Bagian 7

41 6 4
                                    

"Bagaimana Fayadh menurutmu?" tanya Papa, ketika beliau memaksaku duduk kembali saat aku hendak meninggalkan ruang tamu. Beberapa menit setelah Fayadh dan orang tuanya meninggalkan rumah kami.

Memang, sejak tahu kalau Papa memiliki istri lain, aku agak menjaga jarak dengannya. Bukan apa-apa, aku hanya belum bisa menerimanya. Mama pun melarangku untuk memberi tahu Samir, karena tidak mau kuliah adikku yang sudah di tingkat akhir itu terganggu.

"Biasa aja, Pa," sahutku datar.

"Maksud kamu biasa bagaimana? Masa nggak ada sesuatu yang bikin kamu tertarik?"

Aku bergeming.

"Fayadh itu udah ganteng, pintar, agamis ... ulet dalam bekerja. Punya bisnis sendiri pula. Akhlaknya bagus. Papa sangat yakin menyerahkan kamu sama dia. Pasti dia bisa menjaga kamu." Papa tampak antusias.

"Tidak semua orang baik bisa dipercaya. Tidak semua orang agamis paham memperlakukan perempuan. Mereka memang bisa menjaga raga perempuannya, tapi jarang yang bisa menjaga hati perempuannya."

Papa membeku menatapku. Mama pun seperti salah tingkah menyikapi ucapanku. Mungkin, beliau takut aku akan mendakwahi Papa.

"Kamu sedang membicarakan siapa?" tanya Papa dengan tatapan tajam.

"Khalis tidak sedang membicarakan siapa-siapa. Hanya membicarakan banyaknya laki-laki tak tahu diri di luar sana. Entah, lelaki seperti apa yang bisa dipercayai zaman sekarang."

Papa terdiam, sedikit menunduk.

"Maaf, Pa, Ma, Khalis duluan ke kamar, ya? Ada pekerjaan yang harus Khalis selesaikan. Besok pagi, di kantor ada rapat devisi juga," pamitku, lalu bangkit dari duduk. Sejak tadi, aku berusaha menekan emosiku agar tidak meluap pada Papa. Tak menyangka jika laki-laki yang selama ini kukenal tegas dan sangat dihormati Mama, adalah lelaki yang tega menduakan istrinya tanpa alasan yang jelas.

***

"Papa nggak ikut sarapan, Ma?" tanyaku seraya menarik salah satu kursi meja makan.

"Papa sejak semalam 'kan udah berangkat," celetuk Samir.

"Semalam? Ke mana?" Aku mengernyit.

Samir hanya mengangkat bahu, lalu melanjutkan sarapannya. Dia memang tipe laki-laki yang cuek disamping juga memiliki sifat sangat penyayang dan perhatian. Hanya saja, dia tidak bisa menunjukkannya.

Pandangan kualihkan pada Mama. Tanpa perlu bertanya, Mama langsung berkata, "Semalam teman Papa menelepon kalau dia sakit. Jadi, Papa harus menjenguknya karena takut nggak sempat kalau ditunda sampai besok. Jadi, sekalian Papa berangkat dinas luar."

Aku yang langsung paham arah pembicaraan Mama, menghela napas. Bayangan perempuan yang pernah kulihat bersama Papa, terlintas di ingatan. Hatiku kembali terasa sakit. Demi perempuan itu, Papa rela meninggalkan Mama tadi malam. Padahal, apa salahnya Papa menunggu waktu pagi dan menemani Mama dulu? Separah apa sakitnya hingga harus mengambil waktu Mama bersama Papa tadi malam?

Ah, aku jadi tidak berselera untuk sarapan.

"Ma, Khalis sarapan di kantor saja, ya? Takut telat buat rapat." Aku beralasan.

"Habiskan dulu susunya kalau memang nggak sempat sarapan!" titah Mama dan tak ada alasan untuk tidak mematuhinya.

Setelah kuamati, Mama terlihat berbeda pagi ini. Tampak pucat. Apalagi tidak ada riasan sedikit pun di wajahnya.

"Mama, sakit?" tanyaku khawatir.

Mama mengangkat wajah, memandangku, lalu tersenyum seraya menggeleng. "Enggak. Mama cuma kecapean aja, kok."

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang