Bagian 15

15 3 0
                                    

Setelah mendapat izin dari Pak Rizki, aku pun berangkat menuju kampus Samir guna mengantar uang semesternya. Kebetulan tugasku sudah selesai. Walaupun sebenarnya bisa saja aku mentransfer tanpa harus bersusah payah ke kampusnya. Namun, aku tidak memiliki rekening mereka.

Aku yang sangat jarang datang ke sana, merasa kaku saat menginjakkan kaki di tempat tersebut. Pada akhirnya, menelepon Samir adalah jalan tercepat. Apalagi aku cuma izin sebentar pada Pak Rizki.

"Huh, kalau tahu begini, mending tadi di rumah aku kasih saja uangnya Samir!" Aku menggerutu sendiri dalam hati.

Duduk di atas motor di parkiran, membuat beberapa pasang mata yang lalu-lalang memandang penuh tanya ke arahku. Aku jadi risih, tapi mau gimana lagi? Mana Samir lama banget lagi!

"Khalis?"

Aku menoleh ke arah suara yang menyapa. Dia lagi! Kenapa kami selalu bertemu di mana-mana? Apa dia menguntitku?

"Bang Fayadh?" Aku turun dari motor. Dia tahu saja ini aku. Padahal aku pakai masker.

"Kamu ngapain di sini?"

"Lagi nungguin Samir, adik saya."

"Ooh, Samir juga kuliah di sini?"

Aku mengangguk.

"Tumben pakai masker? Lagi sakit?" Dia mengamatiku.

"Nggak. Cuma ngerasa banyak debu aja di jalan akhir-akhir ini. Mungkin karena cuaca lagi panas banget."

Fayadh mengangguk-angguk.

"Abang sendiri, ngapain di sini?"

"Tadi habis ketemu sama pihak kampus. Mereka mau adain seminar buat mahasiswa jurusan manajemen bisnis dan mereka undang saya."

"Ooh, keren. Sibuk banget ya, Bang?" komentarku.

"Nggak juga. Pas momen sibuk ya sibuk ngisi acara ke sana ke mari. Kalau enggak, yaaaa saya fokus ke bisnis saya sendiri. Saya merasa senang aja bisa berbagi ilmu. Karena itulah saya nggak mau pilih-pilih siapa saja yang bisa mengundang saya. Semoga kelak, bisa jadi amal jariyah jika saya tidak lagi ada di dunia ini," paparnya.

Aku tidak tahu apakah dia sedang membanggakan diri atau memang itu benar-benar dari lubuk hati yang tulus. Namun, aku cukup salut sama dia. Saleh, alim, pintar, ganteng, hafiz dan ... ya, seperti kataku, dia paket lengkap.

"Kak Khalis!"

Aku dan Fayadh serempak menoleh. Samir datang dalam keadaan napas ngos-ngosan. Sepertinya dia berlari datang ke sini. Mengingat kampusnya yang cukup luas dan aku rasa fakultasnya berada di ujung gedung.

"Maaf, Kak, aku lama," ucapnya terbata-bata.

"Iya, nggak apa-apa. Tenangin dulu itu napas kamu."

Samir pun menghela napas dan mengembuskannya beberapa kali.

"Eh, Bang Fayadh!" Samir baru sadar akan kehadiran Fayadh saat napasnya sudah tidak tersengal lagi. Dia pun menyalami Fayadh.

"Iya, Sam. Apa kabar kamu?"

"Alhamdulillaah, baik, Bang. Abang yang ngisi seminar nanti, ya?" Samir memamerkan senyumnya.

"Insyaa Allah, iya. Eumm, kalau begitu saya duluan, ya? Khalis, Samir, assalaamu'alaykum!"

"Wa'alaykumussalaam," jawabku dan Samir berbarengan.

"Kakak ngapain sih, sampai datang ke sini? Ada yang darurat, ya?" tanya Samir begitu Fayadh sudah jauh.

Aku merogoh tas dan mengeluarkan amplop cokelat.

"Untuk dua semester," ujarku sambil menyerahkan amplop tersebut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang