperti sang adik, mereka sama-sama merasakan luka di hati.

"Tapi kakak, kak Clara, bunda, dan ayah nggak akan biarin kamu hadapin ini sendirian. Kita masih bisa lawan itu sama-sama sampai menang."

Lula memejamkan mata, menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Dia lelah mendengar kalimat-kalimat penghibur, seolah-olah masalah yang sedang dihadapinya mudah diatasi.

"Kakak nggak rasaian apa yang aku rasain. Kakak tau nggak rasanya jalan di tepi jurang, dan tiap langkah yang diambil buat jurangnya makin dekat? Kakak pernah rasain itu? Enggak kan?"

Lula membuka mata, lalu memandang jauh ke depan. Dia tahu semua orang di sekitarnya sangat peduli padanya. Tapi apa artinya semua itu jika pada akhirnya, tubuhnya tidak lagi bisa berfungsi? Jika dia harus menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda atau yang lebih buruk lagi, terbaring tanpa daya di ranjang rumah sakit?

TRÄUMEREITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang