Bagian 4

33 6 4
                                    

"Sejak kapan, Ma?" Sambil menahan rasa sakit hati, kulontarkan pertanyaan itu pada Mama, saat kami sedang memasak. Aku terus saja menyelesaikan mencuci beberapa peralatan dapur yang telah selesai digunakan.

"Apanya?" Mama balik bertanya. Mungkin, beliau belum paham arah pembicaraanku.

"Papa menikah lagi."

Aku menoleh pada Mama yang sedang menumis sayur. Tampak beliau terdiam sejenak, sebelum kembali tersenyum tanpa melihat ke arahku yang berdiri tak jauh darinya.

"Sudah tiga tahun lebih."

Aku terbelalak. "Apa? Tiga tahun? Tiga tahun dan ... Mama sama sekali nggak ngasih tahu Khalis maupun Samir?"

"Mama sengaja menyembunyikannya dari kalian. Mama nggak mau kalian kecewa. Mama nggak mau kalian membenci Papa."

Sudah kuduga jawaban klise itu akan diucapkan Mama.

"Apakah alasan Papa pergi dinas luar selama tiga hari setiap minggu ... adalah untuk perempuan itu?"

Mama mengangguk. "Ya. Jatah istri kedua Papa disepakati hanya tiga hari dalam seminggu."

"Mama kenal perempuan itu?"

"Tentu saja. Karena sebelumnya, Papa sudah mengenalkannya pada Mama. Mama juga menghadiri pernikahan siri mereka saat itu. Apa yang bisa Mama lakukan kalau Papa sudah jatuh cinta selain menyuruhnya menikahi perempuan itu?"

"Seharusnya Mama meminta Papa melupakan perempuan itu, Ma. Bukan malah menyuruh Papa menikah lagi," protesku.

Mama tersenyum. Namun, dalam senyum itu, aku bisa merasakan luka di hati Mama walau beliau sangat pintar menutupinya.

"Mama nggak mau dikhianati diam-diam. Papamu sudah jujur saja, Mama sangat bersyukur. Mama juga nggak mau Papa bermaksiat, jika terlalu Mama kekang keinginannya."

"Ini nggak adil. Apa kurangnya Mama sehingga Papa memilih menikah lagi? Mama soleha. Mama cantik dan tak pernah lupa merawat diri. Mama patuh pada segala perintah dan larangan Papa. Mama selalu tahu cara membahagiakan Papa. Mama selalu ada untuk Papa. Lalu, dengan alasan apa Papa menduakan Mama?" Emosiku mulai bermain. Sesak di dada tak urung membuat napasku sedikit tersengal.

Mama mematikan api kompor. Lalu, beliau menengadah. Sepertinya, Mama tengah menghalau air mata agar tidak tumpah.

"Rasa syukur dan iman. Hanya dua hal itu yang mungkin belum sepenuhnya Papa miliki. Mama memilih tidak meninggalkannya, karena Mama berpikir ... Mama masih banyak kekurangan sehingga Mama merasa ... istri kedua Papa bisa menutupi kekurangan yang Mama miliki."

Ujung jari Mama mengusap sudut matanya bergantian. Pertahanan Mama sepertinya runtuh juga. Air mata mengalir walau bibirnya tersenyum. Namun, Mama tidak membiarkan tangisnya semakin menjadi.

Aku tidak habis pikir, apa lagi sih  yang dicari Papa pada perempuan lain? Mama memang tidak semuda perempuan yang tadi kujumpai di kafe. Namun, kalau boleh jujur, Mama itu jauh lebih cantik dari istri kedua Papa tersebut.

Perlahan, aku melangkah mendekati Mama. Kupeluk tubuhnya yang selalu menguarkan aroma wangi. Parfum yang sejak dulu selalu khas dan tak pernah berganti aromanya.

"Maaa ...." Aku berbisik lirih, menangis sambil mendekapnya. Mama pun membalas pelukanku.

"Jangan menangis, Khalis! Perempuan nggak boleh terlalu cengeng. Ini akan jadi pelajaran untukmu saat menikah nanti. Sebagai wanita, kita harus memiliki hati yang sangat lapang dan kesabaran yang tiada batas. Selagi suami kita tidak melakukan maksiat, dukung saja dia. Bebaskan dia melakukan apa yang dia mau. Biarkan dia penuhi syahwatnya dengan cara yang halal. Kita tinggal berharap pahala dari Allah atas keikhlasan dan kesabaran yang kita miliki." Mama mengusap punggungku.

Pelukan pada Mama, aku lepas dengan perlahan. Lalu, kutatap wajah Mama dengan pandangan kabur karena air mata. Tidak satu kata pun mampu kuucapkan. Hatiku sakit. Papa telah melukai Mama begitu dalam meskipun Mama tidak mengakui lukanya.

Mama mengusap air mataku dengan lembut. "Mama nggak suka lihat air mata. Kamu itu anak sulung, nggak boleh cengeng. Kamu harus sekuat baja, seperti Mama. Ingat, beberapa hari lagi kamu akan bertemu Fayadh, calon suamimu."

Mendengar nama itu, aku tercenung.

"Kamu ... masih menunggu Imran?" Tebakan Mama membuatku agak terkejut. Kupikir, selama ini Mama tidak terlalu peduli dengan apa yang kurasakan.

Ragu, aku mengangguk. "Andai Papa mau memberi Khalis waktu lagi, Khalis akan mencoba mencari kepastian tentang Imran. Khalis hanya takut, saat Khalis menikah dengan Fayadh, dia datang. Khalis tidak mau pernikahan Khalis menjadi sebuah penyesalan, Ma."

Mama mengangguk-angguk. "Mama paham apa yang kamu rasakan. Kalau boleh Mama kasih saran, untuk saat ini, ikuti saja dulu kemauan papamu. Jangan sampai dia marah. Kamu bertemu saja dulu dengan Fayadh. Setelah itu, nanti Mama bantu pikirkan bagaimana cara kamu bisa mendapat kepastian tentang Imran."

Aku menatap Mama tak percaya. "Mama ... Mama serius mau bantu Khalis?"

"Iya, Sayang." Mama mengusap puncak kepalaku.

"Tapi, Ma. Lamaran Fayadh sudah Papa terima."

"Baru lamaran, kan? Masih bisa dibatalkan kalau seandainya kamu nggak suka. Bagaimana caranya, nanti kita pikirkan."

Bahagia, satu kata itu saja yang mewakili perasaan. Aku seakan mendapat secercah harapan baru. Sekali lagi, aku peluk tubuh Mama.

***

"Sudah dapat kabar dari Imran?"

Tiba-tiba saja Hasna bertanya dengan suara pelan, saat kami masih dalam jam kerja. Dia sengaja menggeser kursinya ke dekat meja kerjaku.

Aku menggeleng lemah. Lalu kembali menatap layar komputer.

"Kalau menurutku, sebaiknya kamu tidak usah berharap banyak lagi, deh," saran Hasna. "Pilih yang pasti-pasti aja. Siapa tahu anak Buya Yahya itu ganteng dan cocok untuk kamu. Kapan lagi punya mertua seorang ustaz?"

Aku menatap cincin di jari manis. Mengabaikan sejenak pekerjaan yang belum kelar sejak tadi pagi.

"Sulit buat melupakannya, Has. Meskipun, kami baru kenal beberapa hari saja dan belum tahu kepribadian masing-masing."

"Ini lho, bujuk rayu setan itu. Kamu udah lupa sama rambu-rambu syariat. Kamu terlalu jatuh ke dalam perasaanmu sendiri. Padahal, kamu itu seorang muslimah yang taat, yang nggak mau kenal sama sembarang laki-laki. Malah tiba-tiba sama si Upin kamu berubah drastis."

"Imran, Hasna," protesku. "Bukan Upin."

"Iya, iya, aku tahu. Just kidding, Khalis. Biar nggak kaku kali pembicaraan kita ini."

Aku mengembus napas. "Aku tahu apa yang aku lakukan salah, Has. Tak seharusnya aku bermudah-mudahan dengan lelaki asing. Namun, aku tidak bisa menampik perasaanku sendiri. Aku harus akui kalau aku juga jatuh cinta. Aku bisa melihat keseriusan Imran saat memberikan cincin ini padaku."

"Kalau dia serius, dia nggak bakalan ingkar janji. Dia nggak bakal menghilang seperti ini dan membuatmu menunggu."

Terdiam mendengar kata-kata Hasna yang ada benarnya, aku mencoba berdamai dengan hati yang mulai berperang dengan logika.

"Cinta itu menyesatkan jika tidak dilandasi dengan agama, Khalis. Jangan lupa akan hal itu!"

Hasna kembali menggeser kursinya menjauhiku. Detik berikutnya, dia sudah kembali fokus dengan pekerjaannya. Sementara aku masih tenggelam dalam berbagai pikiran tak menentu. Bahkan tentang Papa pun, masih saja tak mampu kulupakan.

Waktu makan malam kemarin, aku tidak terlalu banyak bicara dengan Papa. Bahkan untuk melihat wajah Papa saja, aku enggan. Aku masih belum bisa menerima kalau Papa punya perempuan lain selain Mama.

Kembali kuembus napas yang terasa berat, lalu mengusap wajah sambil beristighfar. Apakah lelaki di dunia ini tugasnya hanya untuk menyakiti dan mempermainkan perempuan saja?

***

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang