Bagian 9

30 6 1
                                    

Aku terduduk lemas di kursi kerja, masih dalam keadaan antara percaya dan tidak. Melihat Imran bersanding dengan gadis cantik yang cukup terkenal itu, mencipta sayatan sembilu di jantung. Sakit sekali.

Inikah lelaki yang aku tunggu selama ini? Inikah janji yang katanya akan dia pastikan dalam tiga hari? Lalu, apa arti semua ucapan cintanya padaku?

"Khalis, sabar, ya?" Hasna mengusap punggungku. "Allah sudah menunjukkan semuanya. Dia bukan jodohmu. Nggak ada gunanya kamu menangis."

Menangis, bukan menyesali pengkhianatan janji Imran, tetapi menyesali kebodohanku yang terlalu percaya dengan lelaki itu. Aku yang terlalu naif, berharap cinta yang datang dalam waktu singkat  akan bermuara pada satu ikatan halal. Bahkan lupa untuk berpikir, bahwa begitu banyak perbedaan yang mungkin sulit untuk disatukan.

"Cinta yang kamu rasakan selama ini adalah cinta karena nafsu, bukan karena Allah. Kamu terlalu menggantungkan harapanmu pada manusia, tetapi lupa meminta petunjuk kepada Allah, bagaimana seharusnya kamu menyikapi rasa itu. Maaf, aku bukannya mau menghakimi kamu. Tapi sebagai sahabat, aku wajib mengatakan ini walau mungkin aku terdengar seperti sedang mengguruimu."

Hasna menyodorkan tisu. Aku meraih dan mengusap air mata menggunakannya. Berkali-kali aku mencoba menghirup udara, agar rongga dada menjadi lebih lapang. Namun, tetap saja terasa sulit.

"Kamu wudu, gih! Biar tenang. Sekalian Duha, sebelum acara sama Pak Fayadh dimulai. Masih ada setengah jam lagi. Aku lagi halangan. Kamu sendiri aja, ya?"

Sekali lagi, aku menarik napas panjang sebelum mengembusnya perlahan.

"Terima kasih, Has," ucapku.

"Sama-sama. Yuk, bisa, yuk! Kamu harus mengempaskan bayang-bayang si Upin. Sudah ada Fayadh yang lebih ganteng," kelakar Hasna.

Sayangnya, aku sedang tidak ada selera untuk menanggapi candaannya.

Setelah mengambil mukena dari laci meja, aku pun meninggalkan ruangan kerja. Pada jam segini, kami para karyawan memang dibebaskan untuk melaksanakan shalat Duha secara bergantian. Baik karyawan laki-laki maupun perempuan. Inilah salah satu nilai tambah yang patut aku syukuri, bekerja di perusahaan orang yang paham agama.

***

Aku memang merasa jauh lebih tenang setelah berwudu. Apalagi ditambah dengan menunaikan shalat Duha dua rakaat. Namun, sayatan sembilu itu masih saja menyisakan ngilunya. Bahkan wajah semringah Imran bersama perempuan dalam balutan gaun pengantin itu, masih terbayang di benakku.

Sebahagia itukah dia? Apa dia tidak ingat dengan janjinya padaku?

Mushala kantor sudah sepi. Hanya ada aku dan satu karyawan perempuan di dalamnya. Entah di bagian saf laki-laki, aku tidak tahu apakah ada orang atau tidak. Sebab terhalang oleh sutrah.

Kesempatan itu kugunakan sebaik-baiknya untuk meminta kekuatan hati pada Sang Maha Pencipta, karena tidak ada tempat mengadu terbaik selain pada-Nya.

Ketika sudah merasa puas dan memastikan lipatan mukena dan jilbab yang terpasang sudah rapi, aku pun meninggalkan mushala. Sebentar lagi, mentoring bersama Fayadh akan dimulai. Semua wajib hadir tanpa terkecuali. Sehancur apa pun hatiku saat ini, tetapi dalam bekerja, aku harus tetap profesional.

"Bu Khalisa!"

Seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku pun menjeda langkah dan menoleh. Fayadh. Sepertinya dia baru keluar dari mushala.

"Ini punya Ibu, bukan?" Dia menunjukkan sesuatu di tangannya. "Tadi jatuh di dekat pintu mushala."

Aku memeriksa tas mukena, baru sadar kalau tasbihku tidak ada.

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang