Gallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer.
Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila.
Perempuan itu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Hampir sepuluh menit Gallio menyusuri area Kota Tua, melangkah cepat sambil terus menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari bangku kayu yang dimaksud dalam petunjuk Jenny. Setiap sudut dia perhatikan dengan penuh fokus, tapi tetap tidak ada tanda-tanda bangku itu.
Keringat mulai membasahi dahinya, dan napasnya makin cepat. Tapi kemudian, di antara keramaian pengunjung, matanya tertuju pada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Bangku kayu. Tepat di depan Museum Wayang Kulit. Gallio menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Jangan-jangan itu maksud Jenny?" ucapnya pelan pada diri sendiri, seraya mendekati bangku tersebut. Otaknya mulai menghubungkan petunjuk yang diberikan Jenny. Bukan Museum Fatahillah tapi Museum Wayang Kulit.
Gallio menghela napas lega dan frustasi bergemuruh di dadanya. Ternyata, dia salah membaca petunjuk. Namun, di saat yang sama, senyum tipis muncul di bibirnya. Tentu saja Jenny akan memilih tempat ini—lebih unik, lebih personal, dan lebih sulit ditebak. Dia mendekati bangku itu dengan langkah cepat, berharap Jenny ada di sana menunggunya. Setelah perjalanan panjang, akhirnya dia tiba di tempat yang tepat.
Tapi ketika Gallio mendekat, bangku kayu itu kosong. Tak ada siapa-siapa di sana, selain beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada Jenny. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, matanya menyapu area sekitar, berharap bisa menangkap bayangan Jenny di antara keramaian. Tapi tetap saja.
Still, no Jenny there. Gallio mulai merasa bingung. "Come on. Is she teasing me again?" pikirnya, setengah kesal. Tangannya sekarang berada di pinggang, kepalanya menengadah ke langit seolah meminta jawaban. Jenny memang pintar menguji kesabarannya, dan kali ini dia benar-benar dibuat kebingungan. Sementara bajunya di balik jaket kulit yang dia kenakan sudah bahasa oleh keringat.
Tak lama setelah itu, seseorang menarik-narik ujung jaket Gallio dari belakang. Dia segera menoleh dan mendapati seorang anak kecil, mungkin sekitar enam tahun, dengan pita kupu-kupu biru di kepalanya. Wajahnya mungil dan dia tersenyum malu-malu pada Gallio.
"Kamu nyari siapa?" tanya Gallio sambil berjongkok agar sejajar dengan si anak, sambil melirik ke kanan dan kiri, mencari di mana orang tua anak perempuan itu berada.
"Mencarimu, Gallio Alessandro Kanaka," jawab anak itu polos.
Gallio mengerutkan kening. "Gallio? Itu nama aku," katanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Aku tau. Tidak perlu diingatkan," balas si anak dengan tenang.
Gallio terkekeh. "Yeu, siapa juga yang ingetin kamu. Aku cuma bilang doang," ucapnya, berusaha menahan tawa.
Anak perempuan kecil itu malah tertawa pelan melihat ekspresi Gallio yang gemas dan sedikit kebingungan.
"Kamu kenapa nyari aku?" tanya Gallio lagi. Mereka berdua tampak seperti teman seusia karena Gallio menirukan nada bicara anak itu.