Taksi berwarna biru muda berhenti perlahan tepat di depan sebuah rumah sederhana yang familiar bagi penumpang taksi ini. Tampilannya masih sama seperti terakhir kali Wonwoo ingat–tenang, catnya memudar dan halamannya dihiasi tanaman hijau yang tumbuh subur. Namun, ia merasa gelisah tanpa sebab sampai cukup lama ia hanya diam memandangi bangunan itu dan enggan keluar.
"Nak, kita sudah sampai."
Setelahnya barulah ia sadar dari lamuan. Teguran dari sopir taksi memaksa tangannya meraih gagang pintu dan keluar dari taksi. Pria tua yang mengantarkannya selesai menurunkan barang-barangnya dari bagasi. Wonwoo berdiri diam memandangi halaman rumahnya yang tampak ganjil. Seharusnya rumah ini sibuk dengan aktivitas orang tuanya–mengurusi kebun kecil di depan rumah–tetapi sekarang tidak didapati keberadaan kedua orang itu dimana pun. Rasanya pelik.
"Semua barangnya sudah diturunkan."
Suara dari sopir taksi kembali menyadarkan Wonwoo yang lagi-lagi termenung memikirkan keanehan yang sedang terjadi. Ia berbalik, menatap pria tua yang sama sekali tak menunjukkan raut bersahabat padanya.
"Biaya taksinya sudah dibayar."
Ucapan dingin itu keluar ketika Wonwoo sibuk merogoh saku untuk mencari dompet. Sang sopir buru-buru masuk ke dalam taksi dan menaikkan kaca mobil. Tak lama suara mesin terdengar dilanjutkan dengan mobil biru itu melaju cepat. Tampaknya dia sibuk.
Kembali dengan Wonwoo, ia menaikkan tas jinjing biru tua ke atas koper berukuran sedang lalu mendorongnya melewati jalanan setapak menuju pintu rumah. Matahari turun dari posisinya, memberikan sinar oranye yang melapisi jalanan dan rumah-rumah di sekitar. Wonwoo mengangkat kepala, berharap melihat beberapa wajah yang dikenalinya. Tetapi, yang ia dapatkan hanyalah tatapan aneh dengan perilaku pelik. Mereka seolah menghindari Wonwoo dengan mengintip dari sela pintu dan jendela rumah mereka.
Orang-orang yang lewat memandangnya sekilas dibarengi bisik-bisik rendah yang tak bisa Wonwoo tangkap. Ia mencoba tersenyum pada salah satu dari mereka namun ia malah mendapatkan tatapan sinis yang dilanjutkan dengan gerakan terburu-buru dari orang itu. Seolah-olah ia adalah orang asing di lingkungan yang seharusnya ia kenal dengan baik.
Keningnya semakin berkerut. Bertanya dalam hati ada apa gerangan dengan orang-orang ini. Semua terasa ganjil. Wonwoo menghela napas, perasaan berat itu masih menggantung di dadanua. Pandangannya kemudian tertuju ke rumah yang berdiri di sebelah rumahnya.
Rumah itu, yang selalu sepi dan kosong, sekarang tampak hidup. Wonwoo menghentikan langkah begitu sesosok pria yang tampak seumuran dengannya keluar dari rumah itu. Seingat Wonwoo, sejak kecil ia tak pernah melihat siapapun tinggal di sana. Sempat Wonwoo kira ia akan mendapatkan tatapan sinis seperti yang orang lain lakukan padanya. Tetapi, pria itu tersenyum ramah padanya.
Untuk beberapa detik, mata mereka bertemu, dan pria itu melambai pelan disusul dengan bungkukan kecil. Ada sesuatu yang aneh tentang kehadiran pria ini, tetapi Wonwoo tak bisa menampik rasa hangat hangat yang anehnya muncul dari senyuman ramah itu.
'Sejak kapan ada orang tinggal di sini?' Wonwoo bertanya dalam hati.
Ia mengerjap, mencona mencari jawaban di balik kenangan yang buram, tetapi pikirannya masih kabur. Mungkin efek dari gegar otak yang ia alami belum sepenuhnya hilamh. Tak ingin terjebak daa kebingungan lebih lama, Wonwoo membalas senyuman pria itu denhan anggukan singkat, lalu segera mempercepat langkah menuju pintu rumahnya.
Begitu ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, kesunyian yang menyambutnya terasa berat.
"Ibu. Ayah."
Dia bersuara. Memanggil dua sosok terdekatnya berharap kalau mereka ada di rumah walaupun tempat ini terasa sepi. Udara di dalam terasa dingin, seperti sudah lama tak ada yang membuka jendela atau pintu. Cukup lama tak ada sahutan Wonwoo menutup pintu dengan cepat, lalu menguncinya dengan gerakan yang hampir refleks, seakan ia ingin memutuskan diri dari dunia luar yang tiba-tiba terasa tidak bersahabat.
Ia berdiri di ruang tamu, menatap sekeliling dengan perasaan asing. Rumah ini seharusnya membuatnya merasa nyaman, tapi sekarang rasanya seperti tempat yang berbeda. Furniturnya tetap sama, foto-foto keluarga masih menggantung di dinding, namun ada kesam bahwa sesuatu telah berubah. Wonwoo menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya efek dari gegar otaknya. Ia terlalu lelah, terlalu banyak berpikir.
Dengan napas berat, ia memutuskan untuk duduk sejenak di sofa ruang tamu. Di luar, suasana semakin sepi, dan bayangan dari cahaya lampu mulai merambat dari sudut-sudut ruangan. Wonwoo menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikiran. Ada sesuatu yang salah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindimgamnya sekarang terasa seperti jebakan yang menunggu untuk meledak kapan saja.
Ia membuka matanya kembali, pandangannya terfokus pada pintu depan yang kini terkunci rapat. Fokus, Wonwoo. Dia mengingatkan dirinya sendiri. Namun, di dalam rumah yang sunyi ini, tatapan sinis dari orang-orang dan kehadiran orang asing di sebelah rumahnya. Semua itu membuat Wonwoo bertanya dalam hati, sebenarnya ada apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
THIS MAN [Jeon Wonwoo]
Hayran KurguJeon Wonwoo. Pria muda berusia 26 tahun yang baru saja keluar dari rumah sakit setelah mengalami tabrak lari yang meninggalkan trauma gegar otak. Dua hari pertama hidupnya berjalan normal meski rasa bingung kerap datang pada dirinya sesekali. Namun...