Bagian 14

14 3 0
                                    

"Hasna, kamu kenapa?"

Aku terbelalak melihat Hasna yang baru datang dari luar. Tadinya, dia yang menawarkan diri membeli jus untuk kami berdua dan kebetulan beberapa teman lain juga mau. Jadilah dia pergi sendiri. Tiba-tiba saat kembali, wajah Hasna tampak pucat. Dia gemetar.

Kuambil alih plastik yang berisi beberapa jus setelah membantu Hasna duduk. Kemudian, kuberikan plastik tersebut pada rekan yang memesan setelah mengeluarkan punyaku dan Hasna.

"Hasna, kamu kenapa? Sakit?" Kupegang keningnya, tidak panas. Cuma keringatnya yang mengalir.

Hasna menggeleng, rautnya seperti orang linglung.

"Hasna, jangan bikin aku bingung dan takut. Kamu kenapa?" desakku. Masker yang kugunakan sejak pagi, akhirnya kubuka karena napasku terasa sesak. Tak peduli nanti orang mau bertanya apa, akan kujawab seperti jawabanku pada Hasna tadi.

Hasna mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar aku tidak bertanya lagi. Kuraih air mineral di meja Hasna dan menyodorkan padanya.

"Minum dulu biar agak tenang!"

Hasna menerima botol itu, lalu menenggak air kemasan dengan isi 350 ml hingga nyaris habis. Setelahnya, napas Hasna tersengal.

"**Minum itu tiga kali tegukan, tiga kali napas di luar bejana, sesuai sunah. Jangan sekali teguk gitu," tegurku.

"Maaf, darurat, Khal," sahutnya terputus-putus.

Aku mendelik dan mampu membuat gadis itu tertawa kecil. Air mukanya sudah tidak pucat lagi.

"Udah tenang?" tanyaku, masih penasaran.

"Alhamdulillaah."

"So, tell me now! What happen with you?"

Hasna terlihat menarik napas panjang, lalu mengembusnya perlahan. Lantas, dia memandangku.

"Aku masih berdebar-debar, Khal," ucapnya sembari menekan dada dengan telapak tangan. "Baru kali ini ada yang melamarku secara langsung. Mana di parkiran pula."

"Siapa? Fahri?" tebakku semringah, karena pernah mendengar bisik-bisik jika salah satu rekan kerja kami, bagian kepala gudang, itu sudah lama menaruh hati pada Hasna. Namun, kebenarannya aku tidak tahu, karena sadar hal tersebut bukan wilayahku.

Hasna menggeleng dengan cepat.

"Lalu?" Mau menebak lagi, tetapi tidak bisa. Karena aku memang tidak tahu siapa saja yang suka pada Hasna.

"Kamu jangan kaget, ya?"

Aku mengangguk.

"Janji?"

"Iyaaa."

"Aku dilamar sama ... manajer kita. Pak Rizki." Hasna berkata setengah berbisik.

Aku terbelalak. "Kamu nggak lagi bercanda 'kan, Has?"

"Enggak."

"Kamu yakin, kalau tadi yang bicara sama kamu itu Pak Rizki?"

"Iya, Khalis. Aku yakin."

Antara bahagia dan bingung, jadi campur aduk. Memikirkan kalau Hasna dilamar, aku bahagia. Akan tetapi, ketika mengingat kalau yang melamarnya adalah seorang duda berusia 40 tahun, rasanya ....

"Kamu jawab apa?" Kulanjutkan wawancaraku dengan Hasna. Apa pun jawabannya, aku tidak akan mematahkan.

Hasna menunduk, dia terlihat ragu. Jelas sekali dari raut wajahnya.

"Aku belum memberi jawaban. Aku minta waktu satu minggu untuk istikharah dan memikirkannya."

"Dengan demikian, kamu ... dengan tidak menolak langsung, artinya kamu memberi kesempatan pada dirimu dan juga Pak Rizki untuk sebuah harapan?"

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang